***
"Mi-chan, aku tidak mau~" Takashi merengek.
"Ayolah, dia hanya beruang badut, bukan beruang betulan." Aku tahu alasan Takashi takut dengan beruang. Hanya karena badannya yang lebih besar darinya, dia takut. Sungguh tak dapat kupercaya, mengapa Takashi sepengecut itu. Padahal beruang itu menggemaskan, tentu saja makhluk itu berbahaya bagi manusia, aku pun takkan berani mendekatinya jika beruang nyata. Tapi! Beruang di taman bermain ini kan badut berisi manusia sambil memegang balon.
Grep!
Kucekal pergelangan tangannya seketika. Takashi tak sempat mengelak, sehingga dengan paksa kuseret dia mendekati badut beruang di jembatan itu. "Nami-chan~" rengeknya. Namun kuabaikan dengan terus menyeretnya susah payah.
"Tuan beruang, boleh kami foto denganmu?" kataku. Lalu kutempatkan Takashi di sisi kiri beruang itu dan meminta seorang jasa fotografer di dekat mengambil gambar kami.
"Tuan, tolong geser ke kanan sedikit lagi," pinta fotografer itu pada Takashi. Sementara aku berada di sisi lain yang sudah siap difoto, melongokkan setengah tubuhku untuk melihat Takashi. "Ta-chan! Ayo mendekat, beruangnya tidak menggigit kok." Aku merasa seperti mengasuh seorang bocah.
Lalu, satu jepretan berhasil didapatkan. Aku segera melihat hasil foto langsung jadi itu. "Huft! Ta-chan~" gemasku tatkala melihat foto Takashi menjaga jarak dari beruang badut itu. Tetapi, ekspresinya yang takut-takut membuatku merasa geli. Aku terkikik.
"Kita pergi ke arena lain saja," kata Takashi. "Baiklah. Ayo kita naik roller coaster!" sambutku ceria.
"Apa?!"
"Kenapa? Kau takut naik roller coaster?"
"Itu mengerikan.... Melihatnya saja sudah membuat kepalaku pening," ungkap Takashi.
Terkadang aku bertanya-tanya, mengapa aku bisa memiliki kekasih penakut sih? Akhirnya kami jalan-jalan sambil bergandengan tangan berkeliling taman bermain. Meski dia pria yang penakut terhadap hal sepele, aku tetap menyukainya.
Dua tahun kami menjalin asmara, selama itu juga kami belum mengetahui sisi masing-masing. Takashi bukan orang yang terbuka terhadap kehidupan pribadinya. Misalnya saja menceritakan tentang teman-temannya, bahkan mengenalkanku pada salah satu temannya saja tidak pernah. Aku heran, apa jangan-jangan dia tidak memiliki teman.
"Ta-chan, kenapa kau berpacaran denganku?"
"Aku tak mengerti maksudmu?"
"Jika kuingat-ingat lagi, sewaktu kuliah dulu kau selalu menyendiri dan jarang melihatmu terlibat dalam kelompok tertentu atau pun bersosialisasi. Kupikir kau seorang yang anti sosial, dan aku terkejut saat seorang penyendiri itu memintaku jadi pacarmu," kataku kembali pada masa lalu kami sebagai mahasiswa tingkat akhir.
Takashi berhenti. Kami berdiri berhadapan dengan saling memandang. "Karena aku tak bisa menahan isi hatiku yang menyukaimu. Kau terlihat bersinar di mataku. Kau istimewa dan aku ingin melindungi kristal berharga seperti dirimu." Kata-katanya yang diucapkan dengan serius membuatku terbengong. Lalu, aku tersenyum. "Terima kasih, sudah peduli padaku." Banyak hal yang kusuka darinya, walau dia lelaki sedikit pengecut. Salah satunya adalah dia orang yang tak pernah mengingkari janjinya denganku. Padahal aku pernah melupakan janji kami untuk bertemu karena padatnya pekerjaanku.
"Oh, tali sepatumu lepas." Takashi tiba-tiba saja berjongkok di hadapanku, mengikat tali sepatuku. Sementara aku hanya mematung.
***
Saat hari menjelang sore, kami dalam perjalanan pulang. Aku memilih kami berpisah di tengah jalan karena jarak rumah kami yang berbeda. Awalnya Takashi memaksa tetap mengantarku, tapi setelah aku bersikeras menyuruhnya pulang, lelaki itu menyerah dan melihatku pergi menyebrangi jalan. Kami melambaikan tangan usai aku tiba di trotoar lain. Lalu aku berbalik menuju rumah.
Jalanan yang kulalui kelihatan sepi. Sampai kemudian langkahku terhenti tiba-tiba ketika kulihat seseorang muncul, menghalangi jalanku. Aku terdiam memperhatikannya. Mau apa dia? Apa dia orang sakit? pikirku aneh. Sebelum orang itu meluruskan pandangan ke padaku, dan aku mengerti. "Bisa-bisanya kau berhubungan dengan Takashi," geramnya tertahan.
"Siapa kau?" tanyaku tegas.
Wanita itu terkikik menyeramkan. "Jika kukatakan kalau aku adalah tunangannya, bagaimana?" ucap wanita itu. Tenggorokanku tercekat seketika. "Kau ingin aku putus darinya, begitu?" tebakku menurut nalar sebagai wanita.
Wanita itu melangkah maju. Ketika bahu kami beriringan, wanita itu berbisik. "Bagaimana jika dia bukan seperti yang terlihat, nona Kesatria Putih?"
Aku tertegun. Sedangkan wanita itu berlalu santai.
Satu tanda tanya terpikirkan di kepalaku. Bagaimana dia bisa tahu?
***
Malam itu aku sudah ada di kantor pusat. Lobi yang terang benderang, lalu lalang karyawan, aku berjalan penuh percaya diri di kantor tempatku bekerja. Bahkan di saat kantor lain memulangkan pegawai mereka, kantorku masih aktif, seperti nokturnal.
Masuk ke lift, aku naik ke lantai tiga belas. Oh ya ampun. Kenapa ruang direktur harus lantai tiga belas? Semua orang menganggap angka itu angka pembawa s**l. Aku mengetuk pintunya pelan, begitu sudah mendengar suara dari dalam, aku segera membuka pintu dan bertemu pak tua menyebalkan itu.
"Ada misi untukmu."
Benar kan? Kalau seorang direktur sendiri memanggilku, pasti sesuatu yang sangat penting dan mungkin ekslusif. Biasanya aku hanya dapat perintah dari bawahannya yang menjadi ketuaku.
Beliau menginstruksikan diriku untuk membawa beberapa rekan dalam satu tim. Tentu saja mereka akan menuruti perkataanku karena aku memiliki surat perak. Yang itu artinya surat langsung dari Direktur.
Aku membutuhkan empat orang untuk tugas ini. Seorang wanita dan empat pria. Mereka adalah dua bersaudara Nusa dan Nesa, si pemuda berambut mangkok: Orino, dan seorang wanita bernama Yuki. Aku menghubungi nomor mereka dan berkumpul di lobi kantor untuk membahas rencana. "Kita akan menyergap ghoul level S bernama Maki," kataku memberitahu.
"Ouh! Maki~! Jadi, di mana dia sekarang?" sahut Yuki.
"Di pinggir kota." Lalu aku mengecek jam tangan. "Kupikir kita akan tiba dua jam kemudian."
"Baiklah kalau begitu, ambil posisi masing-masing, dan ayo berangkat!" kata Nusa bersemangat. Setelah itu kami langsung pergi ke TKP menggunakan mobil. Dengan tak lupa membawa koper masing-masing di tangan.
***
Tempat itu sudah usang dan telah lama ditinggalkan. Sebuah bangunan yang tak terpakai. Dari luar tampak seperti rumah hantu, tapi siapa sangka di dalamnya terdapat beberapa tengkorak manusia kami dapati. Tidak salah lagi kalau buruan kami bermarkas di sini.
Kami berpencar individu guna mencari keberadaan ghoul level S itu. Aku naik ke lantai dua, sedangkan rekan-rekanku menyebar ke lorong-lorong. Gelap, beruntungnya bulan malam ini cukup bersinar. Jadi sinarnya lumayan menerangi setiap jendela tanpa kaca yang kulewati.
Terdengar suara teriakan melengking. Aku tersentak. Kemudian berlari terburu-buru ke asal suara di depanku. Salah satu pintu ruangan pun kubuka dengan cepat. Dapat kulihat seorang laki-laki diikat di pembaringan, sedangkan seorang wanita berdiri dengan mata hitam-merahnya, mengeluarkan kagune dari lengan kirinya. Tidak salah lagi, wanita itu adalah Maki! Ghoul level S!
Aku langsung mengeluarkan kagune dari koper yang kubawa. Bersiap untuk bertarung.
Benar, aku adalah seorang Kesatria Putih Pemburu Ghoul.
***