Semilir angin di pagi hari membuat bulu roma di kulit Anjani yang tidak tertutupi selimut mulai meronta. Sel saraf yang menerima rangsangan itu mengalir ke saraf pusat membuat Anjani segera menarik selimut agar tubuhnya kembali mendapatkan kehangatan. 10 menit berlangsung, hingga suara ketukan pintu membuat Anjani mendesis sebal karena tidur nyenyaknya terganggu. Melawan hawa dingin di musim kemarau, Anjani menyibak dan melemparkan selimutnya ke sembarang arah. Berjalan dengan gontai menuju pintu kamar.
“Kenapa, Bu?” tanya Anjani kepada ibunya dengan mata yang masih setengah menutup. Saat pintu kamarnya terbuka, ia juga mendengar tangis Putri yang kencang. Lebih kencang dari biasanya, terdengar seperti sedang menahan sakit.
“Putri sepertinya demam, dari tadi dia menangis terus. Kamu bisa antar ibu ke dokter?” tanya Sukma dengan suara rendah.
Seketika mata Anjani bagaikan mendapatkan aliran listrik 10 watt. Menyala terang benderang.
“Ibu kenapa nggak bangunin dari tadi?” protesnya.
Anjani masuk kembali ke kamarnya. Mengambil kardigan yang ia gantung dan menarik jilbab bergo warna hitam. Ia tidak peduli dengan wajahnya yang masih berantakan karena belum cuci muka. Ia hanya mengusap-usapnya agar kantuk segera hilang. Ia juga menyambar masker medis yang selalu ia sediakan di meja yang terletak di antara lorong kamar dengan ruang tengah.
“Naik mobil saja ya Bu, Jani pesankan taksi online,” saran Jani sambil mulai membuka aplikasi pada handphone-nya.
“Iya. Ibu persiapkan berkas dan keperluan untuk Putri dulu.”
Anjani masuk ke dalam kamar Putri sambil menunggu taksi yang dipesan datang. Rumah di daerah tepi perkotaan membuatnya dapat dengan mudah mendapatkan taksi online meskipun hari masih gelap.
Anjani menggendong Putri ketika bayi itu mulai merengek tak nyaman. Dengan sedikit mengayunkan tubuh mungil itu, berharap Putri menjadi lebih tenang. Tidak perlu waktu lama, tangis Putri sudah mulai tenang.
Kulit Anjani yang bersentuhan dengan kulit Putri menjadi ikut hangat. Benar, sepertinya Putri sedang demam. Ia berharap semoga Putri hanya demam biasa.
Dering handphone membuat Anjani harus membagi fokus antara menggendong Putri dan menerima panggilan itu. Nama layanan aplikasi untuk memesan kendaraan online muncul pada layar. Anjani menerima panggilan itu segera.
“Ibu! Apa sudah siap?” teriak Anjani tetapi tidak terlalu kencang. “Jani tunggu di luar, ya. Mobilnya sudah di depan.”
“Iya, sudah. Sebentar ibu masih membenahi kerudung,” jawab Sukma dari dalam kamarnya.
Anjani pun berjalan ke arah ruang tamu. Kemudian membuka pintu dan terlihat di depan rumahnya sebuah mobil avanza hitam yang sedang menunggu sesuai dengan sambungan telepon yang terjadi beberapa menit lalu.
Mobil avanza yang membawa Anjani, Sukma, dan Putri memasuki area rumah sakit. Turun di depan lobi rumah sakit, Anjani segera membawa Putri menuju ruangan poli anak.
Anjani bersyukur karena rumah sakit di kotanya buka 24 jam dengan jam kerja dokter yang mengikuti shift. Ia menjadi lebih tenang karena Putri pastinya akan diperiksa oleh dokter sehingga mendapatkan penanganan terbaik.
“Ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang perempuan yang duduk di bagian depan poli anak begitu Anjani memasuki ruangan itu.
“Putri sedang demam, Mbak,” jawab Anjani dengan nada sedikit panik.
“Baik. Ibu bisa dibantu mengisi data diri untuk administrasi, ya. Sedangkan ibu bisa membawa putrinya ke bangsal sebelah sana. Mari saya antar,” ucap petugas perempuan yang lain.
Anjani membawa Putri mengikuti seorang perawat ke sebuah bangsal. Putri dibaringkan di atas bangsal. Seketika suara tangis memenuhi ruangan. Beruntungnya tidak ada pasien lain sehingga tidak mengganggu.
Perawat bernama Asti itu segera meletakkan termometer digital pada ketiak Putri hingga bunyi bip menunjukkan bahwa suhu tubuh telah terdeteksi.
“38,1 derajat celcius ya, Bu,” ucap sang perawat itu dengan menunjukkan layar termometer.
“Berapa suhunya, As?” tanya seorang perempuan muda yang mengenakan jas putih dan snail yang menggantung di saku jasnya.
“38,1, Dok.”
Dokter perempuan muda tersebut mengangguk dan bergabung mengelilingi bangsal tempat Putri berbaring. Kemudian memeriksa denyut jantung Putri.
Asti kemudian mengecek pampers yang dikenakan oleh Putri. “Fesesnya seperti ini, Dok,” lapor Asti.
“Normal,” tanggap sang dokter.
“Putrinya bisa digendong dan mari ikut saya ke meja sebelah sana ya, Bu,” ucap dokter.
Anjani segera mengangkat Putri dan menggendong bayi kecil itu. Kemudian ia mengikuti langkah dokter menuju meja yang tadi ditunjukkan. Putri masih menangis tetapi sudah tidak terlalu kencang seperti saat baru ia baringkan tadi.
“Demam yang diderita putri Anda masih dalam kategori demam sedang ya, Bu. Jadi ini saya resepkan obat penurun demam untuk usia di bawah satu tahun,” ujar dokter begitu Anjani duduk di hadapan mejanya.
Ibu Anjani pun ikut bergabung. “Tapi cucu saya tidak kenapa-napa kan, Dok?” tanya Sukma memastikan.
“Tidak, Bu. Jadi, ketika seseorang terserang demam itu menunjukkan bahwa tubuhnya sedang meningkatkan kekebalan tubuh terhadap benda asing yang masuk, bisa saja bakteri atau pun virus. Mungkin cucu ibu sedang melawan bakteri atau virus yang datang ke dalam tubuh. Jadi ibu cukup tenang saja dan berikan obat penurun panas. Dan pastikan ASI yang diberikan juga tidak terhenti,” jawab dokter perempuan itu sambil memandang secara bergantian kepada Sukma dan Anjani.
“Baik, Dok,” jawab Sukma. “Tetapi sudah satu minggu ini cucu saya minum s**u formula, Dok. Apa itu mempengaruhi tubuhnya sehingga mengalami demam?”
“Kebanyakan tubuh bayi menolak s**u formula ditandai dengan pencernaannya yang terganggu, kemudian ruam pada kulit atau sesak napas, Bu. Jadi jika tidak ada tanda-tanda seperti itu berarti s**u formulanya cocok untuk bayi,” jelas dokter. “Mohon maaf, apa produksi ASI ibu sudah mulai menurun atau terhenti?” tanya dokter dengan memandang ke arah Anjani lembut. Ia tidak ingin menyinggungkan perasaan ibu pasien. Hanya untuk memastikan agar saran yang diberikan dapat sesuai dengan kebutuhan.
Anjani bingung harus merespons seperti apa. Ia hanya tersenyum kaku. Dan senyum itu ditangkap oleh dokter sebagai jawaban iya atas pertanyaannya. Kemudian dokter pun sudah tidak bertanya lagi, memaklumi dan tidak bertanya lebih banyak. Untuk hal itu bukan urusannya. Tugasnya hanya mengurus tentang dunia anak dan menangani segala keluh kesah pasiennya saat itu.
“Ini resep yang harus ditebus ya, Bu. Jika nanti demamnya masih belum mengalami penurunan bisa datang ke sini lagi,” ucap Asti kepada Anjani dan Sukma setelah konsultasi dengan dokter selesai.
“Terima kasih, Sus.”
Kemudian Anjani dan Sukma keluar dari poli anak. Anjani menunggu ibunya pada kursi tunggu apotek dan Sukma menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.
***
“Kamu kenal perempuan tadi, Mbak?” tanya Arsya kepada kakak perempuannya yang duduk di kursi mobil depan.
“Perempuan mana?” tanya Ayuni balik. Ia memfokuskan pandangannya penuh ke arah adik laki-lakinya dan meletakkan handphone-nya di atas pahanya.
“Pasien terakhir sebelum kamu balik, Mbak. Yang pakai masker.”
“Oh, ibu muda yang menggendong putrinya dan ditemani seorang wanita paruh baya?” Ayuni memastikan perempuan yang dimaksud adiknya.
“He’em,” jawab Arsya sambil menoleh ke arah kakaknya.
“Ya enggak kenal, Sya. Hanya tahu kalau dia ibu dari anak yang diperiksakan tadi,” jelas Ayuni.
“Memang dia ibunya si balita tadi, Mbak?” kejar Arsya. Dari tadi ia sudah sangat penasaran dengan bayi yang digendong Anjani. Meskipun Anjani mengenakan masker, ia masih dapat mengenali rekan kerjanya itu.
“Ya mana Mbak tahu. Kamu tumben banget tanya-tanya tentang pasien Mbak?” tanya Ayuni dengan memicingkan matanya.
“Perempuan tadi rekan guru di sekolah, Mbak. Selama ini yang kutahu dia belum menikah apalagi punya anak. Makanya aku bingung juga kepo, masa dia nikah sebelum aku masuk sana, ya? Apalagi anaknya sudah cukup besar,” kata Arsya menebak.
“Entahlah. Mbak gak pernah tanya tentang privasi ke pasien, Le,” jawab Ayuni menegaskan. (Le diambil dari kata tole, merupakan panggilan untuk bocah laki-laki dalam Bahasa Jawa).
“Iya aku juga tahu Mbak mengenai hal itu. Kan siapa tahu Mbak kenal sama perempuan tadi makanya aku bertanya untuk memastikan.”
“Iya. Iya. Ya coba kamu tanya langsung ke orangnya,” saran Ayuni.
“Heh, gak deh, Mbak. Setiap melihatku dia kayak antipati banget sama aku,” jawab Arsya.
Ayuni menertawakan jawaban adiknya. “Biasanya juga para wanita-wanita di rumah sakit selalu memfokuskan perhatian ke kamu, Le. Baru kali ini ada perempuan yang gak berselera sama kamu,” ejek Ayuni.
“Bahasamu, Mbak.”
Ayuni semakin terpingkal mendengar ucapan adiknya. Memang adiknya ini sering kali membuat orang-orang salah fokus karena ketampanannya.
Arsya memasang wajah sebal mendengar tawa Ayuni. Jika berurusan dengan kemenderitaan apalagi deritanya, Ayuni adalah orang nomor satu yang akan menertawakannya.
“Hem, kakak durhaka ya model Mbak kayak gini. Suka tertawa di atas penderitaan adiknya,” dumal Arsya. Ia masih fokus dengan setirnya dan melihat kondisi jalan yang cukup padat pagi ini.
“Emang kamu menderita? Perasaan hati para perempuan yang kamu berikan senyum manismu itu yang menderita. Mereka merasa kamu beri harapan.”
“Lha? Apa salahnya coba aku senyum ke mereka, Mbak? Senyum ke sesama muslim itu ibadah, Mbak. Lagian aku nggak pernah ngasih tanda-tanda jika memberi harapan lho ya.”
“Hem. Iya deh iya. Terserah saja,” jawab Ayuni hendak mengakhiri perdebatan mereka yang selalu mengarah ke sikap Arsya yang baik ke semua orang.
“Bener kan aku, Mbak?” tanya Arsya memastikan.
“Iya bener. Tapi sesekali coba kamu pasang wajah cool gitu. Abai sama orang lain terutama perempuan.”
“Lha gimana bisa abai, Mbak? Sedangkan aku dan mereka saling mengenal. Jika aku tiba-tiba berubah jadi cool dan abai yang ada mereka malah menatapku dengan aneh. Menilai perubahanku yang tiba-tiba itu. Jadi bahan gunjingan nanti.”
Ah, berbicara dengan Arsya selalu membuat Ayuni pusing. Akan berakhir dengan Ayuni yang memijat pelipisnya karena sebal mendengar jawaban adiknya yang memang benar itu.
Ayuni hanya menghela napasnya pasrah. Sudah tidak mampu lagi membalas ucapan adik semata wayangnya itu.
“Kenapa diam, Mbak?” tanya Arsya. Ia menoleh ke arah kakaknya yang tiba-tiba diam. Lampu merah membuatnya harus sabar menunggu lampu hijau agar mobil dapat kembali melaju.
“Mbak nyerah ngomong sama kamu. Ujung-ujungnya Mbak akan kalah.”
“Ye, menurut Mbak kita lagi debat lalu ada yang menang dan ada yang kalah.”
Dengan kesal Ayuni pun memukul bahu adiknya dengan penuh tenaga.
“Aduh, Mbak!” Arsya berteriak dengan sebal. Bisa-bisanya kakaknya berbuat demikian kepadanya. Apalagi ia sedang fokus dengan setir.
“Sebel aku sama kamu! Lama-lama aku tukar tambah kamu dengan adik yang lain.”
Arsya pun hanya tertawa mendengar kalimat jutek yang dilontarkan oleh kakaknya.
***
“Bu, kenapa Kak Anjeli sudah nggak pernah ngirimkan ASI lagi, sih?” tanya Anjani dengan kesal saat mereka sudah tiba kembali di rumah. Putri terlelap di gendongannya sejak mereka masih dalam perjalanan.
“Ibu juga nggak tahu, Nduk. Ya sudah biar Putri minum s**u formula saja. Toh dia nggak alergi dengan susunya,” jawab Sukma kalem.
Anjani menghela napas pasrah. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya yang semakin ke sini semakin aneh dan tidak dapat ditebak.
“Ibu sudah mencoba menghubungi Kak Anjeli?”
“Sudah, Sayang. Dan kakak kamu nggak bisa dihubungi. Sudah! Daripada terus memikirkan kakak kamu, yang terpenting sekarang Putri dalam keadaan baik-baik saja terutama s**u formulanya. Lagi pula, sudah satu minggu ini dia kan mulai makan makanan pendamping ASI. Jadi jangan berpikir terlalu berat,” pesan Sukma.
Anjani mengangguk saja. “Apa kita cari baby sitter saja ya, Bu?”
“Kenapa harus cari baby sitter jika ibu masih bisa menangani Putri? Ada kamu juga yang bergantian menjaga Putri selepas sekolah.”
“Biar ibu nggak terlalu capek. Ibu kan juga ada pekerjaan dengan pesanan baju orang-orang.”
“Insya Allah Ibu tidak capek. Jadi batalkan niat kamu untuk mencari baby sitter,” tegas Sukma.
Anjani mengalah. Titah ibunya adalah kebaikan. Ia pun berjalan ke kamar Putri untuk membaringkan Putri yang tertidur. Sebelum itu, ia tata kasur kecil seukuran tubuh Putri dan membaringkan Putri di atasnya.
“Kamu segera siap-siap ke sekolah. Sudah jam enam lebih. Kamu bisa terlambat.”
“Iya, Bu,” jawab Anjani patuh.
Anjani mengusap dahi Putri lembut. Ia juga mengecupnya sambil berdoa agar Putri lekas sehat. Ia tak tega melihat keponakannya harus kesakitan.
***
“Apa maksudnya ini, Mas?” tanya Sukma kepada Purnomo dengan mata nanar dan hati yang terluka.
Purnomo menghela napas berat. Ia tahu bahwa ia telah menorehkan luka di hati istrinya. “Maafkan aku, Dek. Aku saat ini berada di antara persimpangan jalan yang harus kupilih ke manakah langkah yang harus kutuju. Dan setelah berpikir dengan matang, aku memilih mengakhiri pernikahan kita dan berbelok ke dunianya Siti,” kata Purnomo dengan menunduk dalam.
Alat pendengaran Sukma rasanya ingin meledak mendengar penuturan Purnomo. Sungguh menyakitkan. Pernikahan mereka yang sudah berjalan lebih dari 15 tahun itu terkalahkan dengan datangnya seorang perempuan yang pernah ada di hati suaminya sebelum mereka menikah.
“Lalu dulu kenapa kamu menikahiku Mas jika kamu mau meninggalkanku?” teriak Sukma kencang. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin melampiaskan amarah dan kekecewaannya.
Purnomo hanya menunduk semakin dalam. Ia tidak mampu memberikan jawaban yang tepat kepada istrinya.
Melihat Purnomo yang hanya diam. Sukma menyimpulkan bahwa hati Purnomo akan tetap memilih Siti meskipun harus meninggalkan luka di hatinya.
Mereka berpikir bahwa percakapan mereka akan aman karena dilakukan saat Anjeli dan Anjani masih di sekolah. Namun mereka tidak sempat terpikir di benak mereka bahwa bisa saja salah satu putri mereka pulang lebih awal dan mendengarkan semuanya.