Bab 5. Menjaga Jarak

1420 Words
Menjaga jarak dengan perempuan di sebelahnya. Aku mencoba untuk bersikap biasa saja, seolah-olah melihat kelakuan Arman bagian dari tingkah yang normal saja. "Kamu di sini, Runa? Kok ...." Pria itu segera meraih berkas dari atas meja lalu bergerak mendekatiku. Pekerja magang itu pun kulihat sangat kebingungan dan gugup. Aku tidak tahu, apakah perempuan itu tahu kalau aku ini calon istri Arman. Lagipula, itu tidak penting juga sih, bagiku. "Kok kamu nggak bilang-bilang, kalau mau ke sini nyamperin aku?" lanjut Arman, begitu dia berada dekat denganku, lalu kami pun bergerak menjauh, meninggalkan tempat itu menuju ke ruangan Arman. "Kenapa? Apa mau berakting layaknya pekerja yang super sibuk?" balasku, menunjukkan kalau saat ini aku sangat marah padanya. "Yaelah, Sayang, kamu kenapa sih, dateng udah marah-marah aja? Pasti lagi PMS ini ya?" Arman tahu betul bagaimana sebenarnya karakteristikku yang super keras. Hidup memang mengajariku untuk tidak menye-menye saat sedang mode merajuk. Dia segera mendudukkan aku di kursi sofa, sedangkan dia segera mengambilkan minuman untukku. Mungkin dikiranya, aku akan langsung tenang kalau diperlakukan seperti itu. "Semalam ke mana? Sibuk bener sampai pesanku baru dibalas tadi pagi?" Aku menerocos, meskipun suaraku cukup lembut saat mengatakannya. "Aku ada acara, Sayang. 'kan aku sudah—" "Semalam aku lihat mobilmu memasuki loket parkir hotel di sebelahnya restoran Jepang, loh," ungkapku lugas, dan bisa aku pastikan wajah calon suamiku ini berubah pias saat menoleh ke arahku. "Heih, hotel dekat restoran Jepang yang mana, sih? Ada aja kalau ngomong!" Aku tersenyum tipis, saat dia mengelak. Membiarkan pria itu menjawab dengan segenap argumentasi dan alasan untuk menutupi acaranya semalam. Bukannya mau cari gara-gara. Tapi, apa yang tadi dikatakan rekan kantorku, membuat kepercayaanku terhadap Arman sedikit terganggu. Sebelum emosiku stabil, aku masih akan mencercanya dengan berbagai pertanyaan. "Kamu ke sini buat kasih ini ke aku?" tanyanya, merujuk pada pada barang bawaan yang aku tenteng. "Bukan. Ini titipan pak Aksara," jawabku dengan nada dingin. Arman terkekeh. Aku tahu pikirannya sedang tertuju pada tingkah pak bos kami yang terkenal suka jajan. Bagian yang sering jadi guyonan karyawan di belakang beliau. Meskipun aku tidak menyukai pak Aksara secara pribadi, tapi entah kenapa, bila mendengar ada yang nyinyirin beliau, rasanya ingin kuhajar saja mereka-mereka ini biar kapok. "Udah deh, jangan malah mengalihkan pembicaraan." Aku kembali pada tujuanku datang ke sini. Mana mau aku repot, kalau tujuanku belum tercapai. "Hotel mana sih, Sayang? Ngaco ah, kamu. Jelas-jelas aku semalam nggak ke hotel manapun. Bisa-bisanya!" Nada bicara Arman menandakan pengelakan. Oke, tidak masalah, toh sebenarnya memang aku sedang menguji reaksi dan kejujurannya saja. Semalam memang aku hanya melihat mobil Arman melintas di hadapanku, bukan seperti yang aku tuduhkan padanya. "Siapa perempuan tadi? Akrab bener, sampai ketawanya udah kayak lagi nonton stand up komedi aja," sindirku lagi, mulai tidak membahas masalah semalam, toh memang aku tidak punya bukti kalau Arman ke hotel bersama perempuan. "Yang di fotokopian tadi?" "Ya, siapa lagi? Emang ada, yang kamu ajak ngakak-ngakak kayak gitu selain dia?" "Ya Tuhan, Varuna Arindra, Cintaku. Kenapa cemburuanmu sekarang jadi level 9 gini, sih? Biasanya malah nggak ada kamu peduli-pedulinya aku mau ngapain." Terdengar gemas, itu yang berhasil aku tangkap dari caranya Arman menatap kedua mataku. Tapi, entahlah, rasa marahku belum juga membaik dan mungkin beneran efek PMS aku bisa jadi sensitif begini. "Ya, kita minggu depan mau nikah. Nggak mungkin aku leha-leha aja kayak dulu, sedangkan calon suamiku macam kucing lagi mau menggundik gini." "Gundik? Hah?" Mata pria itu langsung membelalak dan akhirnya aku pun tergelak setelah sadar yang aku katakan tadi sangat lucu, jorok, dan berlebihan. Tapi, bodo amat. Aku sudah kesal setengah mati menahan diri karena terus aja diabaikan seperti ini. "Lha gimana? Tiap malam ada acara mulu, sampai ketemu buat bahas acara pernikahan aja susahnya minta ampun." Aku bersungut-sungut saat mengatakannya. Arman yang tadinya masih sambil mondar-mandir menyusun berkasnya di atas meja pun bergegas menghampiriku. Entahlah, rasanya aku jadi menyesal sudah menerima lamarannya, mengajukan resign saat adikku kena masalah dengan mebelnya. Otakku berputar-putar, dan ingin rasanya menjerit saja saking puyengnya. "Aku minta maaf, Sayang." "Apa sebenarnya keputusan untuk menikah itu salah, ya?" Aku melontarkan kalimat yang aku pendam selama beberapa hari ini. Puncaknya semalam, saat Arman tidak bisa dihubungi, sedangkan sorenya baru saja kulihat mobilnya ada di jalanan. "Hei, aku udah melamar kamu berkali-kali lho. Masa tega sih, kamu menyesali apa yang sebenarnya selalu aku tunggu selama hubungan kita?" Pria itu duduk disampingku. Meraih jemari tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Rasa percayaku yang mulai memudar, entah kenapa tiba-tiba jadi begini. Padahal, selama tiga tahun hubungan kami, hanya masalah pekerjaan dan waktu bertemu yang membuat kami berselisih pendapat. Aku tidak pernah mempermasalahkan jaringan pertemanannya. Aku tidak pernah cemburu dengan siapa pun teman Arman. "Aku udah mengajukan resign. Sebentar lagi nggak punya kerjaan biar kamu tetep punya jabatan saat kita nikah nanti." "Iya, aturannya memang laki-laki yang wajib kerja buat nafkahin istrinya, 'kan?" Aku mengangguk, merasa keputusan itu tidaklah salah. "Kalau kamu masih pengen kerja, boleh kok kamu melamar di perusahaan yang lainnya. Aku nggak membatasi ruang gerak kamu buat berkarier." Aku mengangguk lagi, mempercayai perkataan yang selalu terlontar sama sejak awal hubungan kami. Biarkan aku yang merintis dari 0 lagi, karena aku tidak mau dipandang egois, bila meminta Arman yang berkorban kehilangan pekerjaannya. "Lagipula, kalau belum ada kerjaan beberapa bulan setelah menikah, masih patut pihak perempuan, Sayang. Daripada akunya yang nganggur. Gak elok dilihat orang, "kan?" Lagi-lagi aku mengangguk setuju. Semua yang dikatakan Arman tidak ada yang salah. Tapi, setelah keuangan usaha keluargaku sedang bermasalah, aku jadi mulai meragu bisa kuat menganggur lama-lama. "Oya, kenapa kamu ada di depan restoran Jepang? Aku sedang ada acara di restoran itu memang, tapi sebelum jam 7 aku sudah selesai. Tapi ...." Kejujuran waktunya saat berada di area itu pun sedikit melegakan diriku. Memang, benar aku melihat mobil Arman tempat jam segitu. "Kebetulan aku menemani pak Aksara menemui klien dari Jepang. Irma sakit, jadi aku yang menggantikannya," ungkapku jujur. Aku tahu, alasanku bukan dibuat-buat, karena memang kebanyakan tugas itu diserahkan pada Irma. "Aku ada meeting, bisnis kecil-kecilan, tentang kafe yang pernah aku obrolin dulu itu loh. Nah, teman-temanku pada pengen menjajaki join investasi buat bangun bareng-bareng gitu," ungkap Arman, dan aku ingat obrolan itu sempat kami diskusikan beberapa bulan lalu. "Terus, perempuan yang bersamamu semalam itu siapa?" "Hah? Perempuan yang mana lagi sih, Sayang?" Wajah Arman lagi-lagi terdeteksi kaget saat aku melemparkan pertanyaan itu. Masih saja seputar semalam dan aku tidak mungkin berhenti sampai hadir rasa kepuasan, setelah mendengarkan jawaban jujur darinya. "Perempuan yang semobil sama kamu. Apa aku harus mengajak pak Aksara jadi saksinya, soalnya dia juga lihat kamu semalam," cecarku, semakin terlihat perkataanku ini membuat Arman kian tidak nyaman. Biarin saja, karena aku ingin dia menjawab seperti yang aku harapkan. "Apa jangan-jangan perempuan yang kamu lihat itu temenku yang nebeng semalam, ya?" "Ya nggak tahu lah. Mana aku tahu ada yang nebeng mobilmu. Dihubungi aja sibuknya udah melebihi pak bos," rutukku, sambil menunjukkan wajah bersungut-sungut. "Ya Tuhan, jangan berpikiran yang enggak-enggak gitu dong, Yank! Dia cuma nebeng, kebetulan pulangnya searah." "Ya, anggap aja nebeng. Siapa pula yang tahu kalian ke mana aja semalaman suntuk," pungkasku seraya bangkit lalu berjalan meninggalkan sofa. "Sayang, kamu udah mau balik?" tanyanya terlihat gugup. Arman pun buru-buru membukakan pintu untukku. Mungkin saja membiarkan aku pergi, saking pusing dengan berbagai pertanyaanku. Bodo amat, pokoknya. Biar dia lebih berhati-hati lagi, karena aku bisa bersikap lebih kejam dari sekedar berbasa-basi seperti ini. "Kalau udah nggak emosi, ntar kita ngobrol-ngobrol lagi, ya?" Aku hanya melemparkan tatapan kesalku padanya, lalu berlalu dari sana. Kalau bukan karena kerjaan kantor, tidak akan aku lepaskan begitu saja dia. Energiku masih sangat kuat untuk bertengkar, sesuatu yang sudah lama sekali tidak terjadi antara aku dan Arman. Di sepanjang perjalanan aku menjadi pusat perhatian rekan-rekan kerja di divisi pemasaran. Tidak terkecuali si magang yang melirikku takut-takut. Ingin aku telan saja dia, kalau bukan terdesak kewajiban tampil elegan. Enak saja, asyik berhina-hihi dengan calon suami orang. "Sabar, Runa." Aku mendesah lirih saat sudah memasuki lift dan bergerak ke lantai 11 tempat ruanganku berada. Sesampainya di ruangan, aku langsung mendekati Irma. Dia sangat konsen menatap layar monitor yang ada di depannya. "Bos masih di dalam?" bisikku padanya. "Hem? Iya, langsung masuk aja. Dia tadi baru aja nanyain kamu," jawab perempuan itu, tanpa menoleh sama sekali padaku. Okelah, aku langsung masuk aja pikirku, sambil melirik jam tangan. Mungkin ada keterlambatan sepuluh menitan. Moga aja moodnya sedang baik, jadi aku tidak perlu banyak mencari alasan, kenapa aku harus terlalu lama di luar. "Pak, permisi! Saya ingin antarkan pesanan Bapak," ucapku seraya mengetuk pintu dan membukanya perlahan. Pak Aksara membenarkan letak kacamatanya saat menoleh ke arahku, lalu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD