Assalamu’alaikum.
Selamat hari Jum’at. Jangan lupa melakukan sunnah-sunnah di Hari Jum’at ya.
Baca surat Al-Kahfi, memotong kuku, dan sunnah yang lain.
Terima kasih. Happy reading!!
“Kakak di sebelah mana?” tanya Anjani sambil menempelkan handphone-nya pada telinga. Ia meliarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe, tempat janji temu antara ia dengan Anjeli.
Demi melepas rindu dengan kakaknya, Anjani rela mengendarai motornya dari sekolah menuju kafe yang terletak di jajaran ruko depan bangunan kampus Anjeli. Anjani tak peduli dengan panas sinar matahari yang menyengat punggung tangannya yang tak bersarung tangan. Tujuannya hanya satu, bertemu dengan Anjeli yang sudah beberapa bulan ini susah untuk ia ajak bertemu.
Jarak lebih dari 20 km bukan jarak yang jauh baginya. Anjani bahkan memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata agar lebih cepat tiba di kafe, ia tidak ingin membuat Anjeli menunggu. Namun nyatanya ia harus lebih bersabar.
Anjani menghela napas panjang. Ia menyimpan handphone-nya ke dalam tas sekolahnya. Ia berjalan dengan gontai menuju salah satu meja yang berada pada sudut kafe. Langkahnya ia seret, tidak peduli dengan pandangan menilisik beberapa pengunjung kafe. Ia sudah seperti seseorang yang ditimpa beban berat kemudian ditambah dengan beban berat lain yang juga datang ke arahnya.
Ia duduk di kursi bulat yang berwarna cokelat kayu, coraknya pun kayu dengan kaki kursi yang dicat putih. Ia kembali mengingat percakapannya dengan Anjeli.
“Maaf, Dek. Kakak tiba-tiba ada jam kuliah,” ucap Anjeli lirih merasa sungkan karena telah membuat Anjani lelah-lelah datang ke sini kemudian ia tidak dapat segera menemuinya.
“Sampai jam berapa, Kak? Jani gak papa nunggu di sini. Jani masih ada uang untuk beli minuman di kafe ini. Jani tunggu ya, Kak,” balas Anjani dengan nada riang. Ia berusaha legowo meskipun berat. Jujur saja ia kecewa. Ia sakit hati. Ia sudah menempuh jarak sejauh ini, dan saat ia sudah sampai di lokasi, dengan entengnya kakaknya menyampaikan informasi itu.
Terdengar helaan napas di seberang telepon. Anjani menunggu jawaban Anjeli. “Kalau kamu merasa kejauhan dan capek, kamu nggak papa nggak usah nunggu kakak, Dek. Kakak akan mengusahakan kita untuk bertemu di waktu yang tepat.”
‘Enak saja Kakak membatalkan begitu saja. Sudah tahu jaraknya jauh, tapi enteng sekali kakak bicaranya,’ dumal Anjani dalam batin.
Anjani menolak. Ia keukeh untuk menunggu. Anjeli suka ingkar janji. Ia tidak ingin usahanya menempuh perjalanan jauh harus sia-sia. Masalah menunggu, Anjani bisa mengatur dirinya agar menjadi lebih sabar.
“Apa iya kalau kuliah itu jamnya bisa berubah-ubah begini? Apa tidak ada konfirmasi atau pemberitahuaan dulu sebelumnya?” gumam Anjani sambil meletakkan—membaringkan kepalanya di meja kafe.
Biarkan saja pengunjung kafe memandangnya aneh. Tubuh dan hatinya sedang lelah. Ia sangat memerlukan istirahat saat ini. Sejujurnya Anjani berbohong kepada Anjeli. Ia memang memiliki uang saku di tasnya, tetapi ia lebih memilih menyimpan uang itu untuk jaga-jaga jika bensin habis atau ada sesuatu dengan motornya. Ia tidak berani memesan minuman kemudian mendapat tagihan pembayaran yang menguras kantong. Tidak apa ia tidak makan atau minum. Biar saja haus. Ia bisa membeli air mineral di warung kelontong saat pulang nanti.
Sejak hidup dengan Sukma, ia selalu berhemat. Pemasukan keluarganya hanya dari jasa ibu-ibu tetangganya dan beberapa pelanggan ibunya yang sejak lama menyukai hasil jahitan Sukma.
“Enak saja Kak Anjeli memintaku pulang, aku tidak akan semudah itu menyerah,” gumam Anjani penuh tekad. Ia memilih menunggu Anjeli.
Sejak ia berpisah rumah dengan Anjeli, ia berusaha untuk selalu memupuk komunikasi bersama kakaknya. Ia tidak ingin hubungan kakak beradik yang sudah terjalin kuat menjadi renggang karena perpisahan kedua orang tua mereka. Anjani selalu setia menghubungi kakaknya. Ia yang lebih aktif untuk menghubungi kakaknya lebih dulu. Ia begitu menyayangi dan mencintai kakaknya.
Awalnya, komunikasi mereka berjalan lancar dan baik. Namun semenjak kakaknya duduk di bangku perkuliahan dan Anjani duduk di bangku kelas 11, Anjeli seperti memberi jarak. Kakak perempuannya itu jarang menerima panggilan teleponnya. Tidak hanya itu, Anjeli juga mulai jarang membalas pesannya. Jika Anjani tidak meneror, mungkin pesannya akan dibiarkan menumpuk hingga beberapa hari.
Perubahan sikap Anjeli berhasil membuat Anjani berpikir keras. Sempat terbersit di pikirannya, apakah ia pernah berbuat salah sehingga kakaknya mulai menjarak? Apa karena ia sering mengirim kata rindu pada kakaknya, membuat Anjeli jengah dan menghindarinya?
‘Tapi, aku kan adiknya. Aku hanya ingin bertemu beberapa saat atau sekali dalam seminggu atau setidaknya sebulan. Apa hal itu terlalu berlebihan bagi Kak Anjeli?’ batinnya kala itu.
Maka, ketika Anjeli membalas pesannya. Anjani segera menyambungkan sambungan telepon pada kakaknya dan merengek ingin bertemu. Dan siang ini telah disepakati menjadi waktu janji temu mereka.
Anjani hanya duduk diam sambil netranya terus berputar mengamati interior kafe. Warna krem pastel dengan berbagai tanaman sukulen yang digantung di dinding menjadi gaya khas kafe itu. Ada satu lemari susun yang memuat berbagai jenis buku di dekat tempatnya duduk. Lampu-lampu bohlam yang diletakkan dalam wadah berbentuk segi-8, menggantung dengan pola tangga. Terlihat aesthetic.
Anjani mulai merasa nyaman menghabiskan waktunya di kafe itu. Jika bosan, ia bisa membaca berbagai buku yang ada untuk membunuh kebosanan itu.
Pandangan Anjani yang mengitari interior kafe terhenti kala melihat badan seseorang yang mirip dengan Anjeli. Perempuan itu membelakanginya. Namun Anjani sangat yakin bahwa perempuan itu kakaknya. Di matanya, Anjeli terlihat lebih kurus tetapi lebih tinggi semampai. Proporsi tubuhnya terlihat pas. Berbeda dengan saat Anjeli masih SMA.
Anjani mengawasi perempuan itu dengan mata yang awas dan tajam. Saat Anjeli mulai berjalan menjauhi kafe, Anjani dapat melihat dengan jelas bahwa perempuan itu memang benar Anjeli.
“Buat apa Kakak berbohong padaku jika ada perkuliahan? Nyatanya dari tadi Kakak ada di sini,” ucap Anjani lirh. Ia sakit hati. Ia kecewa. Ia tidak mampu memahami jalan pikiran kakaknya. ‘Untuk apa kakak berbohong? Jadi, dia memang tidak ingin bertemu sama aku?’ batinnya terus bertanya sedih.
Dengan langkah lemas, ia berjalan keluar kafe. Air mata mulai menggunung. Kekecewaan yang besar membuatnya ingin menangis.
Di sisi lain, ia merasa lega karena tidak memesan apa pun. Uangnya harus ia simpan baik-baik. Ia lebih memilih pulang.
Masih terlihat di pandangannya saat ia di tempat parkir, kakaknya dirangkul oleh seorang laki-laki menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di dekat gerbang kampus. Anjeli terlihat menempel dengan laki-laki.
“Siapa laki-laki itu? Apa kekasih Kak Anjeli?” tanya Anjani pada dirinya sendiri.
Ia terus mengamati Anjeli hingga mobil yang membawa kakaknya bergabung dengan jajaran kendaraan lain di jalan raya. Ia baru mengenakan helm ketika mobil itu sudah benar-benar tidak mampu dijangkau oleh netranya.
***
Anjani berjalan masuk ke dalam rumahnya dengan sedikit membungkuk. Bahunya terasa lemas. Selain tubuhnya yang lelah karena harus mengendarai motor dalam jarak yang jauh, hatinya juga nyeri seperti baru saja digores oleh pisau tajam.
“Kenapa Kakak membuat alasan seperti itu jika memang tidak ingin menemuiku?” gumamnya. “Kenapa Kakak juga tega menerima ajakanku untuk bertemu jika Kakak tidak ada niatan untuk bertemu? Apa Kakak tidak kasihan melihatku yang harus mengendarai motor dengan jarak sejauh itu?” Ia tidak butuh dikasihani tapi ia tetap merasa nelangsa. Dan saat ini, ia kecewa berat kepada kakaknya.
“Sudah pulang, Jan?” Sukma yang sedang memotong kain di ruang tamu menghentikan langkah gontai putri keduanya itu. “Jadi bertemu kakakmu?”
Anjani mendekati Sukma dan mencium tangan surganya. Kemudian ia duduk dengan lemas di salah satu sofa. “Kak Anjeli tiba-tiba membatalkan pertemuan kita. Anjani sudah tiba di kafe tempat janjian dan menelepon Kak Anjeli. Kak Anjeli bilangnya ada jam perkuliahan tiba-tiba saat itu. Jani keukeh mau menunggu. Sambil menunggu Jani berpikir, apa iya kalau jam perkuliahan bisa tiba-tiba berlangsung tanpa adanya informasi atau pemberitahuan lebih dulu? Dalam penantian Anjani, tiba-tiba Anjani melihat Kak Anjeli yang baru saja dari dalam kafe. Sepertinya Kak Anjeli tidak menyadari jika ada Anjani. Dan yang paling membuat Anjani bertanya-tanya adalah, siapa laki-laki yang merangkul bahu Kak Anjeli lalu membimbing kakak masuk ke dalam mobil hitam?” jelas Anjani pelan dan panjang.
Sukma terkejut dengan kalimat terakhir Anjani. “Kakak kamu dengan seorang laki-laki?” Sukma memastikan bahwa pendengarannya tidak salah menangkap ucapan Anjani.
Anjani mengangguk. “Anjani juga nggak tahu laki-laki itu siapa. Pokoknya dia merangkul Kak Anjeli dengan erat. Anjani berusaha memperhatikan mimik muka Kak Anjeli apakah merasa terpaksa atau tidak, tetapi terlihat dengan jelas bahwa Kakak seperti biasa-biasa saja dengan laki-laki itu,” ungkap Anjani.
Sukma diam. Gunting kain yang sudah siap memotong kain pun diam di udara. ‘Siapa laki-laki itu? Anjeli tidak pernah bercerita bahwa dia dekat dengan seorang laki-laki. Selama ini ia tidak pernah mau menemuiku juga Anjani dengan alasan banyak tugas kuliah juga kegiatan di kampusnya,’ batin Sukma.
“Apa Kakak pernah cerita ke Ibu kalau Kakak punya pacar, Bu?” Pertanyaan Anjani membuyarkan lamunannya. Ia menggeleng. Ia bahkan kecolongan untuk hal ini. Dulu, ia sering mewanti-wanti putri pertamanya agar berhati-hati jika dekat dengan laki-laki. Ia jadi khawatir saat Anjani bercerita hal itu.
“Kamu sudah memastikan bahwa laki-laki itu bukan saudara keluarga kita, keluarga ayahmu, atau keluarga dari Bu Siti?” Ia bertanya dengan lirih kala menyebut nama Siti. Ia masih sakit hati bila mengingat dan menyebut nama istri baru mantan suaminya. Membuka kembali luka yang ia coba untuk obati.
Anjani tampak berpikir. “Kalau dari keluarga kita atau pun ayah, sepertinya bukan, Bu. Tapi jika dari keluarganya Tante Siti, jujur saja Anjani kurang tahu,” jawab Anjani. “Tapi, apa iya jika itu keluarga dari Tante Siti mereka bisa berpelukan seperti itu? Laki-laki itu berulang kali juga mengecup pelipis Kakak,” lanjut Anjani. Pemandangan itu tadi membuatnya sedikit malu sendiri. Selama ini, ia hanya melihat kemesraan ibu dan ayahnya dengan saling berbagi lelucon atau ketika ibunya mencium tangan ayahnya saat ayahnya hendak bekerja. Itu pun dilakukan di lingkungan rumah. Dan ketika ia melihat kemesraan kakaknya dengan laki-laki yang tidak ia ketahui itu siapa, kemudian mereka bermesraan di depan umum, membuat Anjani menggeleng malu. Ia tadi juga dengan cepat mengalihkan pandangan.
“Nanti coba kamu tanya ke Kak Anjeli saja siapa laki-laki itu,” saran Sukma setelah ia memikirkan siapa laki-laki itu yang berkunjung kebuntuan. Ia terguncang dengan informasi Anjani. Ia takut Anjeli terbawa ke dalam pergaulan yang tidak baik.
Anjani menggeleng. “Maaf, Bu. Anjani sedang kecewa dengan Kakak. Anjani memilih tidak ingin mengganggu Kakak lagi. Anjani lelah. Jadi, Ibu saja yang bertanya. Mungkin jika Ibu yang bertanya, Kakak akan menjawab dengan jujur,” putus Anjani dengan bulat. Ia memilih tidak akan lagi mengganggu kakaknya. Biarkan kakaknya bahagia dengan dunianya. Anjani kemudian memilih pamit ke kamarnya. Ia ingin menyegarkan badan dan pikirannya yang semrawut.
Sukma memandang putrinya nelangsa. Ia selalu mengamati dan mendengarkan bagaimana perjuangan Anjani agar dapat berkomunikasi dan bertemu dengan putri pertamanya. Mungkin jika ia menjadi Anjani, ia juga akan merasa lelah dengan semua ini. Maka, ia memilih membiarkan saja putrinya melangkah menuju kamarnya.
‘Semoga kamu tidak salah pergaulan ya, Nak. Semoga laki-laki yang bersama kamu adalah laki-laki yang baik,’ harap Sukma. Ia pun memutuskan melipat kain yang hendak ia potong. Ia menyimpannya di kursi kecil dekat mesin jahit. Ia memilih meninggalkan perkainan dan berjalan ke kamarnya untuk menghubungi Anjeli.
***
Anjeli sedang berbagi tawa bahagia dengan seorang laki-laki yang sibuk menyetir. Anjeli merasa sangat bahagia karena akhirnya ia bisa semobil dengan mahasiswa terkenal di kampusnya, laki-laki ini adalah presiden mahasiswa yang sekarang juga menjadi kekasihnya.
Namun, tawa itu terhenti karena dering handphone Anjeli. Anjeli pun ijin untuk melihat siapa yang meneleponnya.
“Siapa?” tanya laki-laki itu sambil menoleh ke Anjeli.
“Ibuku,” jawab Anjeli.
“Ibu yang tinggal dengan adikmu itu?” tanya laki-laki itu memastikan.
Anjeli menggangguk. “Tidak perlu diangkat,” kata laki-laki itu. Anjeli memandang heran. “Beliau pasti ingin menanyakan kenapa kamu tidak mau menemui adikmu,” lanjut laki-laki itu.
Anjeli pun hanya menurut. Ia memilih mematikan handphone-nya kemudian ia simpan di tasnya. Ia lebih memilih patuh pada laki-laki yang baru ia temui daripada ibunya yang selama ini mengkhawatirkannya. Ia tidak tahu, jika di seberang sana Sukma sedang khawatir hebat. Ia mondar-mandir di kamar. Apalagi setelah mengetahui Anjeli mematikan handphone-nya. Membuatnya semakin khawatir.
“Kalau kamu keluar dengan aku. Pastikan kamu mematikan handphone-mu. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita,” tegas laki-laki itu. Anjeli tersipu malu. Ia merasa istimewa dan berpikir bahwa laki-laki itu memang mencintainya dengan sangat dalam. Ia menduga bahwa laki-laki yang sedang menyetir di sampingnya ingin menikmati momen kebersamaan mereka tanpa diganggu oleh siapa pun.
Awalnya tadi ia sudah akan menemui Anjani. Namun, laki-laki itu tiba-tiba menghadangnya dan mengajaknya jalan-jalan. Anjeli sudah menolak dan mengatakan akan bertemu dengan adiknya setelah waktu yang lama mereka tidak bertemu. Namun, bujukan laki-laki itu lebih berhasil membuatnya menurut pada laki-laki itu daripada menemui adik yang begitu ia cintai.
Ia sebenarnya tak enak hati karena Anjani sudah rela mengendarai motornya dengan jarak yang tidak dekat itu. Namun, ia dibutakan oleh cinta. Ia tidak memikirkan perasaan Anjani yang bisa saja kecewa dan marah besar padanya.