How Do You Feel About Me? Part 2

395 Words
“Ada apa?” Aku mengangkat kepalaku ke arahnya. Aku tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti ada sesuatu hal yang penting, jadi kulempar pertanyaan serupa, meminta penjelasan lebih lanjut darinya. “Kamu diam saja sembari memandangi cincin pertunangan kita. Apa ada yang kamu risaukan?” Kalimat tersebut tepat menghujam jantungku. Aku diam. Inilah salah satu hal yang kusuka sekaligus terkadang kubenci darinya. Dia tahu jika ada yang berkenan atau kurang berkenan dariku. Kenapa dia sangat observatif? Atau, jangan-jangan, sebenarnya akulah yang mudah dibaca olehnya? Seraya memutar-mutar cincin di jari manis kiriku itu, aku membuka mulut. “Aku hanya penasaran.” ujarku. Aku melirik ke arahnya dan bisa kulihat kedua matanya terbuka lebar. Ia memajukan tubuhnya lengkap dengan senyum miring, penasaran dengan kalimat yang akan kukatakan selanjutnya. Kenapa aku jadi sebal sendiri melihat senyumnya itu. Sebal juga karena sebuah pemikiran konyol menghampiriku. Sekarang aku merasa seperti kembali lagi menjadi remaja labil di masa sekolah. Aku menghela napas pendek. “Lalu?” tanyanya karena aku tak kunjung bicara lagi. Aku menurunkan mataku. Sengaja tidak melihat ke arahnya tetapi tetap berharap dia tidak menyadarinya. “Aku tahu ini terdengar konyol, tapi… apa kamu mencintaiku?” Rasa malu menyelimuti diriku setelah aku bertanya seperti itu. Sekadar informasi, aku dan dia bukanlah tipe yang kerap mengucapkan kalimat romantis, entah di dunia nyata ataupun melalui pesan instan. Kami menemukan kalimat-kalimat tersebut menggelikan jadi kami memutuskan untuk menghilangkan opsi-opsi seperti ‘I Love You’ dan sebagainya dari perbendaharaan percakapan kami.   Aku menundukkan kepalaku dan mengeluarkan helaan napas yang lebih panjang dari sebelumnya. Aku benar-benar bertingkah seperti anak kemarin sore yang baru berpacaran. Aku tidak dapat menahan rasa malu ini lebih lama lagi. “Lupakan. Kumohon, lupakan perkataanku barusan. Aku hanya mengigau dan-“ Tahu-tahu, kedua tanganku diambil dan digenggam erat olehnya. Ibu jarinya mengelus-elus punggung tanganku, seperti memintaku untuk lebih tenang. Kuberanikan diri untuk melihat wajahnya dan bisa kulihat dan tersenyum lembut. Lalu dia pun mengucapkan kalimat yang, diam-diam, sudah kutunggu-tunggu sejak lama. “Aku mencintaimu.” Matanya menatapku teduh. “Aku bersyukur bertemu denganmu. Aku mencintaimu.” Aku kembali terdiam. Kalimat itu adalah kalimat cliché dan terdengar sangat simpel sebenarnya. Tetapi aku tak dapat menyangkal jika aku merasa sangat bahagia saat dia mengatakan bahwa dia mencintaiku. Aroma tubuhnya yang lembut serasa mengelilingi duniaku. Aku pun menyadari satu hal. Aku semakin jatuh kepadamu, saat kamu mengatakan kalimat ajaib itu. The End
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD