Chapter 10

1494 Words
“Kantung matamu sangat hitam.” komentar Mona kepada Hani sewaktu istirahat makan siang.  Hani menghela napas panjang. “Kau sudah mengatakan hal itu untuk kesekian kalinya.” ujar Hani dengan nada bosan. Mona mengangkat bahunya. “Mau bagaimana lagi, kau ada di depanku, jadi aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak berkomentar.” Hani membuka bungkusan mie ayam di hadapannya, lalu menyeruputnya dengan semangat. Maklum, sudah lama rasanya, sejak ia memakan mie ayam. Setelah menelan makanannya, Hani menyahut, “Terima kasih untuk perhatianmu.” “Mengapa aku merasa seperti ada sarkasme dari ucapanmu barusan?” cibir Mona. Hani menunjuk Mona dengan sumpitnya lalu berkata, “Tepat sekali. Apakah sekentara itu?” Mona memutar kedua bola matanya. Setelah itu ia ikut menyantap makanan yang ia pesan melalui aplikasi antar cepat. Singkat cerita, siang ini matahari serasa membakar membuat Hani dan Mona malas untuk beranjak dari kursi mereka yang dingin karena penyejuk ruangan. Itulah mengapa mereka berdua memutuskan untuk memesan makan melalui aplikasi antar cepat dan menyantapnya di ruangan mereka.      “Kau belum menjawab pertanyaanku tadi pagi.” sahut Mona. Hani, masih sibuk dengan pangsitnya, bertanya balik, “Pertanyaan apa?” “Kenapa matamu bisa menghitam seperti itu?” Hani diam sesaat, namun ia langsung tetap melanjutkan makannya, berusaha menunjukkan dirinya tidak terkejut dengan pertanyaan itu. “Aku begadang.” aku Hani. Kedua mata Mona membesar, penasaran. “Mengapa kau begadang?” “Keasyikan menonton Boboiboy.” “Apa itu Boboiboy?” “Bukan Apa, lebih tepatnya Siapa.” “Ya, ya, ya. Jadi, siapa itu Boboiboy?” Hani mengambil ponselnya lalu menunjukkan sebuah gambar ke Hani. Mona memicingkan matanya untuk melihat orang yang membuat Hani begadang semalaman itu. Saat itu juga Mona sedikit menyesal sudah bertanya kepada Hani. Di mata Mona, Boboiboy adalah tokoh animasi dengan outfit norak dan jam tangan yang tampak menyaingi ukuran wajahnya. Langsung saja, Mona melempar bungkus sumpit ke Hani. Sedangkan Hani hanya tertawa terbahak-bahak. “Aku merasa kau tidak pernah menjawabku dengan serius, Hani.” ucap Mona dengan muka masam. Hani menggeleng. “Aku sungguh begadang karena menonton Boboiboy. Kau mau lihat history tontonanku?” tawar Hani sembari menunjuk ponselnya. Mona mendecak. “Ah, mengapa rekan kerjaku seperti ini.” keluh Mona. *** Rendra bersiul saat mendapat pesan dari Edo, yang isinya memberi tahu bahwa dirinya sedang menuju ke kafe Here ‘n There untuk menyantap brunch. Rasanya sudah lama sekali sejak ia terakhir kali bertemu dengan Edo. Saat soft opening, Edo tidak dapat datang karena sedang syuting di Banjarmasin. Karena itu, Rendra cukup semangat menyambut kehadiran sahabatnya itu. Ada banyak hal yang ingin dibicarakannya dengan sahabat karibnya itu. Dengan langkah ringan, Rendra menuju ke dapur dan membuka freezer. Ia melihat-lihat sekilas, lalu tak lama kemudian ia membuka penutup kaca dan mengobrak-abrik isi dalamnya. Ia menemukan apa yang ia cari, namun kuantitasnya membuatnya mengerutkan dahi. “Apa kita belum memasok es krim vanilla lagi?” tanya Rendra ke salah satu staf dapur yang di dekatnya saat itu. Stafnya tersebut memeriksa sebuah kertas yang terpampang di dinding dekatnya lalu menjawab, “Distributor bahan dijadwalkan datang siang nanti, pak.” Rendra mengangguk paham lalu menaruh kembali boks es krim tersebut ke freezer. Tak lupa, ia juga memeriksa stok biji kopi, yang untungnya, masih banyak. Rendra mengambil biji kopi segenggaman tangannya, lalu mulai menggilingnya di gilingan kopi manual di dapur. Selagi bersusah payah menggiling biji kopi, ponsel miliknya yang ditaruh di kantong celana belakang berbunyi. Rendra menghentikan kegiatannya memutar gilingan kopi, mengangkat panggilan yang masuk setelah sebelumnya mengecek terlebih dahulu siapa pemanggilnya.   “Ada apa?” “Aku sudah sampai.”  “Masuk saja kalau begitu.” “Sudah. Kau keluarlah.” Tepat setelah Keanu mengeluarkan kalimat tersebut, sambungan langsung terputus. Rendra mengangkat sebelah alisnya, namun tak pelak ia segera keluar dari dapur. Sembari membawa gilingan kopi manual di tangannya. Rendra tersenyum lebar saat melihat Edo sudah duduk di salah sudut kafe, lengkap dengan toast dan sebotol air mineral di mejanya. Berbeda dengan Rendra yang tersenyum lebar, Edo justru mengeryitkan dahinya. “Hei, apa-apaan itu benda yang ada di tanganmu?!” seru Edo tanpa susah payah menyembunyikan ekspresi jijiknya. Rendra duduk di seberang sahabatnya itu dan kembali menggiling biji kopi dengan tangannya. Rendra menyahut singkat. “Sahabat karibmu.” “Enyahkan benda itu dari depanku. Sudah berlalu hari-hariku dengan gilingan terkutuk itu. Aku tidak mau melihatnya lagi.” ucap Edo dengan nada muak.   Rendra tertawa puas melihat reaksi Edo. “Santai saja, aku hanya ingin membuatkanmu manual brew coffee. Itu kesukaanmu bukan?” Mata Edo tampak bersinar usai Rendra menyelesaikan perkataannya. “100 poin untukmu. Silahkan lanjutkan kesibukanmu. Sembari menunggu kopiku selesai, dengan hati gembira aku akan menyantap toast terlebih dahulu.” ujar Edo lalu menggigit roti bakar di tangannya. Rendra menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkat sahabat seprofesinya itu. Sembari memutar handel gilingan kopi, Rendra membuka perbincangan. “Bagaimana kabarmu?” “Seperti yang kau lihat. Aku sedang istirahat setelah syuting di Banjarmasin. Bagaimana denganmu?” “Aku sedang mempersiapkan diri untuk pentas teater Werther dan sedang memilih naskah dramaku selanjutnya. Sesekali aku juga ke sini untuk memeriksa kondisi kafe.” Edo mencibir. “Aku bertaruh kau tidak pernah istirahat.” “Mana mungkin. Aku bukan Superman. Aku juga butuh waktu istirahat.” elak Rendra. “Aku sudah mengenalmu cukup lama. Yang kau sebut istirahat itu pasti artinya waktu yang kau isi dengan kegiatan lain.” ucap Edo tepat sasaran. Rendra hanya bisa meringis dan tidak berusaha menyangkal pernyataan Edo barusan. “Lupakan hal itu. Bagaimana kafe ini menurut penilaianmu?” tanya Rendra berusaha mengganti topik pembicaraan. Edo memutar kepalanya, mengamati kafe dari segala sisi. Ia mengangguk-angguk. “Aku suka konsepnya. Apa Keanu yang mendesainnya?” “Ya. Tidak pernah mengecewakan bekerja dengannya.” jawab Rendra. Perbincangan keduanya terhenti saat ponsel Edo yang berada di atas meja tiba-tiba saja berdering tanpa henti. Deringnya hanya sesaat, namun berkali-kali, menandakan sebuah pesan instan masuk. Edo mengambil ponselnya dan memeriksa pesan yang masuk. Rendra sendiri juga masih asyik memutar-mutar ayunan mesin giling, meskipun biji kopinya sudah halus. “Diana sudah pernah ke sini?” tanya Edo. *** Hani meregangkan badannya. Dalam hati ia bersorak sorai karena jam pulang yang ia dambakan sedari tadi akhirnya tiba juga. Ia segera membereskan peralatannya dan memasukkan barang-barang esensial saja ke tas punggung kecil miliknya lalu bergegas pulang. Meninggalkan Mona yang masih berkutat dengan pekerjaannya di ruangan kecil mereka. Ajaibnya, dalam perjalanan pulangnya hari ini, Mona mengingatkannya untuk tidak begadang dengan cara yang lucu bagi Hani. “Lupakan Boboiboy. Kau akan berubah menjadi kotak hijau yang ada di sebelah bocah itu, kalau kau terus begadang.” Lucu rasanya. Hani tersenyum geli. Tetapi dalam hati ia tidak dapat memungkiri rasa syukur karena memiliki rekan kerja yang peduli. Tidak seperti biasanya, sore ini Hani memutuskan untuk memesan ojek online. Berdiri di depan gedung agensinya, Hani menunggu ojeknya datang. “Hani!” Hani mendongak, merasa mengenal suara yang memanggilnya itu. Senyum pun merekah di wajahnya saat melihat sosok yang memanggilnya adalah Leo. “Pulang?” tanya Leo menghampiri Hani. Hani diam sesaat, baru kemudian mengangguk. “Kau tidak membawa mobilmu?” tanya Hani cepat. “Aku habis membeli snack di minimarket seberang untuk cemilan di mobil nanti.” jawab Leo sembari mengangkat plastik berisi cemilan di tangannya. Hani mengangguk. Leo memerhatikan Hani agak lama, kemudian ia berkata, “Apa hari ini aku mengatakan sesuatu tentang kantong matamu yang tampak sangat hitam?” Hani tertawa. “Sudah. Kau mengatakannya tepat begitu kau bertemu denganku tadi pagi.” Leo diam. “Di mana rumahmu?” “Ada apa menanyakan rumahku di mana?” “Biar kuantar kau pulang.” Giliran Hani yang diam. Sebenarnya, Hani sudah merasa jika Leo akan menawarinya tumpangan pulang ke rumah. Namun, ia tetap bertanya sekadar memastikan kalau-kalau dugaannya itu salah. “Terima kasih untuk tawaranmu, tetapi aku sudah memesak ojek online. Pengemudinya sudah dekat sini, jadi aku tidak enak jika harus membatalkannya.” tolak Hani sehalus mungkin. Sejujurnya, Hani akan mencoba menolak tawaran Leo, tidak peduli apapun caranya. Dalam hati, Hani meminta maaf kepada Leo dan memaki dirinya sendiri yang masih belum terbiasa dengan kebaikan orang lain.  Leo hanya menatap Hani kemudian mengangguk. “Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu ya.” pamit Leo. Belum lama pria itu berjalan, sosok berambut cepak itu sudah membalikkan badannya ke Hani dan mengatakan sesuatu yang membuat Hani tersenyum. “Oi, pastikan kau tidur cukup, Hani! Aku mau kantong hitam di bawah matamu itu besok menghilang!” Hani tertawa mendengar perkataan Leo. Sebagai balasan Hani hanya mengayunkan tangannya sebagai salam perpisahan. Tak lama kemudian, ojek online pesanan Hani datang. “Atas nama Hani. ya?” “Iya, pak.” sahut Hani yang dengan segera memakai helm dan menaiki motor di hadapannya itu. “Ayo, pak. Saya buru-buru.” ujar Hani dengan nada tergesa-gesa.  Pengemudi ojek itu pun segera melaju mendengar ucapan Hani. Namun, belum jauh dari gedung tempat kerja Hani, pengemudi ojek tersebut memastikan kembali tujuan lokasi Hani.  “Ke Klinik Psikolog dr. Kino, ‘kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD