Chapter 15

1072 Words
Rasa enek serasa memenuhi kerongkongan Hani. Ia buru-buru menaruh dua tiga alat pensil gambar di tangannya ke sembarang tempat. Dengan langkah cepat, ia menghampiri Shaina yang berdiri cukup jauh darinya. “Na.“ panggil Hani kepada Shaina yang asyik membaca buku. Shaina menoleh dengan senyum di wajahnya. Namun senyum tersebut dengan cepat memudar setelah melihat ekspresi tidak mengenakkan di wajah Hani. “Kau tidak enak badan?” tanya Shaina berusaha tenang di tengah kepanikannya. Ia menyentuh pipi Hani dan menemukan pipi sahabatnya itu cukup dingin. Hani mengusap-usap dadanya. “Mual. Toilet.” Shaina mengangguk cepat lalu segera membawa Hani ke toilet terdekat. Khawatir dengan kondisi sahabatnya, Shaina mengikuti Hani sampai ke bilik toilet. Di dalam bilik, Hani langsung berdiri setengah membungkuk, berusaha mengeluarkan apapun yang bisa dikeluarkan dari tubuhnya. Di sela-sela kesakitannya itu, Hani tidak bisa berhenti berpikir tentang tas anak-anak dan boneka beruang yang dilihatnya tadi. ‘Apa bagusnya boneka itu?’ ‘Mengapa tas-tas itu harus dipajang di etalase?’ ‘Aku sangat-sangat tidak menyukai kedua barang itu.’ Hani terus menepuk dadanya cukup keras, berharap membantunya menghilangkan rasa enek di kerongkongannya itu. Meski sudah dibantu dengan pijatan di tengkuk dari Shaina, yang keluar hanyalah angin dan cairan asam dari lambung.   “Eeuughhh…” Hani menahan perihnya cairan asam lambung tersebut melewati tenggorokannya. Setelah sekitar sepuluh menit berlalu, Hani mengangkat tangan kanannya. Dengan suara rintih ia berkata ‘cukup’ kepada Shaina. Shaina yang mengerti maksud Hani, langsung mengangkat tangannya. “Bagaimana?” tanya Shaina saat Hani berdiri menegakkan tubuhnya. Hani memejamkan matanya lalu dengan perlahan mengangguk. “Ayo, keluar.” ajak Hani seraya membuka pintu bilik. Ia melihat pantulan dirinya di kaca wastafel yang tampak semrawutan dengan keringat membasahi rambut dan wajahnya. Tak mampu mengusir rasa cemasnya, Shaina bertanya kepada Hani yang sedang mencuci tangan. “Apa kau mau mampir ke restoran, mungkin untuk minum teh hangat dahulu?”     Hani menggeleng lemah. Hal yang paling ingin dilakukannya saat ini hanyalah pulang dan mendekam di kasurnya. “Aku mau pulang.” “Oke. Tetapi biarkan aku menemanimu. Setidaknya sampai kau membaik.” tegas Shaina, tidak mau menerima penolakan. Hani mengangguk. Ia menyadari seutuhnya jika kondisinya sedang tidak baik, jadi keberadaan Shaina di dekatnya akan sangat membantu. “Hani.” panggil Shaina saat keduanya sudah berada di mobil Shaina, dalam perjalanan pulang ke rumah indekos Hani.  Sebagai balasan, Hani hanya menggumam tidak jelas. Meskipun mendapatkan respons seperti itu, Shaina tetap melanjutkan perkataannya. “Apa traumamu muncul lagi?” *** Keanu, untuk kesekian kalinya malam ini, lagi-lagi mengernyitkan dahi. Kali ini untuk alasan yang jauh berbeda dari sebelumnya. “Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal seperti itu?” Rendra mengisi kembali gelas miliknya dan gelas milik Keanu dengan wine. Usai menuangkan minuman memabukkan itu, ia mengambil gelasnya lalu hanya mengamati riak di dalamnya. “Tidak ada yang tahu dengan isi hati orang lain. Aku bertanya karena penasaran saja.” jelas Rendra sembari menaruh kembali gelasnya ke atas meja. Sibuk mengunyah onion ring di mulutnya, Keanu memutar kedua bola matanya ke atas, seakan-akan sedang berpikir. Setelah menelan onion ring di mulutnya, barulah Keanu menjawab pertanyaan Rendra. “Aku tidak menyukainya.” tandas Keanu. Mengamati balasan dan tingkah Keanu, yang terlihat santai saat mengatakan hal tersebut, menyakinkan Rendra jika Keanu betul-betul tidak mempunyai rasa pada Hani. Rasa lega menjalar di dadanya karena tidak perlu bersaing dengan sahabatnya sendiri. “Kukira aku harus bersaing denganmu.” sahut Rendra. Keanu tertawa mendengar ucapan Rendra itu. “Bersaing denganmu hanya akan merepotkan hidupku.” Rendra ikut tertawa. Jawaban dari Keanu melegakan hati Rendra, namun tak pelak, ia masih penasaran dengan sikap protektif Keanu terhadap Hani. Rendra juga memiliki teman perempuan dan ia sedikit-sedikit bisa memahami naluri lelaki untuk melindungi perempuan di dekatnya. Tetapi berbeda dengan Keanu. Menurut kacamata Rendra, sikap protektif Keanu sudah berada di tingkat yang berbeda. Bukan lagi di level protektif antarteman.    “Kalau kau tidak menyukainya dalam artian romantis, lalu mengapa kau cukup protektif terhadap Hani?” Keanu terdiam mendengar pertanyaan tersebut. Bibirnya terkatup rapat. Ia memangku wajahnya dengan telapak tangan kirinya dan memejamkan mata. Melihat Keanu terdiam, Rendra jadi mengetahui, jika Keanu tahu betul bahwa dirinya bersikap protektif terhadap Hani. Ingatan Rendra pun terlempar ke malam soft opening kafenya di Bandung. Rendra ingat bagaimana Keanu menyeret orang mabuk menjauh dari sisi Hani dengan dalih minum bersama, bagaimana Keanu yang dengan sengaja duduk di sisi yang lebih dekat dengan bar, dan tindak-tanduk Keanu yang senantiasa menemani Hani.   Ditambah dengan reaksi Keanu malam ini yang tidak cukup bersahabat saat mendengar ketertarikannya pada Hani, Rendra menyakini ada sesuatu yang membuat Keanu bersikap seperti itu. ‘Apa ini ada hubungannya dengan ketidaksukaan Hani pada orang mabuk?’ pikir Rendra. Ingin rasanya Rendra bertanya lebih dalam tentang dugaannya tersebut, tetapi ia tahu sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memuaskan rasa penasarannya itu. Helaan napas keras terdengar dari sisi Keanu. Rendra menengok dan menemukan raut wajah Keanu yang bercampur aduk antara bingung harus mengatakan apa, sedih, dan… kasihan? Ini pertama kalinya Rendra melihat Keanu membuat ekspresi wajah seperti itu. Rasanya seperti melihat sisi lain dari Keanu yang tidak pernah Rendra temui sebelumnya. “Maaf, aku tidak bisa memberitahumu, kawan.” ucap Keanu pada akhirnya. Rendra menganggukkan kepalanya. Ia mengerti jika mungkin Keanu tidak bisa mengungkapkan alasan sebenarnya karena hal tersebut sudah menyangkut privasi Hani. Rendra sangat dapat memahami hal tersebut. Keingintahuannya akan sikap protektif Keanu terhadap Hani juga sudah menguap ke udara karena raut wajah yang ditunjukkan Keanu. Kasihan? Apa yang membuat Keanu kasihan kepada Hani? Sebuah tanda tanya besar muncul di batin Rendra. Sebenarnya ada apa dengan Hani? *** Di sebuah gudang sekolah, dengan penerangan seadanya, tampak seorang pria memberikan boneka beruang berwarna cokelat kepada seorang gadis kecil. “Ini boneka untukmu.” ucap pria itu. Namun gadis kecil di depannya itu bergeming. Pria tersebut tidak kehilangan akalnya. “Hani, kamu harus menerimanya. Kalau tidak nanti boneka ini akan bercerita semua orang soal Hani yang suka nakal.” “…cerita?” “Iya. Kalau tidak Hani terima, boneka ini akan bercerita kalau Hani suka nakal ke teman-teman Hani. Hani mau?” Hani kecil menggeleng kuat-kuat. Dengan cepat ia mengambil boneka beruang tersebut dan mendekapnya erat. “Anak pintar.” puji pria tersebut sembari mengelus-elus puncak kepala Hani. “Ingat, Hani. Kalau tidak mau dijauhi teman-temanmu, jadilah anak yang penurut, diam, dan dengarkan selalu kata Bapak, ya.” sambung pria tersebut. Hani kecil hanya diam menunduk. Rasa takut menyelimuti sekujur tubuhnya tetapi Hani tidak bisa berkata apa-apa. Air mata turun membasahi boneka beruang di pelukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD