"Kenapa kau mau peduli dengan putri kepala desa itu? Dia menyebalkan, sangat malah. Itu ulahnya sendiri dan biarkan saja."
Mia mendesis, memperingati Liana dengan cibiran saat gadis itu cemberut dan memberi tatapannya pada Saito yang tengah beristirahat.
"Apa aku bicara salah, guru? Anaknya selalu mencari keributan dengan Mia. Bahkan dia sempat menuding kalau Mia mengambil kekasihnya. Demi apa? Aneh sekali dia."
Saito membuka mata, melihat Mia menegur Liana dan gadis kecil itu begitu jelas bersikap semakin keras kepala. "Mia tidak mungkin setega itu padanya. Mempelai perempuan mendapat luka yang cukup serius nyaris menyentuh tujuh puluh persen. Apa kau tidak iba padanya, Liana?"
"Aku tidak peduli," gadis itu cemberut dengan gelengan. "Walau merasa kasihan hanya sedikit."
Saito meneleng menatap keduanya dan melirik Arata yang mendengarkan tanpa bicara. Pria asing itu mengambil tempat agak jauh, menatap mereka dengan bola matanya yang dingin dan pekat.
"Arata sang pengembara juga memilikinya," kata Liana mendadak merubah topik percakapan. "Apa kau bisa mencobanya denganku lain kali?"
"Liana," Mia memanggilnya dan gadis itu sengaja bersikap malas.
"Bagaimana jika dia lebih kuat darimu?"
Liana menoleh menatap sang guru. "Dia mantan pejuang hebat juga, bukan? Sama seperti guru di masa lalu."
"Aku hanya orang biasa dan kemampuanku juga tidak terlalu bagus." Arata menyahut dari kegelapan dan Mia berbalik untuk melihatnya. Sosoknya yang kelam, membaur dengan sudut teras yang tidak terkena cahaya lentera. Samar dari tempatnya duduk Mia bisa mendengar gemerisik dari kimono milik pria itu.
"Kau hanya sedang merendah."
"Sebelum kau mengajak orang lain, kau seharusnya berhasil atas diriku. Kemampuanmu masih payah dan kau meminta orang lain untuk mencoba?" Mia menengahi dan menggeleng menatap Liana muram. "Ingat kata guru, Liana. Benda itu bukan untuk menggores siapa pun melainkan melindungi dirimu dan orang lain. Kau belajar ilmu bela diri juga karena itu."
"Aku mengerti," Gadis itu mencicit pelan dan memilih menunduk.
"Dia termotivasi untuk menjadi hebat. Kau banyak berubah dari sebelumnya," Saito memujinya dengan tulus membuat senyum manis gadis itu merekah bagai buah yang masak. "Belajarlah menjadi lebih baik. Bukan hal yang penting karena kau adalah perempuan. Ilmu tidak terbatas bagi kalangan usia dan jenis."
Liana menengadah dengan kedua matanya yang berbinar ceria. "Aku belum berhasil membuat mundur Mia, mantan murid perempuan pertama guru Saito. Sekarang aku merasa bersemangat."
Saito hanya tersenyum dan Mia memberi dengusan, melihat Liana terkekeh membuat dirinya ikut tersenyum tipis.
"Aku harus pergi untuk tidur. Selamat malam semua. Pastikan kau bangun lebih pagi, Liana."
"Siap, kapten." Gadis itu melompat riang berjalan menuju kamarnya sendiri dan menyisakan Mia berdua bersama Arata yang lebih banyak diam.
"Aku juga harus berangkat besok pagi."
"Ke rumah kepala desa lagi?" tanya Mia spontan.
"Ada dokter yang menyarankan agar ramuan itu ditambah dengan bahan herbal. Racikan akar daun bisa mengurangi bekas jelas akibat kulit yang memerah," balas Mia datar.
Arata berdiri bangun dan secara refleks Mia mundur, terkejut karena sikap pria itu. "Aku akan ikut denganmu."
"Apa?" Mia kesulitan bicara saat menemukan Arata telah berbalik menjauh menuju kamar.
"Selamat malam."
Dengan raut tak percaya, tatapan Mia mengikuti pria itu hingga masuk dan menutup pintunya sendiri.
***
"Mia, selamat pagi."
Penduduk yang lewat menyapanya dengan ramah. Arata melihat kebanyakan yang memanggil nama gadis itu adalah seorang perempuan, sementara dari pihak lelaki sering kali sengaja memberikan pandangan memuja atau mendamba.
"Mereka semua mengenalmu."
"Aku seorang tabib sekaligus ahli herbal di Asakusa dan tidak ada yang lain," balas Mia seraya berbisik. "Jelas saja mereka tahu diriku. Kadang mereka mencari obat herbal untuk digunakan sendiri ketika merasa lelah atau sakit."
Arata hanya mengangguk. Berjalan bersama menyusuri jalan untuk sampai ke rumah kepala desa. Kurang dari sepuluh menit mereka sudah tiba. Dan benar saja sesuai dugaannya, rumah itu dijaga sempurna oleh sebagian aparat setempat.
"Aku menunggumu di sini."
Mia mengangkat alis, menatap salah satu anggota yang berdiri dan pada Arata bergantian. "Apa mereka kenal dirimu?"
"Kurasa tidak. Mungkin atasan mereka pernah terlibat denganku di masa lalu. Aku tidak ingin mencari perkara baru," ucapnya serius mengendik pada pintu masuk agar Mia segera pergi. "Mengapa melamun? Cepat ke sana sebelum kau terlambat."
Ekspresi gadis itu terlihat jengkel dan Arata jelas mengabaikannya. Mia bergegas setelah memperkenalkan dirinya dan pintu kayu itu terbuka lebar. Setelah sosoknya hilang, Arata bergeser sebentar untuk tidak terlihat dari mata mereka.
Kurang dari dua puluh menit, Mia kembali muncul dari gerbang yang terbuka. Wajahnya sedikit pucat saat dirinya berjalan, hampir tersandung karena Arata meraih lengannya, meminta agar bersembunyi di tempat yang lebih kosong.
"Kau menemukan sesuatu di dalam?"
Sorot mata teduhnya memancarkan keterkejutan. "Kau tahu apa tentang ini?"
"Jawab saja pertanyaanku," sahut Arata cepat.
"Aku melihat benda yang tak asing. Bisa kita bicara di tempat lain?" Mia mengintip dan melihat jendela rumah kepala desa tertutup rapat. "Ini masih terlalu dekat dengan mereka."
Arata mengiyakan kali ini. Dia melepaskan tangannya dari Mia dan membiarkan gadis itu berjalan pergi. Sang tabib lebih dulu berbelok, melangkah dengan santai untuk tidak menarik perhatian orang lain.
"Itu sangat aneh dan aku tidak bisa berasumsi buruk sebelum melihatnya secara jelas."
"Aku menduganya," balas Arata setelah langkahnya mampu mengiringi Mia.
"Bagaimana bisa?"
"Ketika pernikahan dan sebelum terjadinya insiden itu. Aku telah mengamati semuanya." Arata menghela napas memeriksa sekitarnya dan terdiam. "Karena keterbatasan waktu, aku tidak bisa melihat ke dalam rumah dan belum punya cara untuk pergi."
"Aku mulai merinding sekarang," tukas gadis itu serius.
"Jika kau bisa mengambil salah satu bahan lalu menelitinya di rumahmu, jawaban itu pasti ada. Andai saja tak ada yang berjaga di luar," bisik Arata pelan mengamati sekeliling yang tidak terlalu ramai.
Kedua matanya mendingin saat Mia hampir berjengit melihat seseorang mengarahkan sesuatu berbentuk pipih ke arah mereka dari atas pohon. Gadis itu lekas menunduk dan dalam gerakan yang tak terlihat matanya, Arata berusaha untuk menepis benda itu agar tidak menyentuh mereka berdua.
Ada setetes air yang jatuh dan Mia berdebar panik. Wajahnya pucat pasi saat melihat ujungnya telah dilapisi semacam cairan berwarna hitam. Aromanya begitu menyengat dan warnanya pekat sesuai nama yang dikenalnya.
"Jangan coba menyentuhnya," ujarnya menyela Arata yang membungkuk mencoba memegang benda kecil yang tergeletak. "Dia sengaja melakukannya. Aku kenal dengan bau dan bahannya."
"Senang berkenalan denganmu, sang pengembara handal."
"Kembalilah lebih dulu," pinta Arata dengan gestur seolah melindungi. Beberapa orang memutuskan untuk mundur saat pria dengan topeng misterius bergerak turun, menyebarkan awan gelap baru bagi penduduk setempat. "Aku yang akan menahannya di sini."
"Apa kau yakin?"
"Jangan bicara pada siapa pun," bisiknya dan Arata melarikan diri untuk meraih atensi pria bertopeng itu mengikutinya. Sedangkan Mia menyimpan barang yang terlupakan dan berlari ke arah lain, berusaha mencapai pagar kayu rumahnya.
Sang tabib masih terus berlari, membuka pintu dan tersengal lelah saat sampai. Napasnya berembus cepat, memegang benda malang tersebut hingga nyaris jatuh.
"Mia, kau kenapa?"
"Ambilkan air dari sumur sekarang."
"Kau tak apa?" gadis kecil itu bergegas mendekat, segera menimba air dengan singkat sebelum menuangnya ke ember, memberikannya kepada Mia yang sedang menunggu cemas.
"Ada orang aneh di luar sana dan dia memakai topeng."
"Apa itu miliknya?" tanya Liana penasaran nyaris memegang dan Mia berkata sembari mendesis. "Jangan sembarangan bersikap seperti itu."
Lalu saat warna itu larut dalam air, Mia mendadak terdiam. Kepalanya tertunduk untuk mencium aromanya dan merasa pusing sekaligus mual tak terkendali. "Ini ramuan yang telah dimodifikasi. Siapa pria bertopeng itu sebenarnya?"
"Apa aku perlu pergi mencari petugas secepatnya?"
"Tidak, ada Arata yang menanganinya. Dia memintaku untuk tidak bicara pada siapa pun." Mia menurunkan ember air dan memandang Liana dalam. "Kita harus memahami situasi. Lihat bagaimana caranya bekerja di dalam air."
Sepasang mata gadis itu berubah dan Mia segera menyimpan benda itu ke wadah baru, tidak membiarkan orang lain melihatnya langsung.
"Arata akan kembali pulang, kan?"
Mia menoleh dengan gelengan gundah. "Aku tidak tahu jawabannya."