Part 3

1007 Words
"Nasib punya abang laknat tuh kayak dineraka, sekolah ketemu dirumah ketemu serasa narapidana siap eksekusi tanpa sidang. Devon k*****t!" Devan gans *** "SATU!" teriak Devon saat anak-anak SLC mulai mengelilingi lapangan utama SMA Garuda. "LARI BUKAN JALAN!" Devon berteriak menginstruksi Adit yang malah berjalan. "YANG SEMANGAT!" Fani menarik ujung kaos Devan agar menyesuaikan larinya. "Sumpah gak kuat gue," keluh Fani saat mereka sudah mencapai putaran ke 36. "Santai, Beb. Tinggal 64 putaran," balas Devan mengusap keringat Fani. "SIAPA YANG NYURUH KALIAN NGOBROL?!" "IYA, MAS! GADA," jawab Fani ikut berteriak. Devon kini berdiri dibawah pohon menatap anak-anak SLC yang sedang menjalani hukuman. "Inas," panggil Devon saat ekor matanya melihat sosok Inas yang baru saja keluar dari perpustakaan. "Eh? Kak Devon. Kenapa, Kak?" tanya Inas berjalan menghampiri Devon. "Free?" "Seharusnya ada ulangan bahasa, tapi kelas free buat ngumpulin tugas-tugas. Kan senin besok udah UAS," jelas Inas merapikan tumpukan buku ditangannya. "Ini?" tanya Devon mengambil 1 buku ditangan Inas. "Itu buat tugas bahasa Inggris, Inas sedikit bingung dibagian materi akhir," jawab Inas. "Adek ku pinter bahasa Inggris, mau belajar sama dia? Cuma dia agak lemah dibagian translate aja," tawar Devon saat melihat buku yang berada ditangannya banyak coret-coret, sepertinya bagian yang kurang dipahami Inas. "Eh? Gak apa-apa emang?" tanya Inas bingung. "Gak apa-apa, nanti pulang sekolah tungguin dikantin atau dimana intinya dekat parkiran samping guru," ucap Devon mengembalikan buku milik Fani. "Makasih ya, Kak. Inas mau ke kelas dulu," pamit Inas meninggalkan Devon. ****** "Asw banget tuh orang." "Idup nya sok iye aja sampe ngatur-ngatur orang." "Devon anjiing!" "Bangssat!" Fani dan anak SLC memaki habis sosok Devon yang membuat mereka hampir mati kehabisan oksigen. Jika kalian kira mereka sudah selesai menjalankan tugas? Maka jawabannya salah besar. Karena dengan kompak saat melihat Devon fokus bicara dengan Inas, mereka berlari menuju gedung belakang dimana mereka bisa bolos dengan meloncat tembok dengan aman. Kini mereka sedang berada di cafe depan kampus Gelora milik keluarga besar Alexander yang sudah berganti nama. "Eh? Gue mau ke supermarket depan, ada yang mau nitip?" tanya Fani membereskan tas nya. "Gak. Nanti langsung kerumahnya Adit ya," ucap Devan berpesan pada adiknya. "Ini Abang tambahin," ucap Devan memberikan 3 lembar uang seratus ribuan yang diterima baik oleh Fani. Dengan segera Fani mengangguk dan beranjak pergi menuju supermarket. "Gue masih kesel sama Devon," gumam Eza menghentakkan gelas minumnya dimeja. Mereka semua menyetujui ucapan Eza yang benar-benar mereka rasakan saat ini. "Emang lo doang yang kesel? Gue juga! Lo kita kita udah nyusun rencana mudah? Terus dengan seenak bokongnya Devon dia nyuruh gue buka tuh gerbang. Goblook sih dia, kan kalo gerbang gak bisa dibuka otomatis gada pelajaran, kan kita free gak pusing-pusing mikir. Dia sih yang kepinteran!" sahut Devan kesal. Dendamnya pada Devon makin menguap! Sejak dalam kandungan sepertinya memang hanya Devon yang diciptakan secara berbeda. Jika di cafe anak SLC sedang menguapkan dendam tersumbat pada Devon. Maka Fani menguapkan dendam pada petugas supermarket karena meletakkan snack kentang ditempat yang paling tinggi. "Mas, bisa minta tolong ambilin snack nya nggak?" Fani menatap sosok pria tinggi didepannya dengan memohon. "Yang mana?" tanya orang itu. Alhamdulillah masih ada orang baik. Udah baik, ganteng, tinggi subhanallah ... kau terlalu Astaghfirullah buat aku yang subhanallah. "Snack kentang yang hijau, Mas. 3 ya." "Ini," ucap pria yang menolong Fani. "Al-tar? Altar. Mas Altar dosen ya di kampus Gelora?" tanya Fani melihat nametag disebelah d**a kanan. "Iya, saya dosen disana. Kamu sepertinya mas-" "Saya baru kelas 2 SMA," potong Fani cepat. "Bolos?" tanya Altar menaikkan alisnya melihat Fani yang masih memakai seragam lengkap walau kini bagian atasnya tertutup oleh sweater milik Devan. "Iya. Masnya ngapain disini? Ini bagian buat belanja lho," tanya Fani penasaran melihat Altar yang sepertinya ingin belanja sesuatu. "Saya bingung dengan ini," ucap Altar menyerahkan selembar kertas berwarna biru pada Fani dengan sedikit tak yakin. Altar memang sedang berbelanja, tepatnya membelanjakan apa yang ditulis bundanya. Ia menatap Fani ragu. Dari segi penampilan Fani memang seperti anak orang kaya yang dipastikan anti dengan yang namanya dapur. "Ouh ini, mau saya bantu? Saya tau semuanya," tawar Fani, Altar mengangguk senang dan mengajak Fani menuju rak demi rak dimana bahan yang dibutuhkan. "Kamu namanya siapa?" tanya Altar karena dari tadi ia belum tau nama gadis yang sedang memilih bahan untuk dimasukkan kedalam troly. "Fani. Alfani Devina Ŕanźœ." Fani memasukkan kentang yang ia pilih kedalam troly dan lanjut berjalan diikuti dengan Altar yang mendorong trolly. Altar mengernyit bingung. Ŕanźœ? "Ayahmu Mr. Zion bukan?" "Iya, dia papaku. Kenal?" tanya Fani menatap Altar sekilas lalu kembali fokus pada perkerjaan nya. "Kenal. Beliau sahabatnya ayah saya," jawab Altar. Fani hanya mengangguk. Setelah selesai berkeliling, kini Altar dan Fani sampai di kasir. "Snack ini dipisah ya, Mbak," ucap Fani memisah snack nya dengan belanjaan Altar. "Jadiin satu aja, saya yang bayar, itung-itung sebagai ganti kamu bantu saya," ucap Altar menjadikan satu snack Fani. Fani hanya mengangguk dan menunggu snack nya selesai dihitung. "Terima kasih ya traktirannya," ucap Fani saat mereka keluar dari supermarket. "Seharusnya saya yang bilang terima kasih karena kamu bantu saya. Jujur saya tidak tau bahan-bahan dapur," balas Altar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, salah tingkah. "Laki-laki wajar kalo gak tau bahan dapur, kan mayoritas laki-laki kerjanya lebih milih di kantor dari pada jadi chef, kecuali mereka yang pecinta kuliner." "Kamu kesini naik apa?" Duar Doeng! Seakan tersadar dari acaranya, Fani menepuk jidatnya karena merasa bodoh. Ia berangkat sekolah dengan Devan, ke Cafe juga sama Devan. Hanya saja ia ke supermarket jalan kaki karena jaraknya yang hanya 10 meter. "Naik kaki. Aku tadi kesini sama abang terus abang pergi kerumah temen, jadi ya ini nyari taxi," jawab Fani menatap pergelangan tangannya yang hampir menunjukkan pukul 12 siang. "Duh mampus gue. Udah dzuhur, belum sholat lagi, nyari masjid juga kayaknya jauh," gumam Fani yang masih bisa didengar oleh Altar. "Bagaimana kamu ikut kerumah saya dulu? Rumah saya deket kok dari sini, sekalian kamu sholat dzuhur juga disana," tawar Altar membuat Fani langsung mengangguk. "Ayolah, dari pada saya harus telat sholat," ucap Fani menyetujui tawaran Altar. "Tapi kalo kamu nanti ditanya bunda saya jawab saja putri Ŕanźœ." Calon menantu bunda. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD