Musik

233 Words
Aku sudah melihat gedung batu bata berwarna krem di hadapanku ini berulang kali. Tetapi setiap kali aku melewati gedung konservatori, aku akan selalu berdiri sesaat sembari memikirkan berbagai macam hal. Apa saja kupikirkan, misalnya tentang saus tartar kadaluarsa yang tidak sengaja kumakan tempo hari. Hari ini, aku berdiri di sini lagi. Ada satu hal yang tiba-tiba terlintas di pikiranku.   Perjalanan hidupku tidak mudah. Setidaknya, itulah yang aku rasakan. Awalnya aku bermimpi untuk menjadi seorang pemain Cello solo professional. Aku jatuh cinta dengan alat musik string itu setelah menonton musisi Cello kenamaan Yo-Yo Ma memainkan Saint-Saëns Le Cygne. “Hahahaha…” Aku tertawa hampa. Mimpi itu sekarang benar-benar hanya sekadar mimpi. Ah, menyebalkan. Orang awam tidak akan pernah terbayang, betapa banyak  jam, latihan, dan usaha yang dikeluarka   Sialan mana yang berani berkata kalau menjadi musisi itu mudah? Bawa mereka ke hadapanku sekarang supaya bisa kupukul mereka satu-satu dengan sheet music. Tidak. Sheet music ini tidak akan cukup untuk menyadarkan kepala batu orang-orang yang meremehkan musisi. Mereka butuh sesuatu yang lebih keras supaya bisa bersaing. Sepertinya music stand dari besi itu pilihan yang tepat. Lamunanku terbuyarkan saat salah satu piece kesukaanku memasuki pendengaranku. Clair de Lune. Tidak peduli seberapa seringnya aku mendengar piece ini, aku selalu terbuai dengan kemana musik ini akan membawaku pergi. Aku tersenyum. Untuk kesekian kalinya, aku jatuh cinta. Jatuh kepada musik yang selalu membuaiku tak peduli di mana pun aku berada.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD