Hujan

1016 Words
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun –atau tanda-tanda–, hujan turun tiba-tiba dengan derasnya.  Orang-orang yang tadinya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, segera mencari tempat teduh terdekat. Pinggir toko, tempat makan, halte, menjadi tempat favorit untuk berteduh.  Banyak sebagian besar dari mereka yang mengeluh ‘Mengapa hujan perlu turun?' dan sebagainya. Lupakah mereka bahwa hujan merupakan salah satu karunia Tuhan? Yaah, setidaknya masih ada segelintir orang-orang, yang bersyukur, karena hujan turun di waktu pulang kerja.                                                             *** Seorang gadis tampak berdiri di pinggir halte yang terlihat sesak itu. Keadaan yang memaksa. Tetapi ia tidak mengeluh sedikit pun. Ia diam saja.  Gadis itu mengenakan seragam sekolah, yaitu putih abu-abu. Rok rempel panjangnya pun tampak sedikit basah terkena rintik-rintik hujan. Tapi tak ia hiraukan itu. Ia sibuk menanti bus yang sedari tadi belum kunjung datang juga. Di tengah keawasan matanya untuk melihat bus dari jauh –karena hujan turun sangat deras, sehingga jarak pandang pun menjadi terbatas– tiba-tiba sudut matanya yang lain melihat seorang lelaki berlari menuju halte itu.  Entah kenapa, setelah lelaki itu sampai di halte pun, gadis itu tidak melepaskan pandangannya dari lelaki itu. Padahal, jarak mereka cukup jauh. Napasnya terengah-engah. Mungkin efek berlari tadi. Lelaki itu juga tampak basah kuyup. Tetapi entahlah. Sebab lelaki itu memakai jaket. Lelaki itu mungkin seumurannya, sebab ia juga mengenakan celana abu-abu. Atau mungkin kakak kelas atau adik kelas.  Gadis itu tidak tahu. Merasa diperhatikan, lelaki itu tiba-tiba saja menoleh ke arah gadis itu. Sontak, gadis itu langsung saja mengalihkan pandangannya, dan menggerak-gerakkan kepalanya perlahan ke arah lain. Gadis itu bertindak seolah-olah ia memang sedang mengamati seisi halte. Lelaki itu hanya mengerutkan keningnya, lalu tidak mau ambil pusing. Sebab setelah kehujanan saja, ia sudah cukup pusing. Tidak perlu menambah pusing-pusing yang lain. Apalagi, setelah berhujan-hujanan tadi, ternyata halte justru sangat ramai. Ia pun terpaksa berdiri di pinggir halte. Lelaki itu tidak bodoh. Ia tahu, jika jaketnya terus menempel di tubuhnya, ia akan sakit. Tanpa ambil pusing, ia pun melepas jaketnya dan menaruhnya di tas. Masa bodo dengan tasnya. Toh, isi tasnya juga ‘hanya’ buku. Buku komik lebih tepatnya. Saat itu juga ia baru menyadari jika hari ini ia membawa disposable camera. Setengah mengutuk karena hujan dapat membasahi kameranya, lelaki itu pun berusaha masuk ke sisi dalam halte agar air hujan tak mengenai dirinya. Setelah dirasa ama, ia pun membuka kameranya dan menemukan masih ada beberapa slot film. Instingnya mengatakan kepadanya untuk menghabiskan film kameranya saat itu juga. Sebagai anak muda yang bahkan belum lulus SMA, tentu saja ia menuruti instingnya. Mungkin saja nanti ia mendapat momen bagus untuk bisa dipotret nanti. Yeah, ia tahu ini halte, lalu? Inspirasi dapat diperoleh dimana pun. Mula-mula ia memotret hujan. Klik. Lalu ia memotret seorang ibu memeluk anaknya yang kedinginan. Klik. Klik. Klik. Klik. Lalu seorang sosok memasuki frame kameranya. Ia tidak langsung memotret. Lelaki itu terdiam sesaat di kameranya, sebelum hingga akhirnya ia menurunkan kameranya, untuk melihat objek fotonya. Dan lelaki itu hanya mampu terdiam sesaat, sebelum akhirnya ia tersenyum, dan dengan pasti ia mengangkat kembali kameranya, dan- Klik. Lelaki itu tersenyum lebar.      *** Setelah insiden hampir-tertangkap-basah-mengamati-lelaki itu, gadis berambut hitam sebahu itu kini kembali ke kegiatannya semula. Mengawasi bus yang datang. Ayolah, sudah lebih dari setengah jam ia menunggu, dan busnya belum ada yang datang?! ‘Apa bus-bus itu juga berteduh dahulu?’ pikir gadis itu kesal. Bosan, gadis itu pun memilin-milin rambutnya, sembari berpikir apa yang mesti ia lakukan di tengah kebosanan ini. Lalu ia teringat, kalau ia memiliki rubik. Ralat, sebenarnya bukan miliknya sih, tetapi milik temannya yang tertinggal. Gadis itu pun tersenyum begitu mengetahui ada mainan dan segera mencoba menyusunnya, meskipun ia tidak begitu lihai. Entah keasyikan atau apa, tetapi ia merasa baru sesaat memainkan rubik temannya, tahu-tahu yang ditunggu sedari tadi akhirnya muncul juga. Bus. Segera saja ia melupakan rubik temannya itu, dan segera bersiap-siap menaiki bus. Ia yakin posisinya ini sudah posisi yang tepat, dimana pintu nanti akan terbuka. Bukannya berlebihan, hanya saja, saat hujan begini, biasanya akan terjadi perebutan kursi, atau bahkan sekedar tempat untuk berdiri. Kalau tidak sampai dapat, siap-siap saja menunggu kedatangan bus berikutnya. Yak, sedikit lagi busnya sampai, hingga terjadi suatu kejadian yang tidak diduganya. Pintu bus melewatinya cukup jauh. Mungkin dewi fortuna yang belum berpihak padanya, sehingga pintu bus tidak terbuka tepat di depannya. Ugh.Karena semangat ingin pulangnya yang kuat, gadis itu segera berjalan cepat ke pintu bus tersebut. Sayang, mungkin gadis itu lupa bahwa di saat hujan begini, yang ingin segera pulang bukan hanya dirinya. Tetapi gadis itu tidak peduli. Yang ia tahu adalah, ia harus menjejakkan kakinya di dalam bus. “Bus sudah penuh! Bus sudah penuh!” Sial. Sedikit lagi gadis itu sampai. Gadis itu tidak rela harus menunggu lebih lama lagi. Sedikit lagi. BLAAM...! *** Tidak ada kata-kata. Tidak ada panggilan. Yang ada hanya aksi. Tidak ada yang memulai. Semuanya berjalan menuruti kata hati. Gadis itu mengatur napasnya sembari bersandar di pembatas kursi samping pintu bus. Hampir saja ia tidak dapat masuk ke dalam bus. Oh. Atau mungkin lebih tepatnya, hampir saja ia terjepit pintu bus. Setelah gadis itu merasa napasnya sudah normal, gadis itu mendongak, mencari pegangan untuk tangannya. Itu dia. Langsung saja ia menggantungkan tangannya di pipa bahan stainless steel itu. Dilihatnya, di sebelah tangannya ada tangan lain. Lebih besar, lebih terlihat tough. Diikutinya arah tangan itu. Hingga sampilah ia ke pemilik tangan tersebut. Lelaki itu. Lelaki yang sempat menawan matanya. Lelaki yang menarik tangannya, di detik terakhir sebelum pintu bus tertutup. Lelaki yang saat ini tersenyum lebar ke arahnya. Senyum yang entah kenapa, membuat jantungnya berdebar-debar. *** Lelaki itu tersenyum lebar ke arah gadis itu, sedangkan sang gadis terlihat hanya menunduk. Lalu sang gadis pun terlihat mendongak, menatap lelaki di depannya ini, lalu ia menganggukkan kepalanya. Pertanda ia berterima kasih. Anehnya, lelaki di depannya terlihat seakan mengerti. Ia balas menganggukkan kepalanya. Gadis itu pun tersenyum kecil, senang lelaki di depannya mengerti. Mereka berdua sama-sama tersenyum. Senyum yang membekas di hati mereka masing-masing. Senyum yang saling menghangatkan hati mereka satu sama lain. Tak ada kata-kata.  Tak ada yang bicara.  Yang ada hanya senyum tulus. Tanpa mereka sadari, hati mereka sudah terikat satu sama lain.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD