SATU

1052 Words
Diam. Itulah ekspresi Maira saat mengetahui jika selama ini ayahnya menutupi kondisi perusahaannya. "Papa kenapa gak bilang? Sekarang kalo kayak gini gimana? Dito tau?" tuntut Maira. "Dito belum tahu. Papa cuman gamau membebani kamu dengan semua pekerjaan kamu, terus Papa tambah dengan kabar buruk perusahaan kita" ujar Agung pada putri sulungnya. "Gak bisa gini juga dong Pa. Aku direktur di perusahaan ini terus Papa nutupin semua dari aku?" tuntut Maira tidak terima.Agung hanya dapat menghela napas.  Ada satu berita buruk lagi yang harus ia katakan pada putrinya. Ia merasa tidak sanggup jika harus berkata jujur. "Satu lagi, perusahaan kita punya hutan, cukup banyak" ujar Agung. "HUTANG?!" pekik Maira kaget. "Sama siapa? Berapa? Sejak kapan?" cerocos Maira. "Sama teman Papa" ujar Agung lesu."Beberapa outlet kita tutup di beberapa daerah, sepi pengunjung. Mau gak mau kita harus gulung tikar" ujar Agung menjelaskan. Maira masih tidak percaya ia harus di hadapkan dengan situasi seperti ini.  Ia benar-benar pusing dan tidak harus berbuat apa sekarang. Sangat tidak tahu diri jika ia memilih untuk berlibur sementara keaadaan perusahaan F&B miliknya tengah sekarat begini.  "Papa juga belum tahu alasan kenapa beberapa cabang di perusahaan kita tutup. Papa belum panggil perwakilan dari setiap daerahnya. Papa harus evaluasi, kira-kira kapan kita harus adakan rapat?" tanya Agung frustasi pada putrinya. "Secepat" sahut Mira tajam. "Sudah pasti harus secepatnya Pa! Mau nunggu sampe kapan?!" balas Maira dengan nada memekik. "Pokoknya sekarang juga, aku suruh orang untuk hubungi tiap-tiap kepala cabang di daerah. Kita adakan rapat evaluasi besar-besaran kenapa bisa sampai tutup gerai-gerainya. Kita udah punya label Halal, bayar pajak restoran juga udah. Terus apa masalahnya dong?" tanya Maira kesal sendiri. "Papa juga gak tau!" balas Agung tak kalah kesal. "Dito masih di Malaysia, sepulang dari sini, kita kasih tau.Jangan sampai ini bocor ke publik.Bisa hancur reputasi kita" ujar Maira serius. "Sudah aku mau ke ruanganku. Sebaiknya Papa pantau terus keadaan perusahaan kita di luar sana. Aku gamau lagi ada gerai yang tutup" ujar Maira sambil melangkah keluar dari ruangan kerja Agung.                                                                                                    ***   "Gue masih gak abis pikir gila, bisa-bisanya bokap gw nutupin dari gue. Bayangin aja lo, perusahaan gue nasibnya di ujung tanduk. Salah langkah aja, abis udah" ujar Maira pada Jenita. "Terus gimana dong? Lo udah nentuin langkah apa buat nyelametin perusahan lo?" tanya Jenita sambil menyeruput minumannya. "Belom, nunggu adek gue balik dulu dari Malaysia, baru rapat gede-gedean" ujar Maira .Berharap lemonade pesanannya cepat datang untuk mendinginkan otaknya.  Situasi yang sulit ini memaksa dirinya untuk berpikir dengan jernih agar tidak salah langkah yang mengakibatkan perusahaannya makin nelangsa. Sambil menerka-nerka kira apa masalah yang terjadi. "Gue saranain ya, elo meskipun otaknya mumet banget tapi jangan coba-coba ngelakuin yang aneh-aneh. Bisa ngerusak diri lo maupun perusahaan lo. At least, reputasi gak buruk jadi kalopun ada calon partner mereka tertarik dan mau kerjasama sama lo" ujar Jenita. Maira mengangguk. Seketika ia mulai mengingat apakah perusahaan maupun dirinya sendiri pernah membuat kesalahan yang sangat fatal atau tidak. "Sejauh ini, gue maupun perusahaan gue bersih.Gue sama sekali gak pernah buat masalah berat sampe berurusan ke hukum, dan perusahaan gue juga gak pernah bermasalah juga" ujar Maira menerawang. "Kalo elo emang jelas-jelas bersih Ra. Lo lagi mau bikin masalah apalagi skandal, mikir 1000 kali" ujar Jenita. "Udah, sekarang kita makan dulu mendingan biar dinign otak lo. Mikirin perusahaan butuh energi juga kali" ujar Jenita yang sudah lapar setengah mati menatap makan siangnya di hadapannya.                                                                                                   ***   Suasana rumah sepi. Semenjak kepergian Mama dua tahun lalu, suasana rumah tidak seramai dulu. Sebagai anak perempuan, tentu Maira merasa sangat kehilangan ibunya dalam sebuah kecelakaan. "Non, mesen kopi ya?" tanya pembantu rumah tangganya. "Iya, kenapa? Udah sampe ya?" tanya Maira yang baru selesai mandi itu. "Iya non, ini kopinya" ujar pemabntu tersebut menyerahkan sekantong plastik berisi es kopi s**u kesukaan Maira. Hari ini ia akan begadang menyelesaikan pekerjaannya. Ia tidak ingin perusahaannya jatuh lebih dalam, sedini mungkin harus tertolong.  Maira langsung masuk ke dalam kamarnya, ia membereskan meja kerjanya. Mempersiapkan dikumen-dokumen yang akan ia kerjakan setelah ini. Saat tengah membereskan mejanya, ponselnya bergetar.Ada satu pesan masuk untuknya.   Jenita Ra!! Mantan lo mau nikah!   Maira seketika mengernyit.Siapa mantan kekasihnya yang hendak menikah?    Maira Sejak kapan gue peduli sama mantan gue?   Balasan Maira singkat namun jelas. Iya, sejak kapan seorang Maira Goenardi peduli dengan mantan kekasihnya? Sejak pertama kali putus cinta hingga yang terakhir kali dua tahun lalu, Maira tidak pernah peduli apapun yang terjadi pada mantan kekasihnya setelah mereka putus, baik atau tidak perpisahan mereka dulu.  Maira menghela napas dan melirik foto keluarganya yang ia taruh di meja kerjanya. Motivasinya untuk bekerja keras. "Seandainya Mama masih ada" ujar Maira lirih. Bayangan hari paling menyedihkan dalam hidupnya saat menerima kenyataan bahwa Mamanya meninggal dalam sebuah kecelakaan membuat air matanya tanpa sadar menetes.  Ia buru-buru menghapus air matanya sebelum semakin deras.    Maira keluar dari kamarnya untuk mengambil segelas air putih di dapur. Setelah selesai mengambil air,  dan hendak naik ke atas kembali ke kamar, sayup-sayup Maira mendengar percakapan ayahnya dengan seseorang di telfon. "Duh, tolong beri aku waktu lagi dong.Kamu ngertikan perusahaanku gimana?Perusahaanku belum ada pemasukan lagi" ujar Agung terdengar panik. "Pokoknya kalau sudah ada nanti pasti aku ganti, tenang aja. Aku aman pernah ingkar janji sih?" ujar Agung meyakinkan lawan bicaranya itu.Maira mencoba mencerna percakapan ayahnya. Bisa di pastikan jumlah yang di pinjam dalam jumlah besar.  Setelah ayahnya selesai berbicara, Maira buru-buru pergi agar tidak ketahuan habis menguping pembicaraan penting dan rahasia tadi.  "Kira-kira berapa ya hutang yang harus di bayar?" tanya Maira pada dirinya sendiri. "Kira-kira sama siapa ya Papa pinjemnya?"  Percakapan Papa semalam dengan temannya itu benar-benar membekas di pikiran Maira. Ia sangat penasaran dengan siapa ayahnya itu meminjam dan berapa jumlah uang yang di pinjam. Jika saja jumlahnya masih sanggup ia bayar, ia akan meulnasinya dengan uang pribadi miliknya. Sekali pun harus menjual mobil kesayangannya pun tidak masalah baginya. Peursahaannya lebih penting ketimbang mobil yang masih bisa ia beli kapan pun itu.  Saat mobilnya memasuki area kantor, perasaannya mencelus. Melihat perusahaan yang sudha dibangun dengan susah payah dan kerja keras ini, nasibnya kini di ujung tanduk. Satu langkah saja yang akan di ambil, akan sangat bernasib pada perusahaan ini kedepannya.  Maira turun dari mobil dan langsung menuju ruangannya. Beberapa karyawannya menyapanya dengan ramah, i amembalasnya dengan ramah dan sejuta kemungkinana buruk yang akan ia hadapi ke depannya. Ini benar-benar mimpi buruk yang akan di hadapi oleh Maira dan perusahaannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD