Hujan Part 2

1118 Words
5 tahun kemudian Hujan. Lagi-lagi hujan turun. Tetapi kali ini langit sudah memberikan tanda-tandanya sejak pagi, berupa awan kelabu, langit abu-abu, petir sesekali menyambar. Membuat orang-orang sudah mempersiapkan ‘alat perang’ untuk hujan kali ini. Sehingga hujan kali ini tidak begitu menghambat aktivitas mereka. Hal itu dapat dilihat dari masih banyaknya orang-orang berseliweran di jalan. Tetapi bukan berarti tidak ada yang terlupa. Masih ada saja yang beberapa orang yang berlarian ke sana- ke sini, untuk mencari tempat berteduh. Seperti gadis itu. Halte tepat berada di seberang jalan, tempat ia berada sekarang. Jas kantornya basah sudah. Tas yang sekarang ia taruh di atas kepala, tidak cukup untuk menaungi tubuhnya. Dalam hati ia merutuki kebodohan dirinya yang tidak mampu membaca tanda-tanda alam. Tetapi terlanjur kepalang basah, tidak ada gunanya juga mengeluh. Gadis itu pun nekat menyeberangi jalan, dan di sinilah kini ia berada, di halte. Tempat ini. Tempat pertemuan antara dirinya dan dia. 5 tahun sudah berlalu, apa dia masih ingat? Kenang gadis itu sembari tersenyum kecil. Sesampainya di halte, segera ia duduk, dan mengecek isi tasnya, yang dimana beruntunglah ia karena semua dokumen penting ia tinggalkan di kantor, dan kini ia asyik menepuk-nepuk bagian bajunya yang terkena hujan, berharap dengan cara itu setidaknya bajunya akan kering ‘sedikit’. Selesai menepuk-nepuk, gadis itu pun asyik melihat-lihat seisi halte, yang sebenarnya sama saja dengan halte-halte lain-apa daya, terkadang cinta membuat kita terlihat i***t-. Suasana halte saat ini berbeda dengan saat lima tahun yang lalu. Halte saat ini terlihat sepi. Sepanjang penglihatan gadis itu pun, hanya ada dirinya, kakek tua yang berjarak lima kursi darinya, seorang lelaki bertopi yang duduknya di ujung, dan 2 gadis sekolahan yang asyik bercerita. Halte ini sendiri pun juga berubah. 5 tahun lalu, halte itu tampak sedikit kumuh, tidak terawat, dan banyak coretan-coretan di dinding. Sekarang, halte ini tampak bersih dan terawat. Everything has changed. Kecuali hatinya. Yang entah kenapa, sekarang semakin terasa menggebu-gebu. Terkadang gadis itu berpikir, tepatkah keputusannya ini untuk setia menunggu orang yang, bahkan namanya saja ia tidak tahu? Bagaimana jika ternyata lelaki tersebut sudah menemukan yang lain? Akankah kesabarannya menunggu akan terbayar?        Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan prasangka-prasangka buruk yang datang. Gadis itu pun lalu mengambil smartphone miliknya, dan mencoba browsing. Tetapi percuma. Pikiran dan hatinya kini tertuju kepada lelaki itu. Lelaki yang entah sekarang dimana, dan bagaimana kabarnya. Hal ini berbeda dengan sebuah hubungan jarak jauh, dimana setidaknya mereka telah memiliki ikatan yang pasti. Sedangkan gadis itu? Nihil. Tak pernah gadis itu mendapat satu petunjuk atau kabar tentang lelaki itu.  Gadis itu hanya tersenyum pahit. Sudah sedari dulu ia menyadari kebodohannya ini. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kini, Ia ibarat seorang yang ingin menangkap asap dengan tangan kosong. Tak akan pernah bisa didapat. Hanya bisa ia rasakan. Dan rasa itu tidak pernah bisa pergi. Seraya menunggu bis datang, ia merasakan seseorang duduk di kursi kosong di sebelah kanannya. Namun gadis itu tidak peduli karena memang itulah kondisi yang berkembang saat ini. Kau merasa asing di tengah kerumunan. “Hai.” sapa seseorang terasa dekat sekali di kepalanya. Meski tidak yakin suara itu ditujukan kepadanya, tak ayal gadis itu menengok untuk menuntaskan rasa penasarannya. Ia rerdiam saat menemukan seseorang tersenyum manis ke arahnya. “Maaf, apa kau ingat dengaku?” Ya, aku ingat. Ingin rasanya ia membalas seperti itu, tetapi suaranya seperti terjebak di tenggorokan. “Aku ingat pernah bertemu denganmu di sini.” Gadis itu menelan ludah. Mata gadis itu menelanjangi seluruh fitur wajah lelaki di depannya. Rambut yang terlihat lebih klimis dari sebelumnya, kulit sawo matangnya, hidungnya yang bangir, dan mata yang sama seperti lima tahun lalu. Mata yang memberikan rasa menggelitik di hatinya.   *** Awalnya, lelaki itu sempat meragukan penglihatannya. Dipikirnya, tidak akan semudah itu bagi dirinya untuk bertemu dengan gadis itu. Tetapi entah permainan takdir apa, ia melihat gadis itu. Di tengah hujan, perempuan itu duduk di halte yang sama. Seperti dulu. Senyum lebar muncul di wajahnya. Tak ingin melewatkan kesempatan berharga saat ini, ia pun melangkahkan kaki lebarnya ke kursi kosong di sebelah kanan gadis itu. Benar. Kau di sini. Lelaki itu memeperhatikan perempuan di sampingnya itu. Berbeda dengan seragam sekolah yang dipakainya dulu, kini ia memakai jas kantor. Lucunya, baik dulu maupun sekarang, pakaiannya itu tetap saja basah. Beralih ke rambutnya yang kini sudah tak lagi hitam legam melainkan sudah agak kecoklatan. Kalau dulu lurus jatuh, kini rambut gadis itu agak bergelombang. Tak lagi bisa menahan rasa hati untuk memanggis gadis di sampingnya, lelaki itu pun menyapanya. “Hai.” Tidak ada respons. Lelaki itu ragu, takut gadis itu tidak mengingat dirinya. Bagaimana pun juga, mereka hanya bertemu satu kali. Lalu gadis itu menengok ke arahnya. Senyum pun merekah di wajah lelaki itu. “Maaf, apa kau ingat dengaku?” Gadis di sampingnya hanya diam. Lelaki itu semakin gugup lantaran gadis itu tidak segera menjawabnya dan hanya memerhatikan dirinya. “Aku ingat pernah bertemu denganmu di sini.” “Bukan di sini.” sahut gadis itu akhirnya membuka suara. Suara gadis belum berubah dari beberapa tahun lalu. Masih dengan warna yang sama hanya saja sekarang terdengar lebih tegas. “Eh?” “Bukan di sini. Tetapi di dalam bus.” kata gadis itu mengoreksi. Lelaki itu bersorak sorai mendengar pernyataan gadis itu. Artinya, gadis itu juga ingat dengan dirinya. “Sebelum di dalam bus, aku sudah memerhatikanmu sejak di halte saat itu. Kau bermain rubik bukan saat itu?” Wajah gadis itu berubah menjadi merah. Gadis itu mengangguk. Hasrat lelaki itu untuk menyentuh semburat merah itu sangat besar, namun ditahannya. “Jadi, kau juga ingat denganku.” ujar lelaki itu seraya tersenyum miring. Semburat merah di wajah gadis itu pun tampak semakin menjadi-jadi. Tawa lelaki itu pun membahana, senang bisa menggoda gadis di depannya. Ketika gadis itu mengipas-ngipas dirinya dengan tangannya, lelaki itu sekilas melihat semburat merah itu menjalar hingga ke telinganya. “Wah, telingamu ikut memerah.”   Gadis itu langsung memegangi telingnya, berusaha menutupinya. Matanya menatap tajam ke lelaki itu. Di mata lelaki itu, tindakan dari gadis di sebelahnya itu terlihat menggemaskan membuat lelaki itu tersenyum sendiri. “Apa kabar?” tanya lelaki itu tak ingin membuat gadis di sampingnya merah terus-menerus. Gadis itu menurunkan tangannya lalu menjawab, “Baik. Bagaimana denganmu?” “Baik. Kau kerja di sekitar sini?” Gadis itu mengangguk. Setelah itu dia lanjut bercerita singkat tentang di mana ia bekerja dan apa pekerjaannya. “Kau juga bekerja di sekitar sini?” tanya gadis itu balik. “Ah, sebelum itu.” Lelaki itu mengulurkan tangannya. “Aku ingin mengenalmu. Siapa namamu?” Gadis itu tersenyum ke matanya lalu menurunkan pandangannya ke tangannya yang terulur. Tak lama kemudian gadis itu pun menyambut tangannya. Rasa menggelitik muncul di dadanya ketika gadis itu menjabat tangannya. “Hai. Aku…” The End
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD