Dalam satu detik saja tangan kanan Gilda sudah mendarat di pipi Kendrick. “Kau pria gila!” sembur Gilda kemudian. Ia bahkan memukul d**a Kendrick serta memberikan tamparan tambahan sebelum tubuhnya terlepas dari pelukan Kendrick. “Aku akan mengadukan perlakuanmu ini pada kakek Mateo!”
“Ada apa, Nona Gilda?!” pekik seseorang yang baru saja berlari dari halaman rumah setelah turun dari mobil. “Kau baik-baik saja, Nona?!”
“Aku baik-baik saja, tapi pria itu sepertinya sudah tidak waras!” jawab Gilda sambil menunjuk ke arah Kendrick yang tengah mengelus-elus pipi, dengan tatapan tertuju padanya.
“Kau ingin pergi ke mana, Nona Gilda?” tanya Mona saat Gilda makin berjalan menjauh. Asisten rumah tangga Mateo itu pun berlari, mengejar Gilda dan menarik tangan wanita itu dengan berkata, “Maaf jika saya berbuat lancang, Nona Gilda. Apa kau ingin pergi?”
“Sepertinya aku harus pulang,” jawab Gilda begitu Mona sudah menahan tangannya.
“Kau tidak ingin di sini sebentar saja, Nona? Tuan Mateo pasti mencarimu, beliau pasti cemas jika kau tidak ada di sini.”
“Kau sudah melihatku, dan kau tahu aku ingin ke mana. Karena sudah tahu, biarkan aku pulang.”
Kendrick mendekati dua wanita beda generasi tersebut, lalu menarik Gilda. “Kau tenanglah, aku akan menjaganya untuk kakek. Dia akan tetap di sini sampai acara ini selesai,” ucap Kendrick pada Mona, yang membuat Gilda mendongak ke arahnya. Kendrick menggeret pinggang Gilda supaya beranjak dari hadapan Mona saat itu juga.
Gilda yang masih kaget, tak langsung memberontak. Wanita itu justru mengikuti ke mana Kendrick membawanya. “Ikuti ucapanku jika tidak ingin aku membongkar isi hatimu itu pada Edzhar maupun Carla ...,” bisik Kendrick setelah keduanya menjauhi Mona.
Dengan sangat terpaksa Gilda mengikuti Kendrick. Wanita itu dibawa masuk kembali, dan ternyata Kendrick memintanya untuk duduk bersama. Keduanya pun mengikuti rangkaian acara pertunangan Edzhar dan Carla dengan tenang.
Tampak Gilda yang tidak memperlihatkan ekspresi senangnya. Wanita bergaun merah kelap-kelip itu seperti berusaha tersenyum. Meski ada keanehan di dalam hati, Gilda tetap memerhatikan pasangan di depan sana. Perasaannya sedikit tidak nyaman saat jari manis Carla tersemat sebuah cincin yang dipasangkan oleh sahabat laki-lakinya.
“Bagaimana? Panas?” tanya Kendrick yang membuat Gilda melirik sekilas pada pria sok asik itu. “Kau tidak ada keinginan untuk menangis?”
Gilda benar-benar menengok ke arah Kendrick, di sebelah kiri. “Kau sendiri? Bukankah kaulah yang merasa panas? Aku tahu, kaulah yang paling sakit hati saat melihat Carla tersenyum senang di sana, seperti sekarang ...,” balas Gilda dengan senyum miring. Tentu yang dikatakan Gilda adalah suatu kebenaran, karena sempat melihat sorot mata Kendrick yang seakan membenci pemandangan pertunangan dua orang di depan mereka.
“Kau tahu itu?” Gilda mengiyakan dengan terus menatap Edzhar dan Carla. “Tapi sepertinya ada wanita lain yang mengisi hatiku,” ucap Kendrick yang membuat Gilda menarik napas sebentar. “Bukankah kita sama-sama tidak suka dengan pertunangan mereka?”
“Lalu?”
“Bagaimana kalau kau dan aku menjalin hubungan?” Tentu saja Gilda mendelik dan mengalihkan tatapannya menjadi ke arah pria di sampingnya. Ia terdiam, hampir saja ia ingin meneriaki nama Kendrick saat itu juga. Akan tetapi, ucapan MC di depan sana membuatnya kembali fokus pada acara. “Apa kau ingin kita langsung menikah saja?”
“Kau memang sudah gila!” pekik Gilda setelah pembawa acara mempersilakan para tamu untuk menikmati hidangan yang tersedia di bagian deretan paling belakang para tamu.
“Aku saja baru kenal dirimu beberapa menit lalu!”
“Baiklah, kalau begitu mengapa tidak kita coba berkenalan lebih jauh dulu? Lagi pula kau sedang tidak berhubungan dengan seseorang, bukan?” Gilda menggeleng seraya bangun dari kursinya. “Kau mau ke mana?!” Tepat kala Kendrick berhasil menjangkau pergelangan tangan Gilda, suara Carla memanggil pria itu terdengar oleh keduanya.
Gilda yang hendak pergi itu pun menjadi heran saat Kendrick melepas tangannya tiba-tiba dan tersenyum dan berdiri ke arah Carla. Melihat senyum Kendrick, Gilda menggeleng. “Dasar! Oh, jangan bilang kalian berdua pernah ada hubungan ...,” bisik Gilda yang tak terlontarkan sambil menatap Kendrick yang mengucapkan selamat pada Carla dengan tidak tulus. Gilda mampu melihat ekspresi dan nada suara Kendrick yang berbeda.
Tiba-tiba saja Carla menerima pelukan Kendrick dan wanita itu mengajak Kendrick ke arah meja khusus makanan. “Aku harus membawa sahabatku ini sebentar, Gilda. Kami pergi dulu, ya!” seru Carla yang sudah pasti Gilda persilakan. Detik itu juga, Gilda menyadari bahwa pasti ada sesuatu di antara Carla dan Kendrick. Sesudah kepergian dua orang itu, pundaknya ditepuk seseorang dari belakang.
“Ed? Kenapa ke sini? Kau tidak mau berduaan dengan Carla?”
Edzhar tertawa pelan. “Untuk apa? Dia tidak akan kemana-mana. Kebetulan aku sedang ingin berbicara dengan sahabatku.” Gilda lantas menunjuk dirinya sendiri. “Siapa lagi kalau bukan kau, Gil? Ayo, kita ambil makanan terlebih dulu sebelum berbincang denganmu lebih jauh.”
“Ah, tidak bisa. Aku haru pulang, Ed.” Edzhar yang sudah meraih tangan Gilda itu langsung merasakan hempasan cukup kencang. “Bibi sedang membutuhkanku. Ada banyak pesanan roti untuk besok pagi, kami semua akan sibuk. Aku ingin pulang sekarang,” alasan Gilda yang membuat Edzhar menatapnya penuh selidik.
“Kau sedang tidak berbohong, ‘kan?”
“Tidak, Ed. Aku serius, besok pagi ada pesanan roti. Malam ini kami harus mulai membuat sebagian.”
Dengan berat hati Edzhar mengizinkan Gilda pulang. Namun, sebelum itu Edzhar menelepon sang sopir agar mengantar Gilda pulang. Edzhar juga meminta Gilda untuk bertemu dengan Mateo terlebih dulu sebelum angkat kaki dari kediaman Carla.
*
Hampir satu bulan lamanya Gilda berkutat dengan toko serta customer yang selalu ramai setiap harinya. Semenjak toko rotinya ikut dipromosikan di media sosial, Gilda jadi tak punya waktu untuk berlibur beberapa hari. Bahkan ia harus mencari tambahan pekerja, dan menyewa tempat lagi untuk memperluas ruang produksi roti dan kue-kue miliknya.
Akibat dari kesibukan itu, Gilda pun jarang memerhatikan kondisi tubuh. Hingga siang ini Gilda mendadak pingsan di ruang produksi. Dalila yang panik lantas meminta beberapa pekerja untuk membantunya mengantar Gilda ke rumah sakit.
Belum sampai di rumah sakit, Gilda sudah sadar. Karena efek aroma dari minyak kayu putih, wanita itu terbangun. Gilda yang sudah membuka mata itu pun berkata, “Kepalaku pusing ... sepertinya karena perut kosongku.”
“Kau membuatku khawatir! Lain kali jangan lewatkan jam makan siangmu, aku tidak suka melihatmu pingsan!” sembur Dalila dengan muka yang masih syok. “Kita hidup hanya berdua saja, Gilda. Seharusnya perhatikan kesehatanmu, aku hanya punya dirimu,” tambahnya yang membuat Gilda mengangguk dan berusaha untuk duduk tegak.
“Cari tempat makan saja, Bibi. Aku lapar,” ucap Gilda seraya mengelus perutnya. Sang bibi pun meminta sopir toko roti mereka untuk mencari tempat makan terdekat.
Tidak butuh waktu lama, mobil yang ditumpangi mereka berhenti di depan resto. Dalila dengan bantuan karyawannya, membantu Gilda turun. “Tidak perlu berlebihan, aku baik-baik saja. Lebih baik kalian kembali ke toko, aku bisa urus diriku sendiri,” terang Gilda setelah mereka keluar dari mobil.
“Aku akan mengantarmu sampai dalam,” lontar Dalila tegas. Ia menggandeng Gilda sampai masuk ke resto tersebut. Sampai di dalam, Gilda memohon pada sang bibi untuk kembali ke toko, dan membiarkannya pulang sendiri. Karena Gilda sangat keras kepala, alhasil Dalila setuju dengan meminta sopir toko untuk tetap menemani Gilda. “Jaga dirimu baik-baik, aku kembali sendiri saja. Makanlah yang banyak,” pesan Dalila sebelum keluar.
Seperginya sang bibi, Gilda menyampaikan apa yang ingin sekali ia makan pada waitress. Begitu sang pelayan resto tersebut pergi, Gilda terdiam sambil mengelus perutnya. Ia menunduk dan berbisik, “Maafkan aku karena terlalu fokus bekerja, sampai lupa bahwa bisa saja kau kelaparan, maaf ....”
Makanan yang Gilda pesan pun datang. Gilda sangat ingin memakan sapo tahu seafood yang menurutnya sangat nikmat dimakan di waktu terik seperti ini. Bukan cuma itu, di meja Gilda sudah tersedia cumi goreng mentega. Satu gelas jus alpukat bahkan sudah lebih dulu ia minum sebelum mencicipi menu utama.
Gilda tidak langsung menghabiskan sapo tahu, tetapi diselingi dengan cumi goreng mentega yang tak kalah menggugah seleranya. Wanita itu tampak makan dengan tenang, dengan sesekali mengelus pelan perutnya. Sesekali harus meminum jus, karena haus melanda.
Wanita yang memakai gaun sebetis berlengan pendek itu dikejutkan dengan suara seseorang. Suara yang tak asing, dan berasal dari belakang tubuh, membuat Gilda menoleh. Sosok Mateo tengah tersenyum padanya dan memilih duduk di depan Gilda tanpa izin lebih dulu.
“Ka-Kakek?” Gilda agak terbata-bata dan berusaha menunjukkan senyum. “Apakah Kakek makan siang sendirian?” tambahnya sembari melirik ke kanan dan kiri, lalu ke belakang sebelum akhirnya kembali melihat depan.
“Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan padamu, Gilda ...,” balas Mateo yang terlihat begitu serius di mata Gilda. Wanita itu sampai meraih segelas jus alpukatnya sebelum mengangguk dan mempersilakan Mateo bersuara. “Hal ini mengenai malam ... di mana kau dan Ed pulang dari club.”
Detik itu juga Gilda merasa waktu berhenti. Tatapannya pada Mateo semakin tajam, terlebih saat tangan kirinya refleks terulur ke perut yang masih rata. Dadanya berdegup lebih cepat saat Mateo mengambil sebuah ponsel dari kantong kemeja yang pria tua itu pakai, dan mengucapkan, “Ada yang aneh malam itu.”