Chapter 2

2251 Words
Hani Kalista menjejakkan kakinya di balkon kamarnya dan menghirup udara dalam-dalam. Mungkin karena ia terbiasa bangun pagi, kabut tampak masih menyelimuti pepohonan di sekitarnya. Ia melihat ke bawah dan melihat anjing dari pemilik guesthouse yang diinapinya juga masih terlelap. Hani tersenyum lembut melihatnya. Setelah berdiam diri, menikmati panorama di depannya, Hani yang mengenakan dress terusan putih mengambil cardigan berwarna senada dan turun ke lantai dasar. Hari ini adalah hari ketiganya sekaligus hari terakhirnya menikmati libur di Malang. Hari pertamanya sudah ia habiskan dengan mengunjungi pantai, desa tradisional, dan pasar tradisional. Hari keduanya ia manfaatkan untuk melakukan hobinya, yaitu mendaki gunung, lebih tepatnya mendaki Gunung Arjuno. Lalu hari ini, ia putuskan untuk bersantai dan berjalan di area sekitar penginapannya. “Selamat pagi kak Hani! Apakah tidurmu nyenyak semalam?” sapa Via, pengurus guesthouse yang bertugas membantu kebutuhan para penginap. Via tampaknya sedang mengisi ulang persediaan makanan di dapur umum.  Hani menjawab, “Selamat pagi! Tidurku nyenyak semalam. Bagaimana denganmu?” Via tersenyum lebar, “Aku tidur sangat nyenyak karena Vidi Aldiano mengunjungi mimpiku semalam!” Hani tertawa melihat ekspresi berbinar Via. Berdiri tak jauh dari Via, Hani mengambil mangkuk lalu menuangkan s**u serta sereal ke dalamnya. Hani menikmati serealnya dalam keheningan. “Kak Hani, apa kau mendengar kabar kalau ada syuting acara di dekat sini?” tanya Via memecah keheningan. Hani menggeleng. “Tidak. Syuting apa memangnya?” “Kudengar selebriti yang membuka kafe. Dan katanya, kafe tersebut bukan kafe biasa.” Sembari menyeruput s**u di mangkuknya, Hani memberikan balasan pertanyaan. “Lalu kafe seperti apa?” Via mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat. “Kabarnya, keuntungan dari kafe tersebut nantinya akan didonasikan. Mereka baru saja membuka kafenya kemarin. Hari ini, beberapa temanku ada yang mau ke sana! Aaahh… aku juga mau ke sana…” jelas Via yang diakhiri dengan nada kekecewaan.  Hani kembali tertawa melihat ekspresi sedih Via. “Kak Hani, apa kau akan ke sana?” “Ke mana?” “Ke kafe yang baru saja kuceritakan itu.” Hani berjalan ke wastafel dan mencuci piringnya. “Entahlah. Jika aku melewatinya dan aku sedang lapar, mungkin aku akan mendatanginya.” jawab Hani santai. “Aku kembali ke kamarku dulu ya!” Setelah menyelesaikan sarapannya, Hani kembali ke kamarnya dan membereskan barang-barangnya. Hari ini adalah hari terakhirnya, jadi ia harus melakukan check out pukul 12 siang nanti. Ketimbang bersiap-siap nanti, Hani lebih memilih untuk membersihkan kamarnya sekarang dan menitipkan tasnya ke Via yang bertugas di meja tamu. Tentu saja Hani sudah menanyakan perihal tersebut kepada Via, dan untungnya, Via tidak keberatan untuk menjaga kopernya sementara ia pergi. Selesai membereskan kopernya, Hani mengambil tas selempang kecilnya untuk berjalan santai hari ini. Ia sekali lagi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, memastikan tidak ada barang yang tertinggal, dan matanya jatuh ke meja nakas. Hani mengembuskan napas lega dan segera mengambil beberapa batang pensil arang di atas meja nakas dan memasukkan ke tas selempang kecilnya. “Untung aku melihatmu.” gumam Hani. Ia pun mengunci kamarnya dan menuruni tangga bersama kopernya. Sekilas, ia melihat beberapa penginap lain sedang sarapan di dapur umum. Hani berjalan menuju meja tamu di mana Via berada. “Via, ini kunci kamarku.” ucap Hani sembari menyerahkan kunci kamar.  Via terheran sekaligus kaget. “Wah, cepat sekali ! Apa Kak Hani tidak check out terlalu pagi?” “Aku ingin menikmati waktu santaiku di area sini tanpa harus memikirkan kamar yang belum rapi dan soal check out lagi.” Jawab Hani sembari meringis. Ia pun menyerahkan kopernya.  “Via, tolong jaga koperku ya. Aku akan kembali lagi nanti. Terima kasih banyak.” “Tidak masalah, kak Hani. Selamat menikmati waktu santaimu!” sahut Via sembari melambaikan tangannya. Hani balas melambaikan tangannya ke Via dan mulai menjelajahi area penginapannya. *** Hani benar-benar berjalan santai di hari terakhirnya di Malang. Jika lelah berjalan, ia akan meneduh ke tempat makan sekitar, lalu melanjutkan lagi perjalanannya. Jika menemukan sesuatu yang menarik hatinya, ia akan berhenti, mengamatinya, lalu terkadang memotretnya menggunakan ponselnya. Menjelang tengah hari, Hani mulai merasakan perutnya bergejolak. Kakinya sudah akan berjalan ke kafe terdekat sebelum akhirnya ia berhenti sebentar dan mengambil selembar kertas dari tas selempang kecilnya. Hani teringat dengan sosok perempuan berambut pendek yang memanggilnya tadi pagi, dari sebuah rumah kecil di tepi jalan yang dipenuhi pohon jeruk.    “Permisi, nona! Jika kau ada waktu, mohon luangkan waktumu untuk datang ke Orange & Coffee!” ujar perempuan tersebut menghampirinya sembari memberi selembar kertas ke Hani. Hani sedikit kaget, namun tak pelak, ia mengambil juga kertas yang disodorkan kepada dirinya.  “Jika berminat, silahkan kembali ke sini saat jam makan siang nanti! Terima kasih!” tukas perempuan berambut pendek tersebut. Hani melihat rumah kecil asal perempuan di depannya tadi berlari dan merasa ragu.  Pasalnya, rumah kecil tersebut tidak tampak seperti foto kafe yang ada di pamflet. Foto kafe di pamfet tampak bagus dan rasa-rasanya Hani mengenali beberapa wajah yang ada di pamphlet tersebut. Hani lalu teringat dengan perkataan Via tadi pagi soal kafe yang dibuka oleh selebriti. “Apakah ini kafe yang dibuka oleh seleb itu?” tanya Hani penasaran.  Perempuan berambut pendek itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan antusias. “Iya! Tepat sekali! Keuntungan dari Orange & Coffee nantinya akan didonasikan kepada pihak yang membutuhkan. Lalu jangan khawatir soal rasanya nona, aku sudah mencobanya dan rasanya tidak kalah dengan kafe lain. Apakah kau menyukai jeruk Malang, nona? Orange & Coffee menyediakan berbagai macam menu hasil olahan jeruk Malang.” Hani membalas dengan suara kecil kalau ia mengerti. Ia menoleh ke perempuan di depannya lalu berkata, “Terima kasih banyak atas tawarannya. Saat ini aku sedang berjalan-jalan. Jika aku teringat, aku akan mencoba mampir ke sini. Selamat pagi.” Hani pamit setelah melemparkan senyum sopan ke perempuan berambut pendek tersebut. Setelah itu, Hani kembali melanjutkan acara jalan-jalan santainya di Malang. Sekarang sudah waktunya makan siang, dan Hani pikir, tidak ada salahnya untuk mencoba datang ke tempat yang tertera dalam pamflet di tangannya. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit bagi Hani untuk berjalan dari lokasi sebelumnya ke Orange & Coffee.  Ketika sampai di rumah kecil yang diapit perkebunan jeruk itu, Hani disapa kembali oleh perempuan berambut pendek yang menghampirinya tadi pagi. Hani pun berjalan mendekat ke rumah tempat perempuan tersebut berada. “Selamat siang! Oh, nona berkardigan putih, kau kembali lagi!” seru perempuan tersebut bersemangat. Hani meringis mendengar panggilan yang disematkan kepadanya itu. “Selamat siang. Iya, aku penasaran dengan makanan olahan jeruk Malang yang kau tawarkan tadi pagi jadi aku kembali.” “Terima kasih banyak mau kembali ke sini. Sebelumnya, apakah kau tidak keberatan untuk masuk ke TV? Jika tidak, mohon untuk mengisi formulir ini.” tukas perempuan tersebut sembari menyerahkan selembar kertas.    Hani membaca dengan seksama. Formulir tersebut hanya menanyakan nama, asal, dan sebuah pernyataan bahwa yang bertanda tangan setuju untuk direkam kamera, tidak memotret di dalam kafe, dan tidak menyebarluaskan perihal Orange & Coffee sebelum masa tayangnya nanti. Hani sedikit heran, namun karena sudah terlanjur ke sini, ia pun segera mengisi formulir tersebut dan mengembalikannya. ‘Maaf Via, aku tidak akan bisa memotret atau memberi tahu apa pun kepadamu nanti.’ ujar Hani dalam hati saat teringat ucapan Via tadi pagi yang ingin datang ke Orange & Coffee. “Oke, nona sudah mengisi formulir ini. Untuk ke Orange & Coffee, nona hanya perlu mengikuti jalan kecil tersebut.” jelas perempuan berambut pendek. Hani mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda paham. Sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya, “Memangnya kapan acara Orange & Coffee ini akan ditayangkan?” “Pihak produksi juga belum tahu pasti kapan jadwal tayang acara ini. Mohon kerja samanya, semoga waktumu di Orange & Coffee menyenangkan!” Hani hanya tersenyum lalu pamit. Ia pun menyusuri jalan kecil menuju Orange & Coffee dan asyik menikmati pemandangan pepohonan jeruk sepanjang jalan. Sesampainya di Orange & Coffee, ia disambut oleh aktris Zahra Miranda. “Selamat datang di Orange & Coffee!” Meski kaget, Hani tidak menunjukkan hal tersebut di wajahnya. Ia mengangguk sopan lalu berbicara sebentar dengan aktris cantik tersebut tentang tempat duduk dan diberikan buku menu. Hani diarahkan ke meja dekat jendela, yang memberikan pemandangan perkebunan jeruk Malang di depannya. Hani kemudian memesan stew dan jus jeruk Malang karena ia merasa cukup lapar. Sembari menunggu makanannya datang, Hani mengedarkan pandangannya ke penjuru kafe. Sekilas, ia bisa melihat makanan yang dipesan oleh pengunjung lain dan dalam hati mengagumi desain interior kafe Orange & Coffee. Tak lama kemudian, pesanannya datang. Hani yang memang lapar pun langsung mencobanya. “Oohh…!” seru Hani saat mencicipi stew di depannya. Rasanya gurih-manis dan sedikit asam dari tomat. Daging di dalamnya pun sangat lembut, tidak terasa ulet sama sekali. Usai merasakan enaknya stew di hadapannya, Hani menjadi penasaran dengan french toast yang sekilas sempat ia lihat dari meja lain. ‘Terlihat enak. Aku harus mencobanya selagi aku di sini.’ pikir Hani. “Permisi, aku mau memesan french toast.” ujar Hani saat Zahra berada di dekatnya. Zahra menulis pesanannnya lalu membalas dengan nada ramah. “Baik, mohon menunggu. Terima kasih.” Setelah beberapa saat, pesanan rotinya datang. Hani cukup terkesima dengan visual penyajian french toast yang dipesannya. Setelah mengabadikan makanan di depannya dengan ponselnya, Hani memakannya dan menyukai rasanya. Entah karena lapar atau memang doyan, Hani dengan cepat menghabiskan makanannya. Meski datang sendirian, Hani tidak merasa kesepian atau bosan. Sebaliknya, ia bisa melakukan segala hal dalam ritmenya sendiri, tanpa harus memikirkan orang lain. Ia bebas berjalan ke mana pun ia mau, makan sepuas hati, dan menghabiskan waktu hanya untuk kesenangan dirinya sendiri. Seperti sekarang, usai membersihkan seluruh kudapan di mejanya, Hani memutuskan untuk bersantai di Orange & Coffee dengan menggambar croquis.  Croquis adalah seni menggambar cepat yang ditujukan untuk mengabadikan sebuah momen atau seseorang dalam media yang lebih tahan lama, contohnya seperti di buku sketsa yang digunakan Hani saat ini. Dengan pensil arang di tangan kanannya, ia mulai menggambar. Hani tertawa kecil saat melihat hasil gambarannya sendiri. “Aku sudah terlalu lama tidak menggambar croquis. Kemampuanku sudah jauh menurun.” gumam Hani. Setelah menggambar, selama beberapa saat Hani menikmati pemandangan kebun jeruk Malang di balik jendela di hadapannya. “Selamat siang, apakah rasa makanannya cocok di lidahmu?” Tiba-tiba, suara seorang laki-laki masuk ke indra pendengaran Hani, yang membuatnya sedikit terkejut. Hani mendongakkan kepalanya dan menemukan aktor Rendra Prayoga bertanya kepadanya dengan nada ramah sekaligus khawatir. Setelah terdiam beberapa saat karena terkejut, Hani menjawab dengan suara yang lebih pelan dari yang ia duga.  “Iya, rasanya cocok di lidahku.” Hani sempat ingin mengulang perkataannya dengan suara yang lebih keras, namun melihat Rendra mengembuskan napas lega, Hani jadi mengetahui kalau Rendra mendengar jawabannya barusan. Hani pikir Rendra akan segera pergi usai mendengar jawabannya, tetapi nyatanya, Rendra berdiam sesaat di dekatnya sebelum akhirnya membuka suaranya kembali. “Maaf jika aku bertindak kurang sopan, apakah itu… gambar dari menu makanan kami? Bolehkah aku melihatnya?” tanya Rendra sembari tersenyum. Hani dapat melihat wajah Rendra dipenuhi rasa antusias, ingin melihat gambarnya. Tak ada niat untuk menyembunyikan gambarannya, Hani mengangguk lalu memberikan buku sketsanya kepada Rendra.   “Waah… Hampir seluruh menu masakan di kafe ini kau gambar! Gambarmu sangat bagus…” ujar Rendra dengan mata melebar karena kagum.  Dalam hati Hani merasa senang, karena sudah lama rasanya, sejak ia melihat seseorang memandangi gambar tangannya dengan penuh antusias. “Apakah aku boleh mengabadikan gambarmu dengan kameraku? Kebetulan aku membawa kamera polaroidku. Tunggu sebentar,” ujar Rendra. Hani tidak sempat membalas apa pun karena Rendra dengan cepat pergi lalu kembali.  Saat Rendra kembali, ia tidak hanya membawa kamera polaroidnya saja, Rendra juga membawa aktor lain yaitu Edo Pangestu. “Temanku ingin melihat gambarmu juga. Apakah kau keberatan?” tanya Rendra. Hani membalas dengan nada ringan, “Tidak sama sekali.” Tidak jauh berbeda dengan Rendra, Edo melihat gambar Hani dengan penuh kekaguman. ‘Padahal gambarku tidak sebagus itu.’ ujar Hani dalam hati. Saat Edo menanyakan apakah dirinya adalah seorang pelukis, Hani langsung menggeleng. Dirinya tidak seberbakat itu untuk menjadi seorang pelukis. “Aku harap aku adalah seorang pelukis, tetapi sayangnya, aku bukan pelukis,” Hani berbincang beberapa saat dengan dua aktor di hadapannya, sebelum akhirnya harus terhenti, karena Edo harus kembali ke dapur untuk membuat minuman pesanan pengunjung. Setelah Edo pergi, Rendra kembali membuka suara. “Sebelumnya aku sudah bertanya, tetapi apakah aku mendapat ijin untuk memotret gambarmu?” tanya Rendra kepada Hani. Hani mengangguk kecil kepada Rendra, pertanda ia mengijinkan. Rendra berseru senang usai mendapatkan respons positif dari Hani. Hani pun asyik memerhatikan Rendra yang sedang memosisikan gambarnya di dekat jendela, lalu memotretnya beberapa kali. Setelah tercetak beberapa lembar foto polaroid, Rendra memberikan salah satunya kepada Hani.  “Terima kasih telah mengunjungi kafe kami dan menggambar menu makanan kami. Ini sedikit oleh-oleh dari kami.” Ujar Rendra.  Mendapatkan sebuah foto polaroid yang objeknya adalah gambaran tangannya sendiri, Hani tidak dapat menyembunyikan rasa senang dari wajahnya. “Terima kasih banyak.” Ujar Hani sembari tersenyum ke arah Rendra.  Rasa-rasanya, baru pertama kali ini ada orang yang mengagumi gambarnya, sampai-sampai, mau mengabadikannya dengan kamera polaroid. Hani memandangi foto itu untuk beberapa saat, kemudian menyimpannya ke dalam dompetnya. Rendra kembali ke dapur setelah mengucapkan salam perpisahan ke Hani. Hani membalas dengan berterima kasih, lalu kembali menikmati waktunya sendiri. Sebelum ia sempat memesan minuman tambahan lagi, ponselnya mengeluarkan suara. “Ya ampun, sudah saatnya aku bersiap-siap ke bandara.” ucap Hani ke dirinya sendiri, usai mematikan alarm pengingat dari ponselnya. Hani segera memasukkan buku sketsa dan pensilnya ke dalam tasnya, tak lupa turut berdonasi, lalu akhirnya ia keluar dari Orange & Coffee. Dalam perjalanannya pulang ke Jakarta hari ini, Hani bersyukur bahwa ia dapat menikmati liburannya sepuas hati di Malang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD