menundukkan pandangan.
***
Keesokan harinya.
"Runa!"
Tepukan Irma pada pundak membuat aku tersadar dari rasa kantuk.
"Hem, apa?" Aku menyahut sambil menahan gerakan menguap, menutup bibirku dengan telapak tangan.
Semalam, sesampainya di rumah setelah menemani pak Aksara meeting dan diantar pulang, aku kesulitan tidur.
Mungkin sampai jam dua pagi mataku baru bisa terpejam, sedangkan paginya aku harus bangun pagi untuk membantu ibu mengantarkan donat-donat buatannya ke beberapa warung.
Ponsel Arman semalam tidak bisa dihubungi membuat hatiku gelisah setengah mati. Sebenarnya rasa seperti itu tidak pernah hadir sebelumnya.
Kemungkinan karena aku semalam melihat dia pergi bersama orang asing.
"Ditelepon pak Aksa, nih," kata Irma, seraya menyerahkan gagang telepon kantor ke arahku.
"Heh, oke," sambutku agak tergagap saking tidak konsen pikiranku pagi ini.
Setelah berdeham, aku segera menempatkan gagang telepon ke daun telingaku agar bisa melanjutkan komunikasi dengan pak bos.
"Varuna di sini, ada yang bisa saya bantu, Pak Aksara?" sapaku dengan suara dibuat seramah mungkin.
"Tolong kamu ambilkan pesenan siomay saya di bagian lobi, ya? Ada, sudah dititipkan di meja sekuriti!"
"Baik, Pak. Akan saya ambil dengan segera," balasku masih mencoba menjaga nada suaraku seramah mungkin, meskipun raut wajahku tentu saja berubah keruh setelah gagang telepon itu aku letakkan kembali pada tempatnya.
Suasana hatiku pagi ini benar-benar kacau. Sepertinya kaum laki-laki seperti sedang menguji kesabaranku. Hari pertama haid pula, rasanya otakku hampir meledak karenanya.
"Apaan?" goda Irma sambil menahan tawa.
"Aku harus turun ke lobi buat ambil siomay," jawabku sambil menampakan wajah hampir menangis.
Ya Tuhan, tidak adakah pekerjaan yang lebih elegan yang diberikan pak bos selain bagian remeh temeh seperti ini, batinku nelangsa.
Irma langsung memberikan kode semangat padaku, sambil tersenyum jahil tentunya.
Aku bergerak malas, menarik sepatuku dari kolong meja lalu beranjak meninggalkan ruanganku demi siomay.
Aih, bukan cuma sekali dua kali dalam sehari pak Aksara menugaskan hal seperti ini. Bisa saja nanti sore tiba-tiba aku ditugaskan untuk mencarikan rujak di saat mepet jam pulang kerja.
"Semangat, Bestieku!" teriak Irma sambil tertawa cekikikan.
Aku hanya memberikan juluran lidah padanya, sebelum benar-benar menutup pintu dan menghilang dari pandangan.
Dalam perjalanan turun lift, aku mengusir kepenatan dengan mengecek pesan-pesan yang masuk. Salah satunya dari Arman yang membalas pesanku hampir pukul delapan pagi tadi.
Sudah kebiasaannya, tetapi kali ini rasa jengkel dan marah tiba-tiba meletup begitu saja. Aku merasa dia sudah keterlaluan mengabaikan pesanku seperti ini.
"Makasih, Pak. Next time langsung tolak aja para gofooder kalau mau titip di sini, ya?" cengirku seraya menerima seplastik berisi dua kotak kardus siomay dari Pak Bagus, sekuriti yang hari ini berjaga.
Pria berusia empat puluhan itu langsung terkekeh geli. Tentu saja, itu hanya bentuk guyonan bila menyinggung kebiasaan bos baru kami yang suka jajan.
"Sepertinya ini bagian dari inerchild beliau, deh. Maklumi aja, demi kesejahteraan UMKM di negara kita," bisik Pak Bagus padaku.
"Huum, unik. Kalau aku sih inerchild-ku pengen jajan Alphard, Pak. Nggak sekedar jajan siomay," balasku juga sambil berbisik-bisik dan akhirnya kami tergelak bersamaan.
Aku melambaikan tangan, pamit untuk kembali ke lantai 11, ruangan kantorku berada. Gedung ini sepenuhnya milik Megah Jaya Kusuma, sehingga karyawan yang berseliweran merupakan rekan kerja perusahaanku semua.
Hanya saja, aku cuma mengenal beberapa dari mereka saja. Walau sebagai asisten pribadi pimpinan perusahaan, sebagian besar mereka mengetahui siapa namaku.
Aku mengamati sekeliling ruangan, sepanjang perjalanan kembali ke tempat lift berada.
Terharu juga, selama tujuh tahun aku bekerja di sini, dimulai dari training, menjadi pekerja magang dan akhirnya bisa diterima sebagai karyawan tetap.
"Setelah resign nanti, pasti aku akan sangat merindukan suasana di sini," batinku kelu.
Ada sebagian rasa sesal memutuskan untuk berhenti bekerja. Namun, aku pun seharusnya memang memikirkan kehidupanku sendiri, setelah berjibaku memikirkan keluargaku.
Umurku yang tidak lagi muda, tentu saja harapan memiliki keluarga sendiri, tempat pulang begitu besar. Aku ingin merasakan dinafkahi, dicintai, dan melahirkan bayi.
Impianku tidak begitu muluk, bukan?
"Mbak Runa!"
Panggilan dari arah belakang membuat aku segera menoleh. Aku memperlambat langkah agar perempuan itu bisa mengimbangi jarak kami.
"Iya?" balasku sambil mengulum senyuman ramah. Adab yang biasa aku lakukan pada sesama rekan kerja perempuan.
"Kenapa kalau ada acara, Mbak Runa nggak pernah ikut sih?" tanya perempuan itu, tentu membuat keningku langsung mengerut bingung.
Acara apa sih yang dia maksud, sedangkan jelas aku selalu hadir di setiap undangan yang datang padaku. Itu kalau sedang tidak ada acara keluargaku sendiri.
"Memang ada acara apa? Nikahannya siapa?" tanyaku agar dia bisa lebih spesifik menjelaskan maksudnya.
"Oh, nggak sih. Yang aku lihat tiap acara teman kantor, yang dateng cuma mas Arman aja. Semalam pun juga, Mbak Runa nggak dateng."
"Acara apa sih yang kamu maksud?" Aku makin kebingungan, rekan seperjuangan ini malah jawabannya cuma muter-muter aja.
"Emang semalem ada acara teman kantor kah?" tanyaku, lebih seperti mengejar jawaban yang pasti.
Namun, perempuan itu tidak menjawab, malah cuma senyum-senyum. Aku pun enggan membahasnya lagi karena lift yang aku tunggu pintunya sudah terbuka.
"Aku pamit, ya," ucapku kemudian padanya, seraya menutup pintu lift.
Saking tidak enaknya perasaanku, aku sangaja turun dari lift di lantai 10, tempat divisi pemasaran berada.
Aku ingin bertemu dengan Arman dan rasanya sangat mendesak sekali dalam pikiran. Aku abaikan dulu siomay yang sudah ditunggu pak bos.
Sepanjang perjalanan menembus lalu lalang pekerja di ruangan itu, aku selalu mendapat sambutan akrab dari mereka. Jujur saja, agak kaget karena bahkan aku tidak pernah berinteraksi dengan mereka.
Sebegitu terkenalkah diriku? Batinku bingung juga.
"Mungkin karena aku tangan kanan bos," pikirku dalam hati.
Oke, aku akan mengabaikannya dan menganggap itu hal yang wajar. Sebagai senior yang dekat dengan bos, harusnya aku tidak risih kalau tiba-tiba ada yang merasa kenal denganku, sedangkan aku sama sekali tidak tahu nama mereka.
"Mau nyari siapa, Mbak Runa?" panggil salah satu perempuan, yang kebetulan berpapasan denganku.
"Mas Arman ada di ruangannya?" tanyaku balik, mengungkapkan maksud kedatanganku ke sini.
"Ada, tuh di pojok sana lagi fotokopi berkas," katanya sambil menoleh ke sebuah pojok ruangan yang dimaksud.
"Oke, makasih yaa."
Aku memberikan senyuman ramah tanda terima kasih pada perempuan itu. Tampaknya memang dia cukup supel ke semua orang. Buktinya, saat aku toleh lagi, perempuan itu terlihat membantu rekan lainnya saat kerepotan membawa tumpukan berkas.
Aku mengembuskan napas, lalu kembali pada tujuanku datang ke divisi ini. Bagian dari impianku sebenarnya, bisa bekerja di bagian ujung tombak perusahaan. Tim pemasaran yang solid, visioner, dan creative pasti akan membawa dampak besar bagi kelangsungan perusahaan.
Ah sudahlah, otakku memang mentok membantu pak bos saja, bukan untuk pekerja yang membutuhkan kinerja otak yang secerdas para pekerja di divisi ini.
Aku sadar diri akan kemampuanku.
Canda tawa yang aku dengar dari bilik ruangan fotokopi membuat langkahku mulai melambat.
Di dalam sana ada mas Arman dan seorang pekerja yang memakai seragam khas anak magang. Aku bisa mengenalinya, karena dulu aku pun berasal dari sana.
Keduanya berdiri bersandingan, tertawa lepas seperti sedang berada di dalam perbincangan yang seru dan lucu.
Kebetulan mereka sedang membelakangi pintu, sedangkan aku berdiri tegap di tengah-tengah pintu, menatap interaksi itu.
Juiur saja, kemarahanku hampir saja meledak dan ingin sekali melemparkan tumpukkan map yang ada di meja sampingku ini pada dua orang itu, terutama pada calon suamiku.
Namun, tidak. Aku menggeleng, meredam tingkah kekanankan itu dengan menunggu sampai keduanya melihat keberadaanku.
"Mbak Runa, kok malah berdiri di sini?"
Perempuan yang tadi memberitahukan keberadaan Arman tiba-tiba sudah ada di belakangku.
Aku pun segera memberikan sedikit ruang agar dia bisa masuk dan menyerahkan berkas yang hendak difotokopi pada pekerja magang itu.
"Iya nih, lagi nonton drama." Aku menjawab sambil menyedekapkan kedua tanganku.
Tentu saja, suaraku segera membuat dua orang yang sedang bercengkrama seru itu segera menoleh.
Aku melihat sinyal keterkejutan yang tampak dari wajah Arman begitu melihat keberadaanku, dan dia pun segera