DUA PULUH LIMA

1011 Words
Maira melihat ada secangkir kopi di tempat Nico. "Ini kopi siapa Ma?" tanya Maira sambil menunjuk cangkir tersebut.  "Mama juga gak tau, Mama pikir kamu yang siapin" ujar Nitya. "Itu buatan saya" suara sombong Hilda dari belakang Maira membuat Maira menoleh. Maira hanya menatap Hilda datar sesaat lalu langsung duduk di kursi.  Mau sok-sokan bikin kopi? Sok!!  batin Maira. Nico akhirnya datang dan bergabung dengan keluarganya untuk sarapan. Maira sengaja sedikit menjauhkan kopi buatannya. Ia ingin melihat reaksi Nico emminum kopi buatan Hilda. "Aku bikinin kamu kopi loh" Hida menggeser cangkir kopi tersebut ke hadapan Nico.  "Kamu bikin sendiri? Aku minum ya" Nico mengangkat cangkir tersebut dan menyeruput kopi tersebut pelan-pelan. Tanpa di duga, Nico juga menyemburkan kopi tersebut hingga membuat kemeja kerjanya ternoda. Nico tidak bisa menahan ekspresinya saat itu juga. "Pahit banget" Nico mengeluh. Maira buru-buru memberikan Nico air putih. Nitya dan Sutedja menahan tawanya. Hilda terlihat kebingungan sendiri karena kopi buatannya justru sangat pahit. "Yah, kotor deh bajunya" Nico mengelap cipratan kopi yang mengenai kemejanya itu.  "Aku ganti baju dulu" Nico langsung meninggalkan ruang makan dan bergegas menuju kamarnya. Maira pun mengikuti Nico untuk mengambilkan baju gantinya. "Kamu pikir Nico dukun? Di kasih kopi pahit begitu" sindir Sutedja sambil beranjak dari kursinya. Hilda pun tidak ada habisnya memanyunkan bibirnya sejak saat itu.                                                                                             **** "Eh udah balik ngantor lagi lu" ujar Dito saat melihat kakaknya baru saja kembali dari ruangan Agung. "Udahlah, udah abis ini cutinya" jawab Maira.  "Jadi Arfa sama siapa di rumah?" tanya Dito mengekor Maira. "Sama suster, sama Mamanya Nico juga" jawab Maira. Dito hanya mengangguk. Maira berjalan keluar kantor untuk makan siang bersama Jenita. Setlah tiga bulan tidak makan bersama, akhirnya Maira dan Jenita bisa menghabiskan makan siang bersama. "Maira!!!!!" pekik Jenita bahagia.  Maira menghampiri sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu dengannya ini. "Akhirnya lu selesai cuti juga ya Ra!" Jenita memluk Maira dengan erat. "Beda ya sekarang, kemana-mana bawa cooler bag begitu" Jenita menunjuk ke arah cooler bag milik Maira.  "Iya dong Ta, udah punya buntut begini" ujar Maira.  "Yaudah yuk kita buruan pesen makan siang!" ujar Jenita riang sambil membuka buku menu. "Jadi kehidupan lu selama cuti gimana Ra?" Jenita membuka pembicaraan di sambil menyetir mobil. Maira duduk di kuris penumpang sambil sibuk memompa ASI untu Arfa. "Ya gitu, ngurusin Arfa aja sehari-hari. Kadang gue megang kerjaan juga. tapi gak sering-sering banget. Baru seminggu terakhir ini pake suster karena udah dateng" jawab Maira. Jenita hanya mengangguk. "Oh iya Ra, si mak lampir itu gimana?" tanya Jenita dengan nada penuh ingin tahu. "Ya dia mah kagak kerja, di rumah aja. Eh ada kerjaannya deh. Belanja all the time. Anaknya di titipin aja sama suster. Tiap kali pulang ke rumah udah kayak belanja sembako buat stok dua bulan. Banyak banget Ta!" jawab Maira penuh semangat. "Gue aja kalo belanja gak ampe segitunya. Masih mikir-mikir nih barang ada faedahnya gak gue beli. Ini mah kagak Ta. I want it, I get it" imbuh Maira lagi. "Bener-bener ya tuh cewek. Kalo sampe Nico di tinggalin ama dia, bisa sakit jiwa kali ya si Nico " sahut Jenita. "Kalo gue jadi lu, udah gue cerain Ra. Gak mau deh gue ngehabisin sisa hidup gue sama dia" ujar Jenita sambil menunjukkan gestur geli. Tunggu, cerai? Kata itu bahkan tidak pernah terlintas di benak Maira, bahkan setelah satu tahun membina rumah tangga dengan Nico. Meskipun Nico selalu menyudutkannya, dan tidak memperlakukannya selayaknya seorang istri, namun Maira tidak pernah sampai terlintas untuk menceraikan Nico. Apa iya gue harus cerai sama Nico? Maira membatin.                                                                                                 **** "Cucu siapa ini ganteng banget" Nitya menggendong Arfa yang baru selesai minum s**u, lalu menciumnya dengan gemas. "Suster makan siang dulu, biar saya yang jagain Arfa" ujar Nitya. Suster tersebut pun keluar dari kamar Arfa untuk makan siang. Nitya membawa cucunya itu keluar kamar, ia ingin membawa Arfa ke taman di belakang rumah. Sutedja menghampiri istrinya yang tengah asyik menghabiskan waktu bersama dengan Arfa. "Papa cariin kemana-mana. Gak taunya di sini" Sutedja berjalan menghampiri Nitya. "Ada apaan emangnya Papa cariin Mama?" tanya Nitya. Arfa menolehkan kepalanya ke arah Sutedja. Ia menatap lekat-lekat kakeknya itu. Sutedja hanya memandang Arfa dengan datar, atau lebih tepatnya seperti tidak menginginkan kehadiran Arfa. "Gak apa-apa, kirain Mama kemana" ujar Sutedja lalu pergi ke masuk ke dalam. Nitya yang menangkap tatap tidak suka dari Sutedja itu langsung memeluk cucunya dengan erat. "Nenek di sini, buat kamu" "Pa" Nitya memanggil Sutedja yang sibuk membaca tentang laporan perusahaan yang kini sudah di kelola oleh ketiga anaknya. "Hmmmmm" jawab Sutedja dengan gumaman. "Apa Papa harus kasih tatapann begitu ke cucu sendiri?" tanya Nitya. Ia sudah tidak bisa berbasa basi lagi. Ia tidak tenang sedari tadi memikirkan tatapan suaminya. "Emangnya tatapan Papa gimana sih?" tanya Sutedja dengan tenang. "Ya begitu, tatapannya gak suka, gak bisa nerima Arfa" ujar Nitya. "Kalau memang Papa gak bisa terima Arfa gimana?" tanya Stuedja, dengan suara ayng amat sangat tenang. Nitya kaget mendengar ucapan suaminya itu. "Kalo Papa gak bisa nerima anaknya Hilda, gak apa-apa. Tapi ini anaknya Nico dan Maira, cucu Papa sendiri!" gertak Nitya. "Apa salahnya Arfa sih Pa?" tanya Nitya frustasi. "Kurang menderita apa keluarganya Agung Papa buat?" tanya Nitya. "Mama punya bukti apa bilang Papa yang buat keluarganya Agung menderita? Bukannya dia sendiri yang bikin diri dia sendiri menderita? Dia yang ngutang sama Papa, kenapa Papa yang di bilang bikin hidup orang lain menderita?" Sutedja sangat tidak terima dengan ucapan istrinya sendiri. "Keputusan Maira mneikah sama Nico juga itu dia yang ambil, bukan Papa. Jadi bagina mana yang buat mereka menderita?" tanya Sutedja lagi. "Papa bahkan gak pernah mau komunikasi sama cucu sendiri. Apa Papa pernah nengok Arfa sebentar?" tanya Nitya. "Papa sekarang sudah pensiun dan lebih banyak waktu di rumah. Kenapa cumah untuk ketemu sama cucu sendiri susah bukan main?" tanya Nitya lagi. "Papa kesel sama Arfa? Atau mungkin kesel sama Maira?" Nitya menebak-ebak lagi. Sutedja hanya terdiam melihat tingkah istrinya yang meronta-ronta padanya. "Sebelum semuanya terlambat, lebih baik Papa ubah sikap Papa" ujar Nitya sambil keluar dari kamar meninggalkan Sutedja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD