Chapter 16

1186 Words
Napas Hani tercekat saat mendengar pertanyaan dari Shaina. Rasanya seluruh saraf di tubuh Hani berhenti bekerja untuk sesaat. Mata yang tadinya terasa berat, lelah setelah menghabiskan banyak tenaga di toilet, kini terbuka lebar.    ‘Bagaimana menjelaskannya pada Shaina?’ ucap Hani dalam hati. Batinnya bergejolak. Shaina melirik Hani melalui mirror view dan menemukan sahabatnya itu menggigit bibirnya sendiri. Merasa dugaannya tepat, Shaina langsung menepikan mobilnya ke sebuah mini market. Tindakan Shaina yang bisa dibilang dadakan itu tak pelak membuat Hani bingung. “Na, kau mau membeli sesuatu?” tanya Hani yang disambut anggukan dari Shaina. Shaina dengan cepat meraih tas tangan miliknya lalu meminta Hani untuk menungguinya. Hani mengangguk dan Shaina pun turun dari kursi kemudi. Seorang diri di dalam mobil, Hani menghela napas panjang. Tadinya ia tidak mau mengakuinya, tetapi tidak salah lagi, mual yang dialaminya adalah respons dari trauma di masa lalunya. Hani tertawa sarkastik mengingat penyebabnya berupa boneka beruang dan tas anak. Munafik. Kau dulu begitu menyukai mereka. Kau selalu memeluk boneka beruang kesayanganmu saat tidur. Ingat bagaimana kau selalu memakai tas berwarna biru muda itu ke sekolah? Dada Hani terasa sesak. Hani benci suara itu. Suara yang menghampirinya di saat ia lengah dan tak mampu mengontrol pikirannya. Suara yang membisikkan kata-kata yang menusuk ke dadanya. Setiap kali suara-suara tersebut menghampirinya, hani merasa udara di sekitarnya seperti menipis. Hani membuka mulutnya, berharap oksigen bisa memenuhi relung dadanya, lalu kemudian teringat dengan saran Asta minggu lalu. “Memang tidak mudah, tetapi setiap kali kau mendengar suara-suara itu, coba metode 4-7-8. Caranya, buat tubuhmu rileks, bisa dengan berbaring, duduk bersandar, dan semacamnya. Letakkan ujung lidahmu di langit-langit mulut, tepatnya di area gusi di atas gigi.” ujar Asta sembari memperagakan metode tersebut ke Hani. “Pastikan posisi lidahmu tidak berubah sampai akhir nanti. Selanjutnya, buang napas sekuat tenaga sampai terdengar suara ‘wuusshh’. Setelah itu, tutup mulut dan tarik napas lembut melalui hidung dalam empat hitungan, lalu tahan napas sampai tujuh hitungan. Kemudian buang napas secara perlahan dalam delapan hitungan dan buatlah suara mendesis.” ajar Asta yang ditutup dengan desisan.    Hani mencoba melakukan metode yang diajarkan oleh Asta. Sungguh tidak mudah karena Hani bahkan kesulitan untuk sekadar mengambil napas. Tetapi Hani mencoba fokus dan terus melakukan pernapasan 4-7-8. Tarik napas. Tahan napas. Buang napas. Tarik napas. Tahan napas. Buang napas. Setelah mengulanginya terus sampai empat kali, Hani jauh merasa lebih baik. Dadanya terasa lebih ringan dan suara-suara itu sudah tidak terdengar lagi. Sayangnya, metode ini kadang menimbulkan efek samping yaitu sakit kepala ringan. Untuk mengusir sakit kepalanya, Hani memejamkan matanya dan merendahkan bangkunya.   Selang beberapa menit kemudian, muncul suara ketukan dan pintu mobil terbuka yang mengagetkan Hani. Hani berseru kaget dan langsung bangkit dari posisi tidurnya. Namun kekagetannya itu tidak berlangsung lama setelah melihat ternyata Shaina yang membuka pintu. Shaina hanya bisa meringis menerima tatapan kaget dari Hani. Hani menyahut ‘tidak masalah’ lalu membantu mengambil tas jinijing dari tangan Shaina yang terlihat penuh.   “Maaf, aku lama. Antreannya cukup panjang.” sahut Shaina. Ia menyerahkan segelas kertas kepada Hani seraya tersenyum. Seutas senyum yang seolah-olah mengatakan ‘aku-tidak-menerima-penolakan-jadi-ambil-gelas-ini’. Hani menerima gelas tersebut dengan tatapan bertanya-tanya ke Shaina. Namun pertanyaannya teralihkan saat merasakan kehangatan dari minuman di tangannya. “Apa ini?” “Teh manis hangat.” “Oke. Tetapi, maksudku, untuk apa? Kenapa kau memberikannya kepadaku?” “Agar kau lebih rileks.” Shaina menyentuh kedua bahu Hani lalu menekannya pelan. “Hmm. Bahumu tidak sekeras yang aku kira, tetapi kupikir kau tetap membutuhkan sesuatu yang hangat setelah muntah tadi.” sambung Shaina. Perkataan Shaina tersebut membuat haru sekaligus senang membuncah di d**a Hani. Namun dibandingkan menunjukkannya, Hani lebih memilih untuk menahan senyum lebar di wajahnya dengan meminum the di tangannya. Rasa hangat yang tadinya hanya terasa di ujung jari Hani, kini merayap ke kerongkongan, d**a, dan perutnya. “Terima kasih.” ujar Hani. Shaina mengangguk. Setelah itu tidak ada yang membuka suara. Baik Hani atau Shaina tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka seperti terjebak di momen di mana kau ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Sehingga salah satu dari mereka seperti menunggu siapa yang akan memecahkan balon kesunyian itu terlebih dahulu.      Shainalah yang pertama membuka suara. “Kau sedang apa tadi? Mengapa kau terlihat kaget sekali saat aku datang?” tanya Shaina dengan nada penasaran. Hani tidak langsung menjawab, melainkan menyeruput kembali teh hangat di tangannya itu. “Aku habis melakukan metode 4-7-8.” balas Hani dengan suara yang lebih kecil dari biasanya. Shaina memajukan tubuhnya ke arah Hani, tertarik dengan ucapan Hani barusan. “Apa itu? Lalu apa manfaatnya?” “Kau tahu dokter Asta ‘kan? Dia yang mengajariku itu. Katanya metode pernapasan itu bagus untuk meredam kecemasan dan membuatku lebih rileks.” ungkap Hani. Kedua mata Shaina membelalak kaget. Asta bukanlah nama yang asing di telinga Shaina. Pria dengan rambut agak gondrong serta pembawaannya yang santai tapi bisa tetap serius saat dibutuhkan. “Kau konsultasi dengannya lagi? Sejak kapan?” cecar Shaina tidak sabar. ‘Hani sudah konsultasi. Artinya, Hani sudah cukup lama mengalami gejala trauma seperti tadi.’ pikir Shaina. Ada rasa penyesalan hinggap di hati Shaina karena tidak bisa mengetahui kondisi Hani lebih cepat. “Sejak minggu lalu.” jawab Hani. Selang beberapa detik kemudian, dahinya tak lama mengerut. “Inilah sebabnya aku tidak mau bercerita.” sambung Hani. Tangannya mengambil sebuah kaca dari dalam dashboard mobil lalu mengarahkannya ke Shaina. Tercetak jelas rasa khawatir dan penyesalan di raut wajah cantik Shaina itu. “Jangan merasa bersalah atau apapun itu. Aku bertanggung jawab atas diriku sendiri, Shaina.” tutur Hani. “Dokter Asta juga pernah memberitahumu hal seperti itu bukan?” “Dukung dan temani Hani semampumu saja. Jangan berlebihan. Segala yang berlebihan tidak akan berakhir dengan baik.” ucap Asta kepada Shaina. Shaina mengangguk. Hari itu adalah salah satu hari yang tak akan pernah bisa dilupakan olehnya. Hari di mana Asta menegurnya dengan tenang namun tajam. Asta adalah salah satu orang yang mampu membuat Shaina tidak berkutik. “Aku akan menceritakan semuanya kepadamu sesampainya kita di rumah. Namun satu hal, berjanjilah, kau akan tetap memprioritaskan kepentinganmu di atasku.” tutur Hani lalu menenggak seluruh isi teh di gelas kertas tersebut. Sesudah itu, Hani tersenyum ringan ke Shaina. “Ayo, pulang.”   *** 3 hari setelah pertemuan terakhir Rendra dan Keanu. Rendra Prayoga: Apa kau sudah bertanya kepadanya? Keanu Ismana: Hani? Belum. Aku belum sempat bertemu dengannya.   Rendra Prayoga: Baiklah. 4 Hari Kemudian Rendra Prayoga: Kean? Keanu Ismana: Ada apa? Rendra Prayoga: Sudah bertemu dengan Hani? Keanu Ismana: Belum. Aku sedang mengerjakan proyek di Kalimantan. Rendra Prayoga: Oke. Selamat bekerja! Keanu Ismana: Terima kasih. 5 Hari Kemudian Rendra Prayoga: Masih di Kalimantan? Keanu Ismana: Baru saja sampai di Jakarta semalam. Ada apa? Rendra Prayoga: Oke. Aku hanya mau mengingatkanmu untuk tidak lupa menanyakan ke Hani. Soal ajakanku untuk bertemu dengannya lagi. Keanu Ismana: … Ya, akan kuingat baik-baik. 3 Hari Kemudian Rendra Prayoga: Keanu Keanu Ismana: RENDRA! AKU BERSUMPAH KALAU INI SOAL HANI LAGI- Rendra Prayoga: Ehehehe Belum, ya Kutunggu jawabanmu, kawan. Keanu: Jangan menghubungiku dalam rentang waktu 10 hari ke depan [Anda sudah memblokir kontak ini] Rendra Prayoga: Ada apa memangnya? Kean? Kau memblokirku? Kean?   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD