DUA PULUH ENAM

1207 Words
Maira melihat jam tangan yang di berikan oleh Agung.  "Mama pinter banget ngerawatnya" Maira mengagumi jam tangan milik mendiang ibunya itu.  Agung hanya tersenyum kalem saat melihat putrinya sangat bahagia menerima pemberiannya, 'warisan' dari Agni. "Simpen baik-baik ya" ujar Agung pada Maira. Maira mengangguk antusias.  Ia lalu keluar dari ruangan Agung dengan hati yang sangat riang. Jam tangan tersebut di masukkan kembali ke dalam kotak, Maira memasukkan ke dalam tasnya. Tidak sabar untuk menaruhnya di jewelry box milihnya. Karena menurutnya, benda ini merupakan perhiasan paling mahal yang pernah ia miliki.  Agung hanya tersenyum melihat putrinya yang keluar dari ruangannya dengan bahagia itu.  "Pa" lamunan Agung buyar karena Dito masuk ke dalam ruangannya. "Aku mau periksa cabang yang di Solo ya, kemarinkan sempet kena kebakaran resotran sebelahnya. Jadi aku mau cek dulu" ujar Dito. "Yasudah, atur aja jadwalnya. Kasih tau Papa kapan kamu mau pergi ya" ujar Agung. Melihat kinerja Maira dan  Dito yang semakin hari semakin membaik, membuatnya menjadi tenang jika suatu saat nanti ia pensiun dari pekerjaannya ini.                                                                                          **** Maira menaruh jam tangan pemberian Agung dengan hati-hati.  Ia sesekali berdecak kagum melihat jam tangan yang masih sangat mulus itu. Ibunya benar-benar merawat pemberian ayahnya. "Apaan tuh?" tanya Nico pada istrinya yang senyum-senyum sendiri. "Jam tangan punya Mama, kemaren Papa beres-beres lemari Mama dan nemuin ini. Daripada di jual Papa ngasih aku" jawab Maira. Nico tidak mengetahui banyak hal tentang mendiang ibu mertuanya itu. Ia hanya tahu ibu mertuanya sudah meninggal lima tahun lalu karena penyakit kanker yang di deritanya.. Di sisi lain, ia juga tidak ingin tahu menahu tentang ibu mertuanya sendiri. "Kamu mau kemana?" Maira melihat Nico yang sudah rapih dengan pakaiannya. "Hilda's birthday dinner" jawab Nico dengan santai. Seakan ucapannya adalah hal biasa bagi istrinya.  Hati Maira mencelos mendengar ucapan suaminya sendiri. Nico memang ingat dengan ulang tahunnya, ia juga mengucapkan selama tulang tahun untuknya, namun tidak pernah ada perlakuan yang selayaknya seorang suami lakukan pada istrinya di hari ulang tahun.  "Udah ya, aku pergi dulu. Kalo kemaleman kasian Bianca" ujar Nico yang melongos pergi begitu saja. Pandangan Maira teralih ke putranya yang berbaring sambil bermain dengan mainannya.  Sekecil ini dan Arfa belum pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Sedangkan untuk Bianca yang jelas-jelas bukan darah dagingnya, ia memberikan semua yang di butuhkan untuk anak itu tanpa berpikir panjang.  Maira menghampiri Arfa yang asyik bermian dan mengelusnya dengan sayang. "Mama gak tau kita harus begini sampai kapan. Sabar yaa" "SUSTER!!!!" teriak Hilda begitu keras di pagi hari.  Pengasuh putrinya itu buru-buru menghampiri Hilda yang tengah menggendong Bianca. "Kemana aja sih? Kalo di panggilin itu langsung nyaut!" ujar Hilda ketus. "Nih gendong dulu si Bianca. Dari tadi nangis terus! Pusing baget kapala saya! Kasih s**u kek, gantiin popoknya kek kalo gak. Saya mau pergi, udah ada janji sama temen soalnya" Hilda pergi begitu saja tanpa mau tahu lagi urusan anaknya. "Setan kok bisa jadi ibu sih?" Nitya menggeleng melihat tingkah Hilda. "Udah sana Mbak, bawa ke atas. Gak anak gak ibunya sama-sama rewel" omel Nitya.  Pengasuh tersebut buru-buru membawa Bianca ke kamarnya. "Bu, itu tadi susternya Bianca udah naik ya?" tanya seorang pembantu rumah tangganya. "Iya, kenapa emangnya?" tanya Nitya. "Sarapannya belum habis bu, baru makan tiga suap" jawab pembantunya. Nitya tidak habis pikir Hilda bertindak semena-mena seperti ini. Ia melepas tanggung jawab putrinya pada pengasuhnya begitu saja. Padahal seharusnya ialah yang menanggung kerewelan Bianca pagi ini. "Simpenin aja dulu Mbak. Kalo udah kelar nanti dia bisa makan lagi. Saya doain dia bisa cepet dapet bos baru yang lebih baik" ujar Nitya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.  Pembantu tersebut menurut dan segera pergi ke dapur, meninggalan Nitya yang tidak habis pikir dengan sikap Hilda pagi ini.                                                                                             **** Dito sudah janji untuk makan siang dengan beberapa temannya semasa SMP. Mereka memilih sebuah restoran untuk makan siang. Setelah sampai, Dito langsung menhampiri teman-temannya yang sudah duduk sambil menunggu pesanan mereka datang.  Kehadiran Dito di sambut oleh teman-tmeannya dnegan riang. Karena Dito memang terkenal paling usil semasa SMP dulu. "Udah sini-sini raja usil ,mendingan lu pilih makanan. Kalo kelamaan milih, ntar kelamaan masak. Gue kudu balik ke kantor gue cepet soalnya" ujar salah seorang temannya. Dito langsung memilih menu makanan dan langsung memanggil pelayan untuk segera membuatkan pesanannya. Di tengah asyiknya bercengkrama di reuni mini tersebut, pandangan Dito tertuju pada sepasang pria dan wanita, juga seorang bayi kecil yang di gendong oleh pengasuhnya. Dito memperhatikan mereka dari jauh dan akhirnya sadar bahwa itu adalah Nico dan Hilda berserta putri Hilda, Bianca dan pengasuhnya. Dito yang tadinya merasa bahagia, seketika emosinya tersulut melihat pemandangan itu. Nico terang-terangan menunjukkan kasih sayangnya Hilda dan Bianca, senfakan kakkanya dan keponakannya tidak pernah merasakan itu. Padahal seharusnya mereka lah yang merasakannya. Kalo gak gue keplak, kebiasaan. Tapi kalo sekarang, bisa rusak nama keluarga gue batin Dito dalam hatinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan gerak gerik Nico pada Hilda dan juga Bianca.  Dito benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang di rasakan oleh Maira jika melihat ini semua.  Meskipun kakaknya itu sellau mengelak bahwa ia tidak memilik perasaana apapun, tetapi Dito bukan anka kemarin sore yang tidak tahu ciri-ciri orang jatuh cinta. Setelah selesai makan Dito buru-buru meninggalkan restoran tersebut, khawatir ia akan semakin terbakar amarah dan membuat hal onar. "Pa" ujar Dito saat duduk santai di sofa ruangan Agung sambil menenggak soft drink dari kalengnya.  "Apa?" tanya Agung yang fokus bekerja. "Kalo aku marah karena kakak gak pernha ngerasain kasih sayang suainya sendiri salah gak Pa?" ucpaan Dito membuat Agung menghentikan pekerjaannya.  "Tadi aku ketemu Nico, sama perempuan sialan itu, sama anaknya" ujar Dito tanpa menatap Agung. "Adil Pa ini semua buat kakak?" tanya Dito sambil melempar tatapan kepada Agung. "Istrinya siapa, anaknya siapa. Yang di perhatiin siapa" Dito menaikkan volume suaranya. "Masih bagus tadi aku bisa ngontrol emosi ya, kalo gak. Abis itu bedua" ujar Dito lagi. Agung bisa memahami rasa kesal yang di rasakan oleh Dito. Ia pun juga tidak bisa menerima sikap Nico terhadapa Maira dan Arfa. megadukannya apda Sutedja pun rasanya tidak akan di gubris.  "Gak cinta sih gak cinta. Tapi otak di pake! Anaknya yang mana yang di sayang malah anak orang. Padahal anak sendiri butuh perhatian" ujar Dito lagi. "Baru kali ini ngeliat orang bucin sampe segininya. Kalo mereka putus nanti, aku harap Nico gak minta ganti rugi buat smeua yang duah dia keluarin buat Hilda juga anaknya. Gak akan mampu pasti Hilda ganti rugi" kelakar Dito. "Kayak begitu bsa di bilang suami Pa?" tanya Dito pada Agung dengan nada sarkas. Agung menggeleng. "Gak bisa jadi suami yang baik, gausah belagak jadi bapak yang baik. Apalagi buat anak orang, buat anak sendiri aj agak becus begitu" celetuk Dito lagi. "Sudah-sudah Dito, kamu mendingan balik kerja aja. Percuma marah-marah, gak akan jadi apa-apa juga" ujar Agung menenangkan Dito. Putra bungsunya itu kahirnya meninggalkan ruangannya. Agung merenungkan seluruh ucapan Dito. Ia benar-benar tidak bisa terima jika putri dan cucunya harus merasakan ke tidak adilan ini, tapi di sisi lain, ia juga sadar dengan latar belakang pernikahan Nico dan Maira.  "Tapi gak bisa begini, gak bisa Maira sama Arfa begini terus. Kasian dua-dua" ujar Agung sambil berpikiir seribu satu cara agar putri dan cucunya itu bisa hidup dnegan tenang dan mersakan kasih sayang suami serta ayah yang selayaknya dan sepenuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD