Liana menatap gelisah pada benda pipih yang bahannya telah larut dalam air. Luruh warnanya mengundang tanya dan penasaran saat bagian air yang jernih seketika berubah. Napas Mia tersengal, terlihat panik dan gelisah.
"Apa itu pertanda buruk?"
"Tercium dari aromanya ini cukup membuat gejala berat," kata Mia setelah mengganti airnya ke sebuah wadah. "Aku harus memeriksanya sekali lagi. Semoga hal ini tidak mencemari perairan penting milik warga karena kita tidak tahu dampak kedepannya akan seperti apa."
Ekspresi Liana berubah kecut saat duduk dan menatap Mia yang berdiri menghadap pintu. "Siapa pria bertopeng itu? Tingkahnya sangat mencurigakan sampai dia sengaja mengarahkannya kepadamu?"
Mia terdiam sesaat. Mengambil napas lirih saat memijit pelipisnya dan ikut duduk di sebelah Liana. Dengan cekatan, gadis kecil itu bangun dan memberi segelas air minum untuknya. "Bukan tertuju padaku, mungkin untuk Arata?"
"Pria pengembara itu?" Liana terperangah.
Gelas minum itu tandas saat Mia menyeka tetesan air dari sudut bibirnya dengan helaan napas cemas. "Bisa saja itu termasuk kemungkinan besarnya. Kita tidak tahu asal usul Arata, kan? Asakusa biasanya aman saja dan tidak pernah terdengar sesuatu apa pun sebelumnya."
Liana mendadak bungkam, dalam hati ikut membenarkan kalimat Mia.
"Paman Saito tidur?"
"Ya, guru sedang beristirahat." Kepala Liana terangguk setelah bangun, menarik alat itu untuk kembali berlatih. "Jika Asakusa tidak lagi aman, aku harus berlatih keras menjadi pendekar Tokyo terbaik yang maju di masa depan. Perempuan tangguh pembela kebaikan selamanya."
Mia mengangkat sebelah alisnya naik dengan cibiran kecil. "Belum tentu. Asakusa adalah tempat kecil dan mereka yang ingin berbuat sejauh itu tidak akan bisa lari sejauh dari sini. Aksesnya sangat terbatas dan kesulitan mencari pertolongan. Pada dasarnya dia belajar menerima untuk bertahan."
"Tidak ada yang mustahil, benar? Guru selalu bicara begitu pada kami semua."
"Aku sependapat. Tetapi tidak sebesar Tokyo atau kota lain yang lebih terdepan dan maju. Aku masih membayangkan semuanya berjalan normal."
Liana melihat Mia bangun dari tempatnya. Sang tabib tidak lantas berdiam diri begitu saja saat melihat sesuatu mengintai penduduk di masa mendatang. Gadis itu menyingkap lengan kimono miliknya, mengambil sampel air dan membawanya ke dapur untuk diteliti lebih lanjut.
"Kalau cairan itu masih ada, bagaimana dengan penawarnya?" Liana bertanya saat Mia menunduk untuk memeriksa, mengambil beberapa daun sebagai bahan awal. "Kita butuh solusi untuk menyelamatkan semua orang. Kau juga harus memikirkannya demi kepentingan penduduk Asakusa."
"Aku akan berusaha mencarinya," balas Mia serius.
"Bagaimana dengan kepala desa?"
"Mengapa kau penasaran?"
"Aku tidak pernah percaya pada keluarganya. Apa mereka orang baik? Tidak sama sekali. Buktinya, mereka selalu mencari keributan denganmu. Guru juga setuju dengan kalimatku," ucap Liana datar dan mulai bergosip. "Putrinya tidak senang karena merasa tersaingi olehmu."
"Liana," panggil Mia lelah.
"Iya, aku paham. Tapi jika sesuatu bermula dari sana ada baiknya kau tetap menjaga diri." Liana kembali meraih gelas. "Kau terlalu baik yang terkadang malah membuatku kesal."
"Aku bukan mereka."
Gadis kecil itu mendengus. "Bukan. Kalau kau memiliki sifat tidak terpuji, kau pasti membiarkanku di jalan dan tidak peduli jika warga menghakimiku yang mengambil dompet mereka untuk sekadar mengisi perut."
"Apa kita perlu membahasnya sekarang?"
Sudut bibir Liana tertarik naik. "Aku hanya sedang mengenang masa lalu. Sama sekali sudah tidak merasa sedih lagi, Mia. Guru bilang aku perlu berubah menjadi lebih kuat dan bisa membantu banyak orang. Mereka saat ini tidak membutuhkan kaum seperti kita, namun aku masih mau berlatih."
Suara semangat Liana terdengar sampai dapur. Saito yang tertidur di rumah sebelah tidak pernah mempersalahkan jeritan gadis kecil itu setiap kali sedang belajar. Liana punya semangat tinggi untuk terus menguji kemampuannya. Mia yang membantunya ke jalan yang benar, mengesampingkan kehidupan kelam Liana yang malang.
Kemudian kembali fokus memeriksa bahan serta ramuannya sendiri. Kemudian teringat Arata dan masih merasa resah.
***
"Kau di sini," ucapnya dengan serius. "Bagaimana bisa kau sangat terkenal beberapa tahun lalu?"
Arata mendongak, menatap si pria bertopeng yang menjadikan dirinya sebagai pelindung rumah kepala desa. Ada dua buah benda yang tersembunyi di sisi tubuhnya. Sarungnya terlihat lebih kecil dan ramping. Dia mampu membalas dari jarak jauh dan dekat.
"Siapa?"
"Kau tidak akan mengenalku, senior."
Pria misterius itu bergerak dari dahan pohon ke tanah dengan kekehan kecil. Penutup wajah aneh yang sama sekali tidak membuat Arata mundur atau gentar. "Aku juga sama sepertimu. Menjadi seseorang yang gemar bergurau."
"Kau ditugaskan untuk mengejarku hingga kemari?"
"Aku bekerja untuk mendapat imbalan," balasnya.
Sorot gelapnya bergerak turun untuk memindai. Benda itu itu telah dilumuri daun kering yang akan berubah menjadi basah saat terkena kulit manusia. Sifatnya masih belum diketahui seberapa kuat efek tersebut terhadap bagian penting di tubuh.
"Kalau begitu, kau tak ada urusannya denganku."
"Mengapa kau berubah?"
Arata menaruh kembali miliknya ke dalam lipatan tali. "Aku tidak merasa pernah melakukannya."
"Berlari seperti kelinci ke Asakusa yang terasingkan," kata pria itu dengan cibiran keras. "Kau sungguh berniat menjadi pengembara bebas tanpa tujuan atau sekadar memerhatikan penduduk sekitar?"
"Aku tidak datang untuk siapa pun." Arata mengangkat kedua tangannya, menyipit menatap lawan dengan pandangan mencemooh datar. "Hanya murni melihat tanpa tujuan."
"Aku tahu yang sesungguhnya, pendekar."
Sudut bibir pria itu tertarik turun. "Silakan."
Si pria bertopeng berlari dari tanah ke satu pohon dan berpindah ke dahan lain. Melesat begitu cepat sampai lenyap dari pandangan dingin Arata. Gerakannya yang gesit dan terlatih selama kurun waktu tidak sebentar membuatnya harus diingatkan. Terutama setelah pengakuannya sebagai sosok yang diperintah membuat Arata berpikir.
Siapa dibalik ini semua?
Tanah lapang itu kembali sunyi dan yang terdengar hanya suara anak kecil bermain. Arata meraih topi jeraminya yang lepas, memasangnya kembali saat berjalan melintasi lapangan untuk pergi.
Para warga beraktivitas seperti biasa. Sepenglihatan Arata tidak ada gerakan lain pasca insiden tadi yang melesat nyaris mengenai Mia.
Wajah Arata kaku kala dirinya membuka gerbang kayu itu dan melihat Liana baru saja terjatuh, berguling di antara tumbuhan rambat yang rimbun.
"Liana, kau seratus tahun lebih muda untuk mencoba."
"Kau berlebihan." Liana kembali berupaya bangun dan pinggangnya terasa nyeri. "Mengapa kau serius sekali?"
Mia berdecak gemas, berkacak dengan senyum manis. "Kau yang memintanya begitu. Aku ingin mengajarimu sesuatu hal dan kau tidak mau mendengar. Dasar gadis cilik keras kepala."
"Jangan tersenyum meremehkan. Aku belum selesai."
Kedua mata Liana melebar saat menemukan Arata masuk ke dalam rumah. Kepalanya mengendik pada Mia dan sang tabib menoleh untuk melihat pria itu telah kembali pulang.
"Bagaimana kejadiannya? Siapa dia?"
Manik gelapnya melirik Liana yang mendekat antusias. "Bukan siapa pun."
"Kau yakin? Dia baru saja berbuat," kemudian menyadari Liana berada di antara percakapan mereka dan Mia mengatupkan rapat mulutnya. "Apa kau berhasil membawanya pergi?"
Arata mengangguk datar.
Liana memberikan senyum dengan bangga. "Kau berhasil membuatnya pergi? Wah, luar biasa sekali. Asakusa telah kembali damai."
Mia menatap Liana yang bersemangat dan memberikan benda pegangannya pada gadis kecil itu. "Kau bisa bermain sendiri, kan? Aku harus melihat tanaman herbal."
"Apa aku bisa menolak?" tanya Liana pasrah saat menerimanya dari Mia dan berbicara sendirian, membiarkan Arata bersama lamunannya.