Sentuhan itu

700 Words
Rafly tengah berada di kamar mandi bawah untuk membersihkan diri sambil menunggu waktu adzan berkumandang. Sedangkan Naima menggunakan kamar mandi yang berada di kamar tidur. Langkahnya terhenti dan mundur satu langkah ke belakang saat melihat seseorang tengah duduk santai di atas kasur. Aldo melangkah mendekat. Hati Naima mulai terlibat konflik. Antara merasa risih dengan keberadaan Abang iparnya atau merasa tak rela saat lelaki itu harus keluar dari sana. "Rambut kamu basah? Apa kalian baru saja ...." Aldo tak melanjutkan perkataan. Kini ia tengah disibukkan menghirup dalam aroma rambut Naima. Wanita itu sedikit mendorong tubuh lelaki itu agar mundur. "Kenapa?" tanya Aldo. Ditatapnya tubuh Naima dari bawah hingga atas. Putih, bersih dan mulus. Ingin rasanya di dekap kembali tubuh adik iparnya. "Keluarlah, Bang. Takutnya Mas Rafly lihat. Bisa timbul masalah nanti." Naima menatap lekat lelaki itu. "Bagaimana jika Abang katakan, aku sudah tak perduli akan hal itu. Kini ... hanya kau yang kupedulikan." Dibelainya lengan mulus Naima. "Bang. Keluar, lah. Naima mohon." Naima menepis tangan Aldo dan meninggalkannya menuju lemari untuk memilih pakaian. Ditariknya tangan wanita itu hingga langkahnya terhenti. "Aku yakin janin dalam rahimmu ialah benihku." Naima menoleh seketika. "Bagaimana Abang bisa yakin?" "Kalau kau tidak percaya, kita bisa mengulanginya lagi." Aldo tersenyum dan mulai mendekati bibir Naima. Nyaris saja niatnya tersampaikan jika mereka tak mendengar langkah kaki dan engsel pintu yang bergerak. Pandangan mereka kini beradu pada engsel pintu yang bergerak-gerak. "Sayang ... buka, dong. Mas mau masuk." Aldo tersenyum sambil menginstruksikan Naima membuka pintu saat posisi ia telah aman. Wanita itu bergerak dan membuka pintu. "Kok dikunci, sih?" tanya Rafly lembut. Pandangannya teralihkan pada Naima yang tengah kebingungan. "Kamu kenapa?" tanyanya lembut. "Hem ... gak kenapa-napa." Naima merangkul tubuh Rafly. Dilihatnya Aldo yang dengan perlahan keluar dari balik pintu dan menuju sisi luar. "Hei. Kamu meluk Mas dengan hanya memakai handuk. Bagaimana kalau Mas jadi kepengen?" Naima tersenyum sambil melepaskan pelukan. Dibelainya wajah sang suami lalu mengecup pipi lelaki itu. ***** "Argh!" Naima menjerit saat sesuatu tengah menyentuh bagian belakang tubuhnya. Seketika ia membalikkan tubuh dan melihat Aldo tengah menggenggam segelas air dingin sambil tersenyum menggoda. Lelaki itu kini duduk santai sambil memperhatikan Naima. Wanita itu membalikkan tubuh dan melanjutkan memasak. Aldo dengan seksama memperhatikan gerak lihai tangan Naima. Mulai dari meracik bumbu hingga mengolahnya menjadi makanan lezat. Selain karena kecantikan dan kesempurnaan tubuh wanita itu, sepertinya Aldo mulai mencintai adik iparnya karena itu. Setelah ibunya meninggal. Tak ada lagi masakan yang cocok di lidahnya kecuali Naima. Sehingga ia sangat menyukai keberadaan wanita itu di sini. Ditambah lagi kejadian dulu, ia menjadi sangat menginginkan Naima tetap berada di rumah itu. Apapun dan bagaimanapun caranya. "Naima," panggil Aldo lembut seraya berbisik. "Hem," jawab Naima sambil tetap fokus memasak. "Setelah malam itu ... apa kalian pernah melakukannya?" Naima mematikan kompor dan berbalik. "Maksud, Abang?" Naima berjalan mendekat. Seketika Aldo berdiri dan kini berada tepat di depan wanita itu. Saat tengah berdiri, terlihat sekali ketimpangan tubuh mereka. Aldo yang memiliki tinggi 170 cm sangat berbanding terbalik dengan tubuh Naima yang hanya mencapai 150 cm. Bahkan saat akan mencium adik iparnya, ia harus sedikit membungkukkan badan. "Kalau tidak. Berarti benar bahwa janin itu hasil perbaikan kita beberapa waktu dulu." Ia tersenyum. Taklama Aldo tertawa tiba-tiba hingga Naima mengerutkan dahi. "Kenapa?" tanya Naima dengan wajah bingung. "Jangan gitu lihatnya, sayang. Abang jadi gemes." Aldo mencubit hidung mancung Naima. Wanita itu terdiam. Sayang? Semudah itu? Padahal Rafly saja nyaris tak pernah memanggilnya dengan sebutan itu kecuali saat merayunya untuk melepas hasrat. "Kenapa Abang tertawa?" tanya Naima dengan sendu. "Berarti jagoan Abang. Sekali coba gol. Kalau Rafly kalah macho, dong. Berkali-kali gak gol. Oh, ya. Kenapa wajah kamu berubah sendu, sih?" Aldo sedikit membungkuk dan menatap wajah itu dalam. Netra mereka kembali beradu hingga desiran halus kembali terasa. "Enggak." Naima menyeka air mata nya yang mulai turun."Mas Rafly jarang banget manggil dengan sebutan sayang. Kecuali kalau ...." "Naima." Suara panggilan Rafly mulai terdengar. Mereka menoleh bersamaan. "Sudah. Jangan sedih. Mulai sekarang kamu akan sering dipanggil sayang sama Abang. Ok!" Aldo membelai pipi mulus Naima. Wanita itu menyeka air mata dan mulai tersenyum. Terasa ada yang berbeda di hati saat mendengar pernyataan Aldo. Ia tahu, ini sebuah kesalahan besar. Namun, hati tak bisa dibohongi kalau ia mulai nyaman akan perhatian yang diberikan Abang iparnya itu. Terutama setelah malam itu. "Lho? Udah mau berangkat?" tanya Rafly pada Aldo saat berpapasan di pintu dapur. "Iya. Lagi banyak kerjaan." Ditepuknya bahu Rafly sambil beranjak pergi.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD