"Untung kamu angkat panggilan saya. Gini, Varuna. Saya ada janjian makan malam bareng klien. Bisakah kamu bantuin atur tempatnya sekarang? Tenang aja, akan ada bonus khusus karena tugas ini ada di luar jam kerja kantor."
Sedetik dua detik aku terdiam. Maksudnya menyiapkan tempat yang seperti apa? Selama ini pekerjaan seperti ini selalu menjadi tugas Irma.
Rasanya ingin menepok jidat saja, saking ngeblengnya otakku.
Setiap berhadapan dengan pak Aksara, aku mendadak seperti tidak memiliki ketrampilan apapun. Pay4h.
"Hallo! Kamu denger nggak, Varuna?" panggil pak Aksara, saat aku malah bengong dalam keheningan.
"Jadi, saya nya harus apa, Pak?" tanyaku sedikit tergagap, dan aku menyes4l sekali sudah bertanya seperti orang bo-doh seperti itu. Dia pasti berpikir kalau selama ini aku tidak mampu bekerja.
"Kamu reservasi tempat untuk enam orang. Di restoran Jepang karena klien kita dari negara itu."
"Oh, baik, Pak."
Aku pun langsung paham, apa yang harus aku lakukan dengan tugas dadakan ini. Walaupun belum pernah aku kerjakan hal seperti ini sebelumnya.
"Tadi Irma izin sakit, jadi terpaksalah saya ngubungin kamu."
"Ah, iya, Pak. Tidak masalah karena saya masih ada di parkiran kantor."
"Oke."
"T-tapi, tunggu, Pak!" Untung saja aku langsung ingat, sebelum pria itu benar-benar menutup teleponnya.
"Ya?"
"Untuk jam berapa, Pak?"
"Oh, untuk jam tujuh malam, ya. Saya harap ntar malam kamu langsung ke sana dan berpakaianlah yang rapi."
Sambungan pun langsung terputus setelah dia mengatakan itu.
Aku segera mengangguk seraya memejamkan mata, membayangkan restoran mana yang cocok untuk pertemuan para bos ini.
Namun, setelah aku menjalankan motorku dan sampai di perempatan lampu merah, aku pun baru menyadari, sesuatu yang membuat kepalaku mendadak kliyengan.
"Eh, kenapa aku harus ikut menghadiri jamuan makan malam itu, sih? Bukannya harusnya aku cukup reservasi tempatnya aja, 'kan buat mereka? Aish!"
Rasanya uring-uringan, saat rasa capek harus ditahan. Kalau bukan karena itungan bonus seperti yang disampaikan pada awal tadi, rasanya ingin mengumpat saja saling gemasnya.
Aku berkelana mendatangi beberapa restoran Jepang yang tersebar di beberapa tempat. Banyak di antaranya berlokasi tidak jauh dari gedung perkantoran. Untung saja, aku cukup update dengan menu-menu enak khas negeri matahari terbit itu.
Setelah berhasil reservasi dan mendiskusikan menunya lewat pesan dengan pak Aksara, akhirnya tugas itu bisa terselesaikan dengan baik.
Aku tinggal pulang, mandi, berganti pakaian sambil istirahat sejenak, lalu berangkat lagi ke tempat pertemuan pak bos.
"Maem, Nduk," tawar ibuku saat mendapati aku duduk di ruangan keluarga.
Aku habis mandi, rambutku masih basah tergulung handuk. Aku mengecek pesan-pesan yang masuk di ponselku. Untung saja Arman sibuk, malam ini dia tidak bisa datang ngapel ke rumah. Jadi, aku memilih tidak bilang kalau ada meeting menemani pak bos di luar.
Entah, dandanan apa yang akan aku siapkan nanti, untuk menjaga integritas bosku di hadapan klien, sebagai asisten pribadinya.
"Pakdhe sama Wildan udah pulang, Buk?" tanyaku sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Aku melakukan sedikit peregangan untuk melemaskan otot-otot punggungku yang kaku.
"Udah, Nduk. Tapi, wajah pakdhemu terlihat letih."
"Biar aja yang menghandle urusan mebel Wildan aja, Buk. Bilangin sama Pakdhe, jangan terlalu capek. Aku nggak mau kalau pakdhe jadi sakit gara-gara ikut kepikiran," ungkapku, berharap agar mereka berhenti memikirkan pekerjaan. Cukup aku kehilangan bapak saja.
Mau bagaimana lagi. Sejak bapakku mening-gal, kakak kandung ibukku ini menggantikan peran bapakku untuk beberapa hal. Aku berharap adikku laki-laki satu-satunya itu bisa kuat mandiri menjalankan usaha mebel bapak, agar beban pikiran itu tidak menggerogoti kesehatan pakdhe dan ibukku.
Umurnya Pakdhe juga sudah tujuh puluhan tahun. Sudah sewajarnya benar-benar pensiun dan tinggal menikmati hari tuanya di rumah.
Untung saja, aku punya budhe dan sepupu yang sangat pengertian. Meskipun direpotkan, tapi hubungan kekeluargaan kami tetap harmonis.
"Iya, Nak. Kalau bukan karena adikmu kebingungan cara menyelesaikan masalah surat kayu kemarin, sebenarnya pakdhemu juga tidak begitu memikirkan pekerjaan lagi."
"Aku jam setengah tujuh ada acara, Buk. Pak Bos meminta aku menemani jamuan makan malam dengan klien dari Jepang." Aku pamitan sambil berdiri dari kursi.
"Kamu sibuk banget akhir-akhir ini ya, Nduk."
Ibuku tersenyum dan keteduhan itu selalu membuatku sangat bersyukur memilikinya.
Aku langsung mendekat, tidak lupa memberikan pelukan hangat sebagai charge bagi jiwaku sendiri.
"Maaf, sampai umurmu tiga puluh tahun, ibu masih merepotkan kamu."
"Dih, apaan sih, Buk!"
"Ya, mau gimana. Kalau bukan kamu yang membantu kuliah adikmu, dengan kondisi ekonomi ibuk yang seperti ini, ibuk nggak yakin bisa memberikan gelar sarjana pada adikmu."
"Sama-sama, Ibuk. Lagipula, itu pilihan aku kok. Nggak ada yang maksa. Mungkin memang jalannya seperti ini. Aku bisa nikah dan resign dari pekerjaan setelah Wildan sudah bisa kerja."
Ibu mengelus rambutku. Terasa sangat hangat. Tidak ada yang aku anggap berat, meskipun sejak bapakku sakit dan akhirnya mening-gal, ekonomi keluarga kami jadi terpu*ruk dan aku harus membantu menopangnya.
"Lagian, umurku juga baru tiga puluh tahun, Buk. Masih banyak teman-temanku yang belum mikirin nikah malah," hiburku sambil tersenyum semanis mungkin.
"Ya sudah. Lekas siap-siap sana. Jangan sampai telat. Belajar dari pengalaman bapakmu dulu, klien Jepang itu terkenal sangat disiplin dan tepat waktu," nasihat ibuku, dan aku mengangguk setuju dengan perkataannya.
Aku langsung bergegas ke kamar untuk siap-siap. Memakai pakaian sopan dan berdandan serapi mungkin.
Aku tidak mau dipandang menor, mengingat beberapa kali pak bos menunjukkan tatapan tidak suka, ketika aku berdandan cukup wah di acara-acara pesta kawinan rekan kantorku.
"Matanya itu loh, hih!" keluhku begitu mengingat tatapan pak Aksara seperti menembus ke jantungku, saat aku merasa dia tidak menyukai beberapa polah tingkahku.
Tidak aku sangka sama sekali, ternyata pak Aksara menjemput. Tepat di ujung gang ke arah jalan raya karena tidak tahu di mana rumahku. Aku berjalan melewati gang rumahku, begitu membaca pesan darinya.
Aku akhirnya duduk di kursi sebelahnya, begitu tatapan matanya menyiratkan protes, saat aku hendak mengambil duduk di jok belakang.
Aroma parfum woody-nya sangat segar. Aku begitu menyukai pilihannya yang bagiku selalu cocok untuk kepribadiannya.
Pak Aksara memakai stelan jas berwarna gelap dipadukan kemeja putih dan dasi senada dengan jasnya. Setelah melirik jam tangan dan aku rasa cukup waktu bagi kami untuk sampai di tempat itu, dia terlihat sangat santai.
Perjalanan kami habiskan dalam keheningan. Aku tidak punya bahan obrolan, karena sebenarnya hubungan kami tidak dekat. Murni sebuah profesional kerja saja.
Saat turun dari mobil pun, buru-buru aku keluar agar dia tidak repot membukakan pintu untukku.
Gelag4tnya memang menunjukkan demikian, khas para pria dengan kepribadian act of service.
Namun, baru aku hendak maju, tiba-tiba kakiku terasa berat untuk melangkah. Di ujung jalan sana, aku melihat sekelebatan mobil calon suamiku lewat.
Aku bahkan harus memutar tubuhku, agar bisa melihat dengan jelas plat mobilnya, dan juga siapa yang sedang duduk di jok bagian samping kemudinya.
"Kenapa? Orang yang ada di mobil itu temanmu?" tanya pak Aksara, dan pertanyaan itu sanggup membuat aku kembali tersadar dari lamunan.
"Ah, tidak. Kemungkinan saya hanya salah lihat." Aku menggeleng seraya berjalan lagi, melangkah bersandingan dengannya.
Aksara tampak menoleh lagi ke belakang, dan aku pun terpancing untuk mengikuti ke arah mana pandangannya tertuju.
Dia terdiam, seolah memikirkan sesuatu, tetapi senyuman yang terukir saat kembali menoleh ke arahku, membuat aku terpaksa...