Bab 2. Pengajuan Resign

1104 Words
"Selamat pagi, Pak." Begitu masuk, aku langsung menyapa, serta meletakkan berkas titipan Irma ke atas mejanya. Aku mundur beberapa langkah, demi menjaga jarak antara aku dan meja kerja pak Aksara. "Hm." Pak Aksa tampak memandangiku. Aku tidak bisa menebak, apa yang ada dalam benaknya. Bagiku, dia sosok yang sangat misterius dan tegas sebagai pemimpin berusia muda. Walaupun sangat kontras bila melihat dekorasi ruangan kerjanya yang dipenuhi rak berisi mainan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Aku selalu bersikap formal bila berhadapan dengannya, tidak seperti Irma. Entah kenapa, tidak ada bayangan tugas seperti yang bakal dikasih pak Aksa padaku. Pak Bos pun duduk di kursinya, sedangkan aku seperti sedang di4dili, hanya bisa berdiri kaku di tengah ruangan. "Kamu yakin ingin mengajukan resign?" "Iya, Pak." Aku menjawab, bahkan sambil menundukkan pandangan ke arah sepatuku. "Sudah yakin sekali untuk menikah dan meninggalkan karirmu selama tujuh tahun di perusahaan ini?" Pertanyaan itu begitu mengagetkan aku. Nada bicaranya sangatlah aneh dan bagiku tidak patut dilakukan sebagai pekerja profesional. "Saya ingin resign dan yakin dengan pernikahan saya." "Kamu sangat ingin saya meng-acc resignmu, bukan?" katanya lagi, dan itu sanggup membuatku segera mendongak menatap wajahnya. Benar-benar menjeng-kelkan, kalau bagian ini saja harus dijadikan sesuatu yang menyulitkan bagiku. Padahal jelas-jelas aku mengajukannya hampir dua bulan yang lalu. "Tentu saja, Pak. Saya harus resign, karena calon suami saya juga bekerja di perusahaan ini," tantangku balik, seolah aku dipecat saja juga tidak masalah, saking jeng-kelnya saat melihat ukiran senyum pada wajahnya. "Arman Suteja, dari divisi pemasaran. Kamu akan menikah dengannya minggu depan. Benar begitu?" "Benar, Pak." Aku membenarkan identitas bakal calon suamiku yang disebutkan pak bos. "Oke. Tolong kamu rapikan dulu ruangan kerja saya ini. Lego-nya sudah mulai berantakan dan saya pusing melihatnya. Kalau saya rasa sudah rapi, pasti pengajuan resign kamu saya tandatangani," ucap Pak Aksara sambil menarik berkas yang baru aku bawa tadi dan mulai membuka lembarannya. Aku hanya bisa mendengus kesal sendiri. Tidak mengapa, toh setelah resign dan menikah nanti, aku bakal bebas dari pak bos ini. "Baik, Pak. Akan saya kerjakan secepat mungkin," sahutku seraya memulai membereskan ribuan rangkaian lego, yang berjajar hampir memenuhi lemari kaca di ruangan pak bos. "Jangan sampai ada satu pun bagian elemennya yang hilang ya!" "Siap, Pak!" jawabku tegas, penuh kesadaran akan sifat perfeksionisnya. Beberapa kali aku mencuri pandang ke arah pak bos yang sedang serius menyimak berkas-berkas laporan di mejanya. Aku bahkan sampai membayangkan mence-k*kik leher pria itu saking gre-getnya. "Sabar, Runa. Sebentar lagi kamu resign dan tidak perlu lagi bertemu dengannya." Aku mengelus d**a agar keke*salanku turun dengan cepat. "Kamu menggumam?" lontar pak Aksara dan itu sanggup membuatku kesusahan menelan ludah. Dia memergokiku saat menatap ke arahnya. "Ah, tidak. Siapa yang menggumam sih, Pak." Aku menunjukkan senyuman sambil menggeleng, lalu beralih tempat, menjauh dari pandangan bos muda itu. *** Pulang kerja menjadi bagian paling melegakan dalam hariku. Kalau biasanya aku sangat senang bila harus berinteraksi dengan mantan bosku, entah kenapa sekarang ini melihat wajah rupawan pak Aksara malah seperti menaikkan tensi darahku saja. "Kamu masih belum bisa menyesuaikan diri dengan sifat pak Aksara ya ternyata," ledek Irma, saat kami bersiap-siap untuk pulang. "Aku maunya sama pak Ambara saja," keluhku, seperti rengekan anak kecil bila terdengar di telinga orang lain. Irma pun langsung tergelak menatapku. "Jangan terlalu ben-ci, ntar fatalnya bisa bikin cinta m4ti sama orang itu." "Idih! Ngapain cinta m4ti sama laki yang umurnya bahkan lebih muda empat tahun dariku," sungutku sambil mencembik ke arah Irma. "Jadi resign kamu udah di acc tadi?" "Udah." Aku mengangguk. "Meskipun aku harus membereskan ribuan lego dan mainan di ruangannya seharian ini." Irma langsung terkekeh. Aku bisa membayangkan seantero karyawan di kantor ini pasti sedang membicarakan aku. Ya mau gimana, punya atasan yang masih suka main-main memang terkadang menjeng-kelk4n. Tapi, apa mau dikata. Sebagai asisten pribadi tentunya pekerjaanku selalu berada di sekitaran pak bos dalam keseharian di kantor. "Yakin, kamu nggak undang banyak orang di kawi-nan kamu sama Arman?" Irma menenteng tasnya, sambil menunggu aku yang sedang mengenakan sepatu fantofelku. "Aku sengaja nggak merayakan secara besar-besaran kok. Yang penting pernikahan kami sah. Uangnya mendingan buat dp rumah sama mobil," jawabku sambil nyengir. "Ternyata isi pikiran kalian bisa satu frekuensi, ya. Arman kemarin juga jawabannya sama kayak kamu." "Lah iya dong. 'Kan udah kami obrolin dari lama. Lagian, kalau bukan karena bosnya ganti yang kelakuannya macam anak kecil seperti pak Aksara, mana mau aku nerima lamaran Arman, terus ngalah akunya yang resign," ucapku, sedikit berbisik-bisik saat menyebutkan nama pak bos, agar tidak ada orang lain yang mendengarkan perkataanku. Jujur saja, teramat berat bagiku meninggalkan pekerjaan ini, sebagai tulang punggung keluarga. Adikku satu-satunya harapan ibuku pasti harus aku biayai kuliahnya, agar masa depannya lebih baik dariku. Sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluargaku, tidak elok rasanya kalau dia sampai putus sekolah, hanya karena ibuku tidak mampu membiayai kebutuhan pendidikannya. "Berapa lama sih, kamu pacaran sama Arman?" "Tiga tahun lebih kayaknya. Dia ngajakin nikah tiga kali, tapi mentok di siapa yang mau ngalah soal resign. Kamu tahu 'kan, kerjaan ini begitu penting bagi hidupku." "Artinya, dengan kedatangan pak bos, kamunya akhirnya bakal sold out, 'kan?" goda Irma, sambil menyenggol pundakku. Aku terkekeh geli. Entahlah, apakah memang ini jalannya atau bagaimana. Memutuskan segala sesuatu memang begitu menguras pikiran. Aku harap, keputusan ini menjadi jalan keberkahan untuk hidupku, setelah melepaskan karir yang sudah susah payah aku rintis sejak lulus kuliah. "Eh, ponsel kamu berdering tuh!" Aku langsung memberitahu Irma begitu mendengar dering ponselnya. Tentu saja, aku tidak mau kalau dia melewatkan panggilan yang bisa saja penting. Irma segera mengecek tasnya. Nama pak bos jelas-jelas terpampang pada layar saat Irma memperlihatkannya padaku. Tentu saja, wajah rekanku satu ini menyiratkan peno-lakan ker4s. Aku bahkan harus melo-totinya agar segera mengangkat panggilan itu. "Iya, Pak Aksara," jawabnya dengan nada berbisik dan aku tidak tahu kenapa pula dia harus melakukan itu. "Oh, maaf saya lagi diare, Pak. Ini di kamar mandi." "What?" batinku seraya mengernyitkan kening. Bisa-bisanya Irma beralasan seperti itu, padahal jelas dia sehat wal'afiat. "Oke, Pak!" teriak Irma sambil berjalan menjauhiku, mem4tikan panggilan lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Aku tidak tahu apa maksudnya, tetapi arah kepergian Irma memang menuju ke kamar mandi area parkiran. Aku langsung menduga, pasti Aksara sedang memberikan tugas dan Irma enggan melakukannya. Baru saja aku hendak memakai helmku, kini nada dering ponselku gantian yang berbunyi. Tidak usah ditebak terlalu lama, karena seperti yang aku bayangkan sebelumnya, setelah gagal menyuruh Irma, pasti pak bos gantian menghubungiku. "Iya, Pak. Selamat sore." Aku menyapa begitu panggilan itu aku angkat. Helm yang tadinya aku pakai, kini sudah tergantung kembali di spion motor. Sambil nangkring di kendaraan, aku menunggu jawaban dari pak Aksara. "Untung kamu angkat panggilan saya. Gini, Varuna, saya ada janjian untuk ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD