"Aromanya sangat tidak biasa."
Arata menautkan alis sesaat setelah membersihkan tangannya dan berulang kali mendengar gerutuan berasal dari arah dapur.
Ia membuka jendela, menggeser dan melihat Mia sedang duduk untuk memastikan penciumannya tidak salah. Meneteskan contoh larutan itu ke telapak tangannya sendiri, mengamati dari lentera yang menyorot tenang.
"Tercium yang seperti apa?"
"Sangat pekat. Ini seperti tambahan lain yang biasa dicampuri dalam makanan atau minuman dengan dampak yang lumayan. Di sisi lain, cairannya juga lumayan berefek. Terutama pada anak kecil yang lemah."
"Begitukah?"
Rasa penasaran membuatnya berpindah dari kamar menuju dapur. Arata hanya perlu sedikit melangkah untuk sampai, berdiri di pintu masuk dan melihat Mia mendekatinya. "Kau bisa melihat warnanya? Ini tidak terlalu terang dan berubah setiap kali aku mencampurkan bahan berbeda. Aku curiga dasarnya sangat kuat. Ini bukan untuk tikus atau serangga biasa. Bukan juga dikategorikan bagi hama."
"Kau pernah menemukan masalah yang serupa?"
Arata menggeleng pelan. "Dampak setiap berbeda terhadap respons manusia itu sendiri. Kalau rentan terhadap anak, angkanya akan lebih besar dari pada dewasa. Kau sedang membuat solusi dari hal tersebut?"
"Aku harus mencari tahu bahannya terlebih dulu." Mia membersihkan tangannya dengan air bersih. "Siapa pria bertopeng tadi?"
Kedua mata mereka bertatapan dan Arata memalingkan wajahnya seraya menghela panjang. "Dia ditugaskan khusus untuk ada di Asakusa."
"Dia bekerja untuk siapa?"
"Ada dua kemungkinan. Yang pertama, dia pergi untuk seseorang yang memiliki uang dan kedua dia menjadi tangan kanan petinggi kota." Arata membalas tanpa ragu.
Mia menyandarkan punggungnya pada meja dapur bersama tarikan napas letih. "Gerakan refleksmu sangat bagus. Aku menduga hasil berlatih selama beberapa tahun?"
"Ya, benda pada dasarnya hanya sebagai alat bantuan." Arata menatapnya datar.
"Kupikir itu mengarah padamu dan terjadi secara mendadak untuk mengukur keseriusannya?" tanya Mia bingung.
"Bukan padaku, tapi tertuju untukmu."
"Apa?" Mia terguncang.
"Kau menemukan sesuatu di dalam rumah perangkat desa, kan? Jika insiden itu terjadi karena kesalahan manusia sendiri, rahasia ada di dalam rumah atau gudang tersembunyi. Kau sudah mencari tahu persisnya?"
Mia termenung selama beberapa saat. "Aku menemukan beberapa sebab yang tidak terduga."
"Kita sudah menemukan titik kuncinya," sahut Arata singkat. "Kau sengaja diincar karena tahu isi di sana dan secara kebetulan juga seorang tabib handal, ahli ramuan herbal terbaik di Asakusa. Apa lagi?"
"Pria bertopeng tadi, dia datang hanya ingin melukaiku?"
Arata menatap gadis itu tanpa ekspresi. "Bisa saja. Karena informasinya belum tersebar ke lain pihak, kau masih mampu bernapas bebas. Jika mereka mau kau tutup mulut, maka dirimu sudah tahu jawabannya."
Raut wajah Mia berubah pucat. "Aku tidak tahu kalau mereka membenciku sedalam itu."
"Kau bukan orang pertama yang kutemui," kata Arata memaparkan. "Dalam jangka waktu yang lama, aku juga menemukan kejadian serupa. Diharuskan untuk tetap diam. Mereka hanya menginginkan kebebasan dan lancar dalam berbisnis tanpa peduli tentang orang lain."
"Tapi aku tidak begitu," sahutnya.
"Itu menjadi urusanmu sendiri," sela Arata dingin. Melipat tangannya dengan kening berkerut tipis. "Kau seorang ahli dan penduduk percaya padamu dari pada dengan mereka. Itu sudah menjadi alasan kenapa kau layak."
Sepasang kakinya bergerak mundur. Mia memilih untuk berbalik dan berpura sibuk dengan pekerjaan saat pikirannya mulai berkecamuk.
"Jika kau merasa benar, semestinya tidak perlu mencemaskan apa pun."
Kepalanya menoleh, melihat Arata yang bersiap kembali ke kamarnya dengan raut gelisah.
"Kebenaran selalu punya jalan untuk berhasil menjadi yang nomor satu."
Kemudian Mia melamun selama beberapa menit lamanya hingga menyadari sosok Arata telah lenyap dari pandangan mata.
***
Jadi pagi sekali sebelum semua orang terbangun, Mia sudah lebih dulu membersihkan diri dan keluar untuk mencari bahan utama. Penduduk tidak banyak berkeliaran dan jalanan sedikit sepi dari biasanya. Saat kabut masih membayangi langit dan jarak pandang mereka. Udara masih terasa sangat bersih dan sejuk.
Mempersiapkan peralatan dan mengikat rambutnya, Mia memeriksa kantung wadah miliknya sebelum menyembunyikan dan berjalan dari pintu rumahnya sendiri. Matanya mengintip ke dalam, merasa kondisi aman dirinya bersiap berjalan menjauh.
Beberapa warga menyapanya dengan ramah. Sebagian besar yang bekerja sebagai tukang kebun dan petani memilih berangkat pagi untuk memeriksa ladang mereka. Sebagian lagi memutuskan mencari ikan di ujung sungai untuk pakan sebagai mata pencaharian utama. Transaksi yang kerap terjadi di pasar.
Mia berhenti untuk melihat rumah kepala desa mereka yang sepi. Hanya ada dua penjaga dari aparat yang berdiri di sekitar gerbang dan pintu masuk. Kedua matanya menyipit, menatap jelas ketika pria bertopeng yang kemarin dia temui sedang berbincang serius dengan seseorang di teras.
"Kau sedang apa?" tegur salah satu penjaga dengan sinis.
Mia mendengus untuk berbalik, melanjutkan perjalanannya dan kembali mencari ramuan untuk usaha kesehatannya. Tidak ada yang bisa dia andalkan selain bahan herbal dan alami yang terdapat secara langsung dari alam.
Kedua matanya melebar saat melihat beberapa penduduk berbisik serius dan tampak fokus terhadap sekitar. Segera dirinya merebahkan diri untuk berbaring, bersembunyi di antara semak dan melihat mereka masuk ke sebuah tempat baru. Mia yang terlanjur penasaran, lantas ikut berjalan diam senantiasa mengikuti.
Ini pertama kalinya melihat sebuah ladang tersembunyi di dalam hutan perbatasan. Yang sekiranya tidak pernah tersentuh siapa pun ternyata ditanami beberapa tumbuhan asing. Kedua matanya menilai, memindai dengan seksama hanya untuk memandang. Dan sungguu merasa resah dengan beragam daun baru yang mereka tanam tanpa suara.
"Jangan sampai Mia tahu," keluh salah satu dari mereka datar. "Kepala desa tidak akan segan kepada kita karena ini."
Mengapa dia tidak diperkenankan untuk tahu?
Nyaris selama satu jam dirinya bersembunyi dan menemukan tempat itu kosong saat tak ada lagi suara yang terdengar. Mia menyingkap dedaunan yang rimbun, menepis sisa ranting pada rambutnya dan membeku hebat.
Terlihat dari bentuk yang tidak lazim membuatnya panik. Saat mengambil beberapa daun, memasukkannya ke keranjang baru dan Mia segera bergegas untuk pergi. Memasang kembali topi jeraminya untuk pulang ke rumah.
Jalan terlihat ramai karena matahari mulai tinggi. Ketika kepalanya mendongak, sebuah senyum terlihat bersemangat dan dirinya terjatuh karena terkejut. Napasnya berantakan, kedua matanya memancarkan cemas.
"Kau?"
"Tabib yang populer di Asakusa. Kau menjadi ahli herbal di tempat ini dan tidak ada yang lain." Si pria misterius menghampirinya setelah berjalan dari pohon pinus. "Bagaimana kegiatan mencari tumbuhan herbalnya, apakah lancar?"
Mia menggeser tangan itu dari pipinya, tidak membiarkan ujungnya menyentuh permukaan kulit sedikit saja. "Bukan hakmu untuk tahu," ketusnya.
Sebelum benda itu bergerak lebih jauh, Mia memutuskan mengambil antisipasi untuk berlari kencang. Melewati sekumpulan penduduk yang saling ramai pergi untuk bekerja, mencari jalan rumahnya sendiri dan terengah. Mungkin beberapa daun pada akhirnya tumpah sembarangan di jalan.
"Mia?"
Liana bangun dari kursinya. Mia berbalik untuk sekadar melihat gadis kecil itu berbincang bersama Saito dan Arata yang ikut duduk, menatap datar ke arahnya.
***
"Kepala desa memintamu menghadap."
Seseorang dari utusan mendatangi rumahnya dengan serius. Wajah mereka yang seram membuat bingung beberapa orang. Namun Mia yang terbiasa nampak santai.
"Kenapa harus? Apa yang terjadi?" Liana bersuara dari dalam dojo, menghampiri Mia yang mengelap tangan dan meraih kain untuk mengeringkan. "Dia tidak akan pergi sendiri. Aku harus ikut bersamanya."
"Liana," tegur Saito penuh perhatian.
"Guru." Liana mencoba memanggilnya dan pria itu menggeleng.
Saito kembali meneleng, sorot matanya tampak dingin dan Liana tidak bisa membantah. Saat Mia memakai sandal rumah, seseorang baru saja membuka pintu kamar.
"Aku yang pergi bersamanya."
Liana menoleh dan melihat Arata sudah siap. Saat para murid dojo milik Saito mulai berbicara satu sama lain. Mengingat hubungan keluarga itu yang kurang suka dengan keberadaan sang tabib untuk alasan misterius aneh.
"Kau tidak bisa ikut begitu saja."
"Aku tetap ikut." Arata menatap salah satu anggota dengan datar.
Saito mengangguk saat Mia berpamitan. Membiarkan Liana mengantarnya sampai pintu setelah Mia melambai dengan senyum.
"Dia bersama Arata," kata Saito berkata pada muridnya. "Kau tidak perlu memasang wajah sedih seperti itu."
"Aku hanya gelisah. Putrinya tidak menyukai Mia sama sekali." Liana mendekati sang guru yang terlihat tidak peduli. "Bagaimana jika Mia tidak pulang?"
"Kembali berlatih sekarang."
"Apa Arata sehebat itu?" Liana kembali bertanya.
"Aku tak tahu."
Jawaban Saito terdengar lebih apa adanya dan jujur. Tidak ada yang tahu kemampuan terlatih pengembara satu itu, termasuk Liana. Apa dia bisa melindungi Mia?
"Kau gemetar."
Mia membuang napas panjang. "Aku merasa baik."
Arata mengangkat sebelah alisnya naik.
"Kau tidak perlu menahan diri lagi. Aku akan melindungimu dari depan rumah. Jika mereka memberi izin masuk, aku pasti menemuimu."
Langkah Mia berhenti sejenak, mengambil napas dalam. "Aku menemukan sesuatu di dalam hutan. Posisi itu sangat tersembunyi dan tak ada yang pernah berpikir pergi ke sana. Tetapi beberapa penduduk yang bekerja untuk keluarga ini tahu ladang tersebut. Aku mengambil sampel daunnya dan bertemu pria bertopeng."
Sedangkan Arata mendengarkan dalam diam.
"Kau benar. Dia sudah memberitahukan semuanya padaku."
"Apa kau ingin mundur?"
Gadis itu mendesis. "Aku tidak kalah. Berhentilah mencelaku dengan matamu."
"Aku tidak sedang mencelamu."
Mia diberi akses masuk sedangkan Arata tidak. Lagi pria itu tak diperbolehkan untuk menyentuh tanah rumah kepala desa. Mia menoleh sekali lagi dan Arata memberi isyarat agar dia pergi sendirian.
Dia sudah menunggu. Dengan angkuh, pria paruh baya itu memintanya santai dan Mia menggeleng secara sopan. Melihat tingkah tak biasa dan aroma yang menyengat dari arah sebelah barat. Senyum kepala desa tampak aneh dan malah membuatnya merinding.
"Aku tahu kau cukup cerdas untuk mengenali sesuatu yang salah di sini. Siapa pria yang bersamamu?"
"Dia temanku," jawab Mia ringan sama sekali tidak merasa terguncang. "Rekan lama yang tiba di Asakusa."
"Saudara jauh?"
Mia hanya harus bertahan.
Pria itu berdecak, memandang Mia lekat dengan senyum pongah. "Aku tidak akan berlama lagi padamu. Bagaimana dengan adanya kesepakatan? Aku sedang membuat eksperimen bagus terhadap sebagian orang di Asakusa. Kau mau membantu?"
"Apa maksudnya?"
Mia diantar ke sebuah ruangan dan melihat beberapa sampel hidup sebagai contoh, kedua matanya tercengang tak percaya. Mulutnya terbuka dan tubuhnya mendadak kehilangan daya.
"Bagaimana bisa Anda melakukannya?"
Kali ini Mia kehilangan suara saat seseorang menutup matanya dari belakang, tidak membiarkan dia bergerak barang sedikit pun.
***
Arata menunggu tanpa kepastian. Hampir setengah jam dan Mia tidak kunjung terlihat. Sebelum kesabarannya habis, matanya melihat dua orang penjaga pergi melalui pintu rahasia yang menyatu dengan batang pohon besar. Arata berdeham, berjalan mundur untuk mengikuti mereka dan membiarkan Mia di dalam rumah.
Lalu benar saja akses itu membawanya ke sebuah tempat penuh bebatuan dan mata air yang muncul dari dalam tanah. Masih menjadi bagian dari Asakusa yang indah, Arata melihat bayangan seseorang yang terbaring dengan kedua tangan serta kaki yang pucat pasi.
"Mia?"
Gadis itu tidak sadarkan diri dalam kondisi lusuh. Arata mencoba mendekat dan berlari saat mendapat kejutan dari arah lain.
"Pahlawannya sudah datang."
Kepalanya menengadah, menatap pria itu dengan dengusan. "Lucu sekali cara mainmu?"
"Apa aku sebanding denganmu, pendekar?"
Arata mengeluarkan katana dari sarung untuk menepis semua dan berlari mendekatinya dengan kecepatan kilat.
Warna merah pertama yang terlihat di awal hari. Arata menunduk untuk melihat Mia yang tertidur. Kemudian membatu menyadari ada yang muncul dari sudut bibir gadis itu, mengalir sampai ke tanah kering.
"Waktumu tidak banyak."
Pegangannya pada lengan mengencang. Saat Arata menyentak maju, mengayunkan lengan dan memberi pria itu sebuah hadiah dari sikunya.
Lawannya terbatuk. Ketika bagian pucuk menyentuh kulit leher, napasnya berembus tercekat. "Kau membuat tidur beberapa syaraf pentingku."
"Jenis apa yang kau berikan?" Arata menekannya semakin dalam dan tetesan mulai terlihat jelas.
Kemudian memberi pria bertopeng itu gerakan baru. Mengambil barang yang tersisa, membuat mereka hingga tak lagi ada. Menarik langkahnya mundur dan segalanya telah usai. Napas itu kini berhenti perlahan.
Arata bergegas mendekati Mia yang bernapas pendek dalam dekapannya. Membawa gadis itu dalam gendongan dan berlari menuju dokter setempat. Tidak ada yang bisa membantunya selain dokter handal.
"Aku butuh bantuan secepatnya," kata Arata pada orang yang lewat. Melihat keadaan Mia, mereka berubah panik. Saling membantu dengan membawa gadis itu ke rumah dokter.
Lalu pria paruh baya memberi arahan pada Arata agar masuk. Membiarkan dia menangani Mia lebih dulu selagi dirinya harus menunggu. Penduduk berkata tentang Mia yang mendadak pingsan. Ini aneh, karena mereka semua tahu siapa yang melakukannya pada sang tabib.
Saito dan Liana menyusul setelahnya. Gadis kecil itu terduduk di depan pintu, berlutut dengan harapan bahwa Mia lekas sadar.
"Bagaimana keadaannya?"
"Aku akan pergi ke rumah kepala desa malam nanti tanpa ditemani siapa pun," kata Arata dingin. "Ini aneh. Aku baru saja membalaskan rasa sakit Mia yang terasa mudah. Apa ini lelucon?"
Saito menghela napas. "Kemungkinan itu ada. Keluarga mereka sangat ambisius. Kau harus tahu diri. Mereka cukup lama memimpikan apa pun untuk Mia, salah satunya adalah melepaskan gadis itu."
"Mengapa?"
"Karena tahu bahwa Mia berasal dari keturunan darah biru?" tebak Saito muram. "Keluarga itu berbohong tentang garis silsilah mereka sendiri. Ada kabar menyebutkan semua orang Asakusa percaya jika keluarga tersebut adalah bagian dari bangsawan ternama yang sempat tinggal di Shibuya sebelum ke Asakusa. Menuruni darah biru yang mendapat banyak keuntungan dari para dewa langit."
Arata hanya diam tanpa jawaban.
"Sejauh ini hanya kau, aku dan Mia yang tahu siapa dirinya. Aku tidak menutupi apa pun darimu karena pengembara sepertimu pastinya lebih memahami sesuatu. Tidak menutupi rahasia penting." Saito memejamkan mata dengan raut lelah. "Aku pesimis melihat Mia bertahan lebih lama kalau dia masih ada. Dia bersama para petinggi sangat menjengkelkan. Aku tidak pernah mau peduli."
Liana menangis di depan pintu. Gadis kecil itu terlihat kacau saat pintu terbuka dan dokter memberi kabar bahwa Mia berhasil selamat. Diberikan tidak dalam kadar tinggi dan Arata semakin penasaran terhadapnya.
"Aku berangkat nanti malam."
"Keputusan yang bagus," kata Saito datar.
Liana berlari masuk, mencari Mia dan memeluknya yang sedang terlelap. Sedangkan Arata hanya menatap, tidak mampu mendekat barang sejengkal.
"Siapa pun dirimu, kau harus menjaga diri. Mereka hanya tak terbayangkan dan begitu membingungkan. Aku tak pernah lagi mau terlibat setelah yang terjadi di masa lalu kami. Ribuan kenangan pahit yang masih melekat akan sulit melupakannya."
Arata mengangguk kaku. "Keluarganya telah mengetahui siapa aku."
"Itu hal yang dianggap tidak waras." Saito berkata setelah menepuk bahu Arata, berlalu masuk menyusul Liana dan memeriksa Mia yang pucat pasi. Miris sekali, tabib berbakat itu tidak seharusnya terluka tanpa alasan.