Chapter 11

1216 Words
“Diana sudah pernah ke sini?” tanya Edo denga nada heran bercampur penasaran. Rendra mengangguk. “Ya, dia datang waktu soft opening. Ada apa?” “Kau tahu, aku memposting di media sosial jika aku mengunjungi kafemu. Mungkin Diana melihatnya, karena dia mengirimiku DM yang mengajakku untuk ke sini bersamanya lain kali.” tutur Edo dengan kening berlipat. “Turuti saja.” sahut Rendra ringan. Edo menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak setuju dengan pernyataan Rendra barusan. “Tidak mau. Sejujurnya, aku tidak begitu akrab dengannya.” tolak Edo. “Kau masih ‘bermain’ dengannya?” sambung Edo, bertanya dengan nada penuh makna.   Rendra menjawab sembari membuka tutup gilingan kopi manual di tangannya, memeriksa apakah seluruh biji kopi sudah tergiling dengan halus. “Hanya sebentar saat soft opening.” “Dasar brengsek.” cemooh Edo tanpa ragu. Sementara itu, subjek yang dicemooh hanya tertawa ringan. Merasa biji kopi di pangkuannya sudah halus, Rendra memanggil seorang pegawainya yang berada di dekat situ dan meminta dibuatkan manual brew coffee untuk Edo.   “Kau ingat dengan perempuan pandai menggambar yang kita temui di Malang?” tanya Rendra usai berbicara dengan pegawainya. “Malang?” “Di program ‘Orange & Coffee’. Perempuan dengan dress putih yang menggambar makanan kita.” jelas Rendra lebih detail. Tak butuh waktu lama, Edo sudah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan semangat. “Perempuan itu! Ya, aku ingat. Ada apa memangnya?” “Aku bertemu lagi dengannya.” ungkap Rendra. “Bagaimana bisa? Biar kutebak, dia ternyata fansmu?” balas Edo datar, terlihat tidak begitu tertarik. Rendra tersenyum. “Bukan. Dia kenalan Keanu, lebih tepatnya, adik tingkat Keanu semasa kuliah. Namanya Hani.” “HAH?!” seru Edo terkejut. Masih dengan senyum di wajahnya, Rendra menyilangkan kedua kakinya. “Menarik, bukan? Dunia sungguh sempit, rupanya.” “Wow, dari semua orang, aku tidak menyangka dia kenalannya Keanu.” seloroh Edo. Rendra mengangguk menyetujui pendapat Edo barusan. Pikiran Rendra pun terbang mengingat Hani malam itu. Mengenakan outfit casual serba biru, rambutnya berwarna hitam pekat, serta mata yang agak sayu. ‘Dan senyumnya yang manis itu.’ batin Rendra. Namun, pikirannya terpecah oleh suara Edo yang memanggilnya.   “Hei, kenapa kau tersenyum-senyum sendiri seperti itu?” “Ya?” ujar Rendra balik bertanya, tidak paham dengan ucapan Edo. “Kau. Tersenyum-senyum sendiri. Seperti orang m***m. Kau membayangkan apa, huh?”  Rendra langsung membela diri, tidak terima dikatai m***m. “Aku tidak membayangkan apapun!” “Lalu kenapa kau tersenyum seperti itu?” cecar Edo, tidak mau melepaskan kesempatan untuk mengata-ngatai Rendra. “Eh?” “Akan lucu sekali kalau kau bilang kau tersenyum-senyum asyik membayangkan adik tingkat Keanu itu.” ucap Edo asal. Tidak ada maksud apapun saat ia mengucapkan hal itu. Tetapi Rendra hanya diam. Raut wajahnya seperti dengan jelas mengiyakan pernyataan Edo barusan. Edo ikut terdiam. Rasa tidak percaya membuncah setelah melihat air muka Rendra.   Hening menerpa keduanya.   Rendra terlihat membuka mulutnya, namun langsung menutup mulutnya kembali. Ia langsung bersandar di kursi kafe dan memalingkan matanya ke penjuru arah kecuali Edo. “Beritahu aku satu hal. Kau sungguh menyukainya atau hanya sekadar...?" tanya Edo agak berhati-hati. "Kau pikir aku ini apa? Aku memang tertarik padanya, tetapi aku tidak akan sembarangan melakukan hal seperti itu tanpa seizinnya." desis Rendra lalu langsung menundukkan kepalanya merasa kesal sendiri. Edo tertegun. "Oke." Setelah itu diam kembali menyelimuti keduanya. "Tapi, kau tahu-" Rendra mengangkat kepalanya ke arah Edo. "-kau itu b******k, Ren." Erangan rendah keluar dari tenggorokan Rendra.  "Terima kasih sudah mengingatkanku." balas Rendra dengan nada lemah. *** Hani mengembalikan helm yang dibarengi dengan ucapan terima kasih kepada pengemudi ojek online yang dinaikinya sore itu. Tanpa membuang-buang waktu lebih banyak lagi, Hani langsung berjalan memasuki bangunan ruko empat lantai dengan plang bertuliskan ‘Klinik Psikolog Kino’ itu. Seperti klinik pada umumnya, Hani langsung dihadapkan dengan ruang tunggu sekaligus tempat administrasi. Sembari berjalan ke meja administrasi, Hani melihat sekilas ke ruang tunggu yang ramai diisi anak-anak. Ingatan Hani terbang ke memori di masa lalu melihat pemandangan tersebut.   “Selamat sore. Ada yang bisa kami bantu?” sapa petugas administrasi tersebut kepada Hani. “Selamat sore, mbak. Saya sudah buat janji dengan Dokter Asta lewat aplikasi. Ini pesannya.” ucap Hani sembari menunjukkan bukti pembuatan janji di ponselnya. Petugas administrasi tersebut mencocokkan bukti di ponsel Hani dengan data di komputer. Hani hanya bisa berharap menggigit bibirnya, khawatir jika ada kesalahan atau ketidakcocokan data. Setelah menunggu beberapa menit, petugas administrasi tersebut memberikan selembar kertas dengan angka tiga tercetak cukup besar kepada Hani. “Silahkan tunggu di lantai empat.” ucap petugas administrasi tersebut. Hani mengucapkan terima kasih lalu bergegas menaiki anak tangga. Berbanding terbalik dengan lantai satu, kondisi di lantai empat sangat sepi. Hanya ada petugas kebersihan dan seorang perempuan duduk di sofa dekat ruang konseling. Nampaknya perempuan tersebut juga sedang menunggu untuk berkonsultasi dengan Dokter Asta.   Merasa gilirannya masih cukup lama, Hani memilih untuk membelokkan kakinya ke toilet. Hani memasuki kubikel toilet lalu membuka aplikasi kamera dari ponselnya. Ia mengamati wajahnya yang kusam setelah seharian beraktivitas. Apalagi kantung hitam di bawah matanya menambah dirinya terlihat semakin mengerikan. ‘Benar kata Mona, lama-lama aku akan terlihat seperti Adudu.’ batin Hani. Hani tertawa kecil saat mengingat Mona menyebut Adudu sebagai kotak hijau. Hani melangkah keluar setelah selesai dengan segala urusan di ruang cuci itu. Ketika menghampiri koridor lantai empat, dipikirnya ia akan melihat perempuan yang duduk di sofa tadi. Nyatanya, saat ini hanya ada sendiri di lorong sepi itu. Hani mendudukkan dirinya di sofa, tepatnya di pojok dinding. Ia melihat penunjuk waktu di ponselnya dan menyadari jika langit Jakarta di luar sana pasti sudah berubah menjadi gelap. “Mungkin seharusnya aku membeli jajanan seperti Leo tadi.” gumam Hani. Ia membuka ponselnya dan memainkan games, sebelumnya akhirnya rasa kantuk mulai menyerangnya. Hani menguap. “Wajar saja, pola tidurku tidak bagus akhir-akhir ini.” decak Hani. Bukan lagi games, Hani beralih menonton video. Ia memasang earphone di kedua telinganya lalu mulai tersenyum sendiri sembari menonton. Bukan Boboiboy, kali ini ia menonton Upin dan Ipin The Movie. Antara rasa kantuk dan rasa ingin terjaga, sepertinya rasa yang pertama lebih kuat karena berselang sepuluh menit kemudian Hani sudah terlelap. Kepalanya tersandar ke dinding belakang, dengan tangan menadah masih menggenggam ponsel. Film yang ditontonnya pun masih berputar. Suara benda jatuh membangunkan Hani. Benda itu adalah ponselnya sendiri. “Terima kasih.” bisik Hani kepada ponselnya. Hani memeriksa apakah ada yang pecah atau retak dari ponselnya. Memastikan tidak ada sesuatu pun yang rusak, Hani kembali melanjutkan menonton film Upin dan Ipin. Mata Hani kembali berat, namun Hani tidak bisa menurunkan rasa waspadanya saat berada di tempat umum. Ia menepuk-nepuk dirinya, mencubit paha, sampai menarik rambutnya sendiri untuk membuatnya tetap terjaga. Merasa belum cukup terjaga, Hani membeli kopi dari lemari penjual minuman dingin di lantai tersebut. Hani meneguknya sembari berusaha menyugesti dirinya untuk bangun. Hani menunggu beberapa menit, membiarkan zat kafein menendang rasa kantuk, tapi tetap saja matanya terasa berat. ‘Sepertinya kopi tidak berpengaruh padaku.’ pikir Hani mengernyitkan keningnya. Hani memutuskan untuk kembali ke toilet. Ia membasuh wajahnya, tetapi tidak seperti biasanya, air pun rasanya tidak mampu membuat Hani cukup terjaga. “Aku akan berjalan-jalan saja.” Singkat cerita, Hani berjalan naik turun lantai 1-4 hanya untuk menghilangkan rasa kantuk yang menyerangnya sembari menunggu gilirannya masuk ke ruang konseling. Kakinya pegal, pasti. Tetapi Hani merasa hal itu lebih baik daripada terlelap di tempat asing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD