Chapter 1

1077 Words
Pertama kali Rendra Prayoga melihat perempuan pandai menggambar itu melalui program TV yang dibintanginya. Hanya dibatasi oleh dinding kaca, Rendra yang sedang memasak di dapur agak terheran dengan sosok perempuan yang datang sendirian dan menghabiskan waktunya cukup lama di dekat jendela. ‘Apa ia tidak bosan?’ tutur Rendra dalam hati. Namun ia tidak memiliki waktu untuk mengamati perempuan tersebut lebih jauh karena banyaknya pesanan makanan yang harus ia masak sesegera mungkin.  Beberapa waktu lalu, ia dan temannya sesama aktor, Edo Pangestu, mendapat tawaran mengisi program TV bertema kafe donasi. Seluruh keuntungan yang didapatkan dari kafe nantinya akan didonasikan kepada pihak yang membutuhkan. Kebetulan Rendra baru saja menyelesaikan syuting film dan Rendra menyambut tawaran tersebut dengan senang hati. Rendra dan Edo setuju menamakan kafe tersebut dengan nama ‘Orange & Coffee’. Dan di sinilah ia sekarang, sedang sibuk berkutat di dapur sebagai juru masak sebuah kafe di tengah perkebunan jeruk di Malang. Dengan tinggi 183 cm dan kulit putih bersih, wajah tampan Rendra tampak mencolok saat berdiri dan memasak di dapur.  Tidak sedikit pengunjung sekadar melirik atau secara terang-terangan memperhatikan Rendra yang sedang memasak di dapur. Dengan konsep minimalis dan terbuka, pengunjung bisa melihat segala aktivitas di dapur yang hanya dibatasi oleh kaca dan begitu pun sebaliknya.   “Ini dia pesanan terakhir!” seru Rendra sembari menaruh makanannya di meja dekat konter, agar Zahra bisa segera menyajikannya ke pengunjung kafe. Zahra, atau yang lebih dikenal publik dengan nama Zahra Miranda, adalah teman sesama aktris yang turut membantu di kafe ‘Orange & Coffee’ sebagai waitress.   Rendra menghela napas lega, karena pesanan terakhir siang itu baru saja disajikan. Sekarang ia memiliki sedikit waktu untuk bernapas dan bersandar di ruang cuci piring. “Kau bisa beristirahat dulu.” ujar Edo, temannya yang bertugas sebagai barista, sembari menyodorkan segelas es kopi. “Terima kasih.” jawab Rendra saat menerima segelas kopi di tangannya. Setelah itu berdiri dan merapikan dirinya. “Aku mau berbincang dengan para pengunjung kafe dan menanyakan bagaimana rasa masakanku. Kuharap rasanya cocok di lidah mereka.” Edo mengangguk-angguk mendengar penjelasan Rendra. Rendra beranjak dan mulai menghampiri pengunjung kafenya dari meja ke meja. Ia tersenyum ramah ke sebuah meja berisi empat perempuan yang terlihat seperti siswa sekolah. “Selamat siang, aku mau menanyakan apakah ada makanan yang tidak cocok dengan selera kalian? Apakah stew-nya terlalu asin?” Keempat siswi serempak menggeleng-gelengkan kepala mereka. “Tidak! Semuanya enak sekali!” “Benar! Aku sangat menyukai french toast di sini!” Senyum lebar tercetak di wajah tampan Rendra usai mendengar pujian yang diberikan keempat siswi tersebut. “Lega mendengar hal tersebut. Terima kasih telah datang berkunjung ke kafe ini. Semoga hari kalian menyenangkan!” Setelah itu Rendra menghampiri meja lainnya dan menanyakan pertanyaan yang tidak jauh-jauh dari soal rasa makanan. Wajar saja, ia bukan chef sehingga ia tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya akan rasa masakan yang dibuatnya.  Tak lama kemudian, Rendra menghampiri meja yang berada di pinggir jendela. Ia menghampiri satu-satunya pengunjung yang duduk di meja tersebut, yaitu seorang perempuan yang menikmati waktunya sendirian. “Selamat siang, apakah rasa makanannya cocok di lidahmu?” tanya Rendra agak membungkuk ke arah perempuan yang mengenakan dress putih terusan dengan kardigan berwarna senada di tubuhnya.  Perempuan terdiam sesaat, sebelum akhirnya dengan suara pelan ia menjawab, “Iya, rasanya cocok di lidahku.” Rendra lega mendengar jawaban dari perempuan di hadapannya. Kemudian Rendra menyadari, bahwa hampir seluruh makanan yang ada buku menu tersaji di meja perempuan tersebut. Namun, yang menarik perhatian Rendra adalah buku sketsa di meja tersebut. Seutas senyum penuh antusias muncul di wajah Rendra saat melihat gambar di lembar yang terbuka. “Maaf jika aku bertindak kurang sopan, apakah itu… gambar dari menu makanan kami? Bolehkah aku melihatnya?” tanya Rendra. Perempuan tersebut mengangguk lalu memberikan buku sketsanya kepada Rendra. Kedua mata Rendra melebar. “Waah… Hampir seluruh menu masakan di kafe ini kau gambar! Gambarmu sangat bagus…” ujar Rendra. Tepi lembut dan tepi tegas dan warna dari pensil arang menambah daya tarik tersendiri bagi Rendra. “Apakah aku boleh mengabadikan gambarmu dengan kameraku? Kebetulan aku membawa kamera polaroidku. Tunggu sebentar.” Rendra melangkah ke dapur dan berjongkok di lemari penyimpanan. Di lemari tersebutlah Rendra menyimpan kamera polaroidnya. Gembira menemukan kameranya, Rendra tak dapat menyembunyikan senyumnya. Edo menyentuh bahunya saat Rendra mau kembali ke meja perempuan yang pandai menggambar tersebut. “Kenapa kau tersenyum seperti itu? Ada hal yang membuatmu senang?” “Ada pengunjung yang menggambar menu masakan kita, jadi aku ingin mengabadikannya menggunakan kameraku.” Jawab Rendra. “Benarkah?! Aku mau melihatnya juga!” sahut Edo. Rendra dan Edo bersama-sama menghampiri meja perempuan yang menggambar menu masakan mereka. “Temanku ingin melihat gambarmu juga. Apakah kau keberatan?” tanya Rendra. “Tidak sama sekali.” jawab perempuan tersebut dengan nada ringan. Edo terkesima saat melihat gambar perempuan tersebut. “Wah! Kau menggambar menu makanan kita dengan sangat baik! Apa kau seorang pelukis?” Perempuan tersebut menggeleng cepat. “Aku harap aku adalah seorang pelukis, tetapi sayangnya, aku bukan pelukis,” Rendra kali ini yang menyahut, “Sungguh? Aku pikir kau seorang pelukis karena gambarmu sangat bagus.” “Masih banyak orang di luar sana yang dapat menggambar lebih bagus dariku.” tukas perempuan tersebut.  Setelah itu, Edo pamit terlebih dahulu karena harus kembali bekerja membuat minuman pesanan pengunjung. Rendra mengulang pertanyannya apakah ia boleh mengambil foto dari gambar perempuan tersebut yang dijawab dengan anggukan kecil.  Rendra pun memotretnya beberapa kali dan memberikan selembar foto polaroid hasil jepretannya kepada perempuan di hadapannya. “Terima kasih telah mengunjungi kafe kami dan menggambar menu makanan kami. Ini sedikit oleh-oleh dari kami.” Rendra dapat melihat mata perempuan tersebut berseri-seri, meski hanya sebentar, saat menerima foto polaroid dari dirinya. Perempuan tersebut tersenyum ke arah Rendra dan berujar, “Terima kasih banyak.”   Jika boleh, ingin rasanya Rendra memotret senyum yang baru saja tercetak di wajah tersebut. Dalam hati, Rendra tertawa karena merasa dirinya baru saja berpikiran konyol. Namun ia tidak menampik jika perempuan di hadapannya ini memiliki senyum yang manis. “Kalau begitu, aku kembali ke pekerjaanku dahulu. Sekali lagi, terima kasih atas kunjunganmu. Semoga harimu berjalan menyenangkan!” ucap Rendra. Rendra kembali ke dapur dan kembali memasak. Dari dapurnya, ia dapat melihat perempuan pandai menggambar tersebut. Selang beberapa saat, perempuan tersebut bersiap-siap pergi. Rendra menyayangkan karena tidak sempat berbincang lebih jauh lagi dengan perempuan bersenyum manis itu. Dari seluruh hal yang dialaminya hari itu, perempuan tersebut meninggalkan kesan mendalam di salah satu sudut pikiran Rendra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD