Godaan Ipar

1121 Words
Dering ponsel membuyarkan lamunan Aldo. Ia mengangkat kepala, mengambil ponsel dan mengangkat panggilan. Tertera nama Sheila, sang sekretaris di sana. "Halo, Pak Bos. Di mana?" tanya Sheila. "Di jalan. Macet," jawab Aldo singkat. Dari obrolan dengan Sheila, diketahui bahwa para klien yang akan melakukan rapat dengan Aldo telah tiba. Mereka sedang menunggu di lobi kantor. Dengan rasa campur baur Aldo menantikan ponsel dan kembali melajukan kendaraan. Setengah jam berlalu. Aldo kini tiba di sebuah gedung bertingkat. Diparkirnya kendaraan di tempat yang tersedia. Turun dan langsung masuk ke dalam. Di lobi kantor, telah menunggu klien yang akan rapat. Sehingga mereka seketika berdiri saat melihat keberadaan Aldo. Seluruh yang hadir menjabat tangannya. Sheila, sekretarisnya sudah berdiri di samping lelaki itu sambil membawa beberapa map. Aldo melihat jam tangannya. Kemudian tersenyum sambil mengajak seluruhnya menuju ruang rapat. Rapat dimulai dengan khitmah. Hari ini ialah jadwal pemaparan tawaran proyek dari PT. Perkasa Abdi yang dimiliki oleh Broto Laksana. Salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Utusan perusahaan itu telah menyampaikan beberapa tawaran prihal proyek yang akan segera dimulai. Pikiran Aldo kembali tak fokus. Bukan. Bukan karena janin yang dikandung. Kali ini karena ibunya. Meski sedikit ragu, ia menyakini bahwa janin itu ialah hasil dari perbuatan mereka. Terlintas bagaimana wajah Naima terlihat sangat menikmati kekhilafan mereka. Cuaca yang dingin serta penerangan seadanya turut mendukung mereka untuk saling menghangatkan. Muncul rasa ingin mengulangi hal itu. Namun, Aldo sadar. Apa yang mereka lakukan saat itu ialah kebetulan yang sungguh menyenangkan baginya. Ia menarik napas panjang. Pikirannya kembali ke masa kini saat lengannya disikut oleh Sheila. Aldo tak menyadari jika sejak tadi sekretarisnya tengah menatapnya heran. "Humm. Terimakasih atas pemaparannya. Semoga kita dapat bekerjasama dengan baik." Aldo berdiri dan menjabat tangan dengan kliennya. Mereka akhirnya berpisah. Aldo melangkah menuju ruangannya. Saat pintu dibuka, terlihat jelas ruangan yang cukup besar di sana. Sofa empuk, AC, laptop, dispenser di sudut ruangan, TV plasma tertata rapih. Tingginya jabatan yang ia emban jelas saja membuat begitu banyak fasilitas pada ruangan itu. Aldo merebahkan diri di sofa. Menutup mata dengan lengan dan perlahan mulai tertidur. Dalam benaknya, memori saat itu kembali muncul. Terlihat jelas bagaimana raut wajah Naima setelah mereka melakukannya. Saat itu, ia dan Naima hanya diam dan saling tatap. Naima tengah memegang selimut yang menutupi tubuh polosnya. Tak ada gurat penyesalan di sana. Malah, ia yang dirundung rasa bersalah. Lama mereka saling diam hingga Aldo memutuskan beranjak dan memungut pakaian yang ada. "Maaf. Abang mandi dulu. Kembalilah ke kamarmu dan bersihkan diri." Aldo melangkah menuju kamar mandi yang terdapat di ruang tidur. Sejenak membalik badan dan melihat Naima yang tengah kesulitan menutupi tubuhnya dengan selimut. Wanita itu berbalik dan kembali terasa desiran halus saat netra itu beradu. Secara serempak mereka memalingkan wajah dan melanjutkan tujuan mereka. Aldo menarik napas panjang. Jantungnya memompa lebih cepat saat matanya terbuka seketika dan melihat seorang wanita yang menatap dirinya tajam. Ia mengerjab dan mulai menyadari bahwa Sheila tengah berdiri sambil membawa beberapa berkas. "Ini, Pak. Harus diselesaikan hari ini." Sheila tersenyum dan meletakkan berkas di atas meja kerja Aldo. Lelaki itu mengangguk dan mempersilahkan sekretarisnya pergi. Ia kembali menarik napas panjang saat melihat tumpukan berkas yang nyaris memenuhi meja kerja lelaki itu. "Banyak banget lagi." Ia mulai membuka satu per satu. Rasa jenuh menyerang saat ia sampai pada berkas kelima. Ditutupnya map itu, bangkit dan melangkah menuju jendela. Menatap langit dengan sinar mentari yang mulai meninggi. Di tempat lain, seorang wanita tengah melamun sambil tangannya mengelus perut yang masih rata. Pikirannya melayang jauh ke kejadian malam itu. Naima sendiri tak menyangka hal itu akan terjadi. Saat Abang iparnya meminjamkan ponsel untuk menyinari ruangan agar membantunya mengganti pakaian. Entah mengapa, ia malah tertarik membuka sosmed. Hingga terbuai dan tak menyadari baterai ponsel yang kian menipis. Saat baterai habis, Naima menjadi bingung. Tetap mengganti pakaian dalam gelap atau meminta bantuan Aldo untuk solusi lainnya. Semua tak direncanakan sama sekali hingga akhirnya mereka melakukan hal yang dilarang agama tersebut. Bibir Naima mengulas senyum. Ia sangat tahu kejadian malam itu ialah pengalaman pertama bagi Aldo. Namun, perlakukan lembut Aldo tanpa sadar membuatnya jauh lebih bahagia. "Hai, Sayang. Kok melamun." Naima menoleh seketika. Rafly tengah tersenyum, perlahan duduk sambil menariknya ke dalam dekapan. Wanita itu tersenyum. "Gak kenapa-napa, Kok. Lagi bahagia aja. Gak nyangka akhirnya Naima hamil. Semoga sehat-sehat sampai lahiran, ya?" "Aamiin ...." "Nanti kalau pas jadwal periksa dan Mas lagi kerja. Kamu pergi bareng Bang Aldo, ya? Nanti Mas yang minta tolong. " Naima mengangguk seketika. *****Senja mulai tiba, burung-burung beterbangan kembali ke sangkar. Aldo menutup laptopnya. Merapikan segala berkas dan mempersiapkan diri kembali ke rumah. Ia mengulas senyum saat menyadari sebentar lagi akan kembali bertemu Naila. Rasa yang belum bisa dijelaskan perlahan hadir. Rasa jenuh akan kemacetan tak mampu membuat emosinya naik. Padahal, biasanya ia akan berkali-kali mengumpat saat berada di situasi seperti itu. Senyum Naima mengiasi pikirannya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam saat Aldo akhirnya tiba di rumah. Di sana Rafly dan Naima tengah bercengkrama di meja makan. "Eh, Bang. Mari makan," ajak Rafly saat menyadari keberadaan Aldo. Begitu pula Naima yang mengulas senyum. Aldo menggeleng sambil melangkah menuju kamar. Membuka dasi, dua kancing teratas lalu merebahkan diri di kasur. Perlahan matanya menutup. Aldo menggeliat dan perlahan membuka mata. Diliriknya jam yang berada di dinding. Rasa haus menyerang tenggorokan. Ia melangkah menuju dapur. Tanpa diduga, Naima juga keluar dari kamar. Tubuh mereka nyaris bertabrakan. Sejenak mereka saling tatap hingga sebuah desiran kembali hadir. Saat Naima hendak meninggalkan Aldo. Tangannya di tarik hingga wanita itu mundur. "Siapa ayah dari janin yang kau kandung?" tanya Aldo tiba-tiba. Naima menatap lelaki itu lekat. Entah mengapa ia tak memahami maksud pertanyaan itu. "Maksud, Abang?" tanya Naima balik. "Apa benar kalau itu anak Abang?" Naima mengangkat bahu lalu menggeleng. "Naima belum tau. Karena sebelum Mas Rafly keluar kota. Kami pernah melakukannya. Beberapa hari setelahnya ... kita." Naima menunduk. Pandangan Aldo mengarah ke bibir tips Naima. Lelaki itu menarik tangan Naima hingga jarak mereka menjadi sangat dekat. Diangkatnya dagu wanita itu hingga pandangan mereka beradu. Seketika hangat menjalar dibibir mereka saat Aldo mulai mengulum. Tangannya menarik tengkuk Naima hingga darah mereka menghangat. Di dalam kamar Rafly tengah menggeliat. Menggerak-gerakkan tangan ke sisi kasur lainnya. Ia bangun seketika saat tak mendapati istrinya di sana. Di carinya wanita itu di kamar mandi. Kosong. Ia mulai memanggil nama istrinya hingga wanita itu muncul dari balik pintu. "Kamu dari mana?" Rafly mendekat dan meletakkan kedua tangan di bahu Naima. "Naima dari dapur. Haus," kilah wanita itu. "Pantas bibir kamu basah." Seketika Naima mengelap bibir dengan lengannya. "Sayang ... Mas juga haus." Naima langsung menoleh. "Iya, Kah?" tanya wanita itu lembut. "Huum. Kamu bantu Mas menghilangkan rasa haus ini, ya?" Belum juga dijawab, bibir Naima kembali basah akibat kecupan Rafly. Dibimbingnya tubuh Naima perlahan di atas kasur dan mulai melepas rindu yang tertahan. Di kamar sebelah. Aldo tampak uring-uringan. Entah mengapa ia mulai tak rela saat Rafly berada di rumah. Diusapnya bibirnya dari ujung ke ujung. Masih terasa manis dan hangat bekas kecupan Naima di sana. Perlahan ia menutup mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD