menjauhkan dirinya dari layar monitor saat aku bergerak mendekat.
Aku meletakkan pastik berisi dua kardus makanan itu ke atas meja, masih belum sanggup membalas tatapannya. Aku pun menundukkan pandangan.
"Maaf, harus menunggu agak lama."
"Kamu naik lift, 'kan?"
"Hah? I-iya, Pak. Saya naik lift," sahutku, mulai tergagap karena rasa bersalah.
Pria ini nyatanya memang tidak sedang dalam mood bagus pagi ini. Wajahnya terlihat jutek lagi.
Kalau aku ingat-ingat semalam, sebenarnya pertemuannya dengan klien sangat mengesankan.
Wajahnya pun cerah saat mengantarku pulang. Tapi, sepertinya kepribadian yang terus saja berubah-ubah ada padanya. Nyatanya, efek semalam tidak berimbas baik pada suasana hatinya pagi ini.
"Aku tadi sampai menelepon pihak sekuriti lho."
"Kenapa, Pak?" sahutku sambil mendongak menatap ke arahnya.
Aku dibuat menahan napas saat pak Aksara mulai bergerak dari kursi sambil melepaskan kaca matanya.
Apalagi saat ia mulai berjalan memutari mejanya dan berhenti tepat berada di sebelahku
Saat ia memfokuskan pandangannya padaku. Sumpah, aku dibuat grogi setengah mati. Wajahku kian tertunduk lagi, karena dia seperti telah melubangi wajahku, hanya dengan tatapan matanya.
"Kirain kamu tersesat di tangga darurat, atau siapa yang tahu kalau kamu kebablasan sampai di landasan helipad," ujarnya sambil mendengus.
Aku bisa merasakan aura kekesalan itu. Hingga ingin membalas perkataannya saja, lidahku rasanya kelu. Aku memilih diam saja. Mendebat mungkin hanya akan membuatnya semakin jengkel.
Pak Aksara mengambil dua bungkusan yang sengaja aku letakkan di atas meja. Setelah menatap tajam ke arahku, ia segera beralih menuju ke arah sofa.
Dia duduk di tempat biasanya menerima tamu.
Aku hanya melirik sepintas. Bingung antara undur diri, atau tetap berdiri di sana seperti patung.
Biasanya, pak Aksara akan menyuruh pergi, kalau memang sudah tidak ada yang harus dikerjakan lagi.
Namun, rasanya saat ini aku seperti sedang dikerjain, karena sampai beberapa detik menunggu, perintah itu tidak kunjung diucapkan.
"Duduk. Kenapa kamu malah diam saja di sana?"
"Iya, Pak?" sahutku sambil menoleh, melemparkan tatapan tanda tanya padanya.
Maksud duduk itu kembali ke ruanganku, atau bagaimana. Rasanya bingung sendiri, karena pak Aksara memang seringkali bersikap sangat ambigu.
"Duduk di sini. Makan ini yang sebungkus. Terlalu dingin untuk dimakan sendirian," katanya, sambil membuka bungkusan yang ada di hadapannya, sedangkan tangan satunya mendorong satu bungkus lainnya, ke sisi seberang.
Aku mengelap keringat yang menetes pada keningku dengan jemari tangan. Sebenarnya ruangan ini cukup dingin. Tapi, entah kenapa jadi gerah begini. Mungkin saking gugupnya harus mendapat kekesalan pak bos seperti ini.
"Hih, gara-gara Arman, aku harus hilang kendali seperti ini," geramku dalam hati.
Aku memaksakan senyuman saat mendekat dan mulai duduk di sofa berseberangan dengan pak Aksara.
Sebenarnya nafsu makanku hilang sejak semalam. Pagi tadi pun aku melewatkan sarapan. Perutku sebenarnya tidak bisa menerima makanan berbahan dasar tepung, tapi akan aku paksakan agar pak bos tidak sampai memarahiku.
"Sekali lagi, maaf, Pak. Tadi saya ...."
"Makan dulu, baru bicara."
"Baik, Pak."
Aku segera menikmati siomay dan mulai menikmatinya. Perutku lapar, sampai-sampai tidak terasa aku mulai menghabiskan telur dan rebusan kentang bagianku.
Aku tidak melirik pak Aksara sama sekali. Ingin segera menyelesaikan ini dan keluar ruangan secepatnya.
Pekerjaan kami banyak dan aku tidak mau membuat Irma merasa kesal karena aku terlalu sering meninggalkan meja kerjaku.
"Lumayan juga," kata pak Aksara singkat.
Aku mendongak sejenak, melirik ke arah siomay miliknya. Ternyata sudah tandas tidak bersisa.
Aku tertawa dalam hati. Bisa-bisanya, bos seperti dia tapi masih memiliki selera makan ala rakyat biasa seperti itu.
Tapi, begitu aku mengingat, bahwa pak Aksara hanyalah keponakan pak Ambara, aku pun yakin kalau sebenarnya beliau ini tidaklah termasuk jajaran orang kaya, sama seperti pak Ambara.
"Boleh saya permisi, Pak? Ini makanan saya sudah habis," pamitku segera, setelah tahu pak Aksara tidak punya alasan lagi untuk menahanku di sini.
"Hm."
Kutoleh kepindahannya menuju mejanya lagi. Kesempatan merapikan meja pun segera aku ambil secepat mungkin.
Setelah dirasa semua sisa kotoran sudah bersih, aku segera undur diri dan bergegas ke kamar mandi sesampainya di luar.
Perutku bergolak tidak karuan. Hampir pingsan rasanya karena kekenyangan, sedangkan aku tidak mampu makan dalam porsi besar—saat sarapan.
"Makin lama dekat pak Aksara, rasanya makin mau mati jantungan rasanya," keluhku sambil membasuh mulutku dengan air.
Riasanku masih sempurna, untung saja. Tidak mungkin aku menambal riasanku, sedangkan meeting akan segera dilakukan beberapa menit lagi.
Rasanya menyesal, sudah nyamperin Arman sampai ruangannya. Dapatnya pun tontonan yang bikin tensiku naik seketika.
"Awas aja, kalau dia masih berhiha-hihu sama perempuan muda itu, aku patahin semua atm-nya, biar tahu rasa!" geramku sambil menatap pantulan wajahku dari cermin.
Usiaku sudah tiga puluh tahun. Waktu yang panjang untuk menjadi dewasa, bukan?
Pola hidup sehat memang wajib mulai dijalankan, agar wajahku ini awet muda.
Melihat sekeliling Arman merupakan peserta magang yang centil dan cantik mengemaskan, harusnya memang tidak boleh aku terlalu menganggap enteng pertemanannya.
Aku jadi mulai takut, kalau tiba-tiba berubah jadi perempuan pencemburu, karena merasa tidak punya privilleg karier yang mapan.
"Kamu diapain sama pak bos tadi?"
"Heih, ngagetin aja sih?" keluhku, hampir saja menangis saking kagetnya.
Tiba-tiba saja Irma sudah ada di sebelahku, mencuci tangannya sambil memperhatikan riasan wajahnya dari pantulan cermin.
Aku malas membicarakan pak Aksara, dan memilih untuk mengeringkan tanganku dengan mengulurkannya pada mesin.
"Acara semalam lancar, 'kan?" Irma bertanya lagi dan aku tebak sedang membicarakan tentang meeting pak Aksara dengan klien dari Jepang semalam.
"Lancar, kalau dilihat dari interaksi mereka sampai pamitan pulang," sahutku tanpa menunjukkan antusias untuk bercerita.
"Aku semalam ada acara keluarga, jadi terpaksa deh ...."
Perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu mengukir senyuman saat menoleh ke arahku. Tampak dia menaikkan pundaknya, sebagai isyarat agar aku memaklumi alasannya yang pura-pura sakit.
Aku pun mengangguk mengerti. Lagipula, selama ini memang dialah orang yang sering banyak mengambil alih pekerjaan, lebih daripada aku.
Untuk menemani meeting ke luar kota pun, Irma yang lebih sering pergi, sedangkan aku cukup menghandle pekerjaan di kantor.
Aku tidak akan mempermasalahkan soal semalam, toh tidak ada yang dibuat kerepotan atas alasannya enggan melakukan tugas dari pak Aksara.
"Katanya semalam ada acara kantor, ya?" tanyaku sambil berjalan beriringan dengannya keluar dari toilet.
"Acara apa?"
"Nggak tahu. Tadi ada rekan dari lantai satu yang bilang. Aku dicariin nggak ada, padahal Arman juga datang ke sana. Emangnya ada acara apaan sih, sampai-sampai cuma kalian-kalian aja yang diundang."
"Lho, aku malah nggak tahu, acara apa yang kamu omongin ini. Boleh kamu tanya lagi sama dia, acara apa yang dia maksud."
"Oke, ntar aku tanyain kalau ketemu lagi sama dia," sahutku, menyudahi pembicaraan ini karena kulihat Irma tidak begitu nyaman dengan topik ini.
"Acara nikahan kamu gimana? Nggak butuh bantuanku kah?"
"Ah, apaan. Cuma sederhana dan 90% aku serahin ke wo. Tinggal mempersiapkan mental aja buat ijab qobulnya," sahutku sambil setengah tertawa.
Lucu juga, membayangkan beberapa hari lagi mau nikah, tapi bila dilihat semua tampak normal-normal aja.
"Okay, moga lancar ya, Bestieku," ucap Irma dan aku menerima pelukan hangatnya.
Rasanya senang dapat dukungan semanis ini. Mungkin banyak yang akan datang memberikan ucapan selamat, kalau saja aku setuju untuk melaksanakan resepsi pernikahan di aula hotel misalnya.
Tapi tidak, aku nggak mungkin kuat. Bapakku sudah tiada dan aku nggak mau membebani ibuku dengan biaya pernikahan. Mengenang bagaimana kerja keras bapak semasa hidup, bisa saja membuat kami nanti pingsan.
Lagipula yang menikahkan aku nanti pakdheku, atau bisa juga adek kandungku. Aku nggak mau sedih dan menangis di hadapan puluhan tamu, yang sebagian besar isinya keluarga besarku.
***
Sepulang kerja aku langsung datang ke rumah Budhe. Di sana anak perempuannya yang mengerjakan pakaian pengantinku.
Kebaya modern dan itu sangat indah sekali.
Aku tahu, dia menjahitnya dengan perasaan cintanya padaku. Aku langsung memeluknya dengan mata berkaca-kaca, begitu melihat penampilanku saat memakai kebaya itu.
"Makasih, Sayang," ungkapku penuh haru.
"Ini spesial hadiah pernikahan dariku untuk kamu," balasnya, terlihat sangat tulus dari pancaran matanya.
"Arman mana, Nduk? Kok nggak ikutan datang? Jasnya udah budhe siapin, sepasang sama kebaya kamu."
Budhe masuk ke bilik ruangan tempatku mencoba kebaya pengantinku. Membawa sepasang jas, masih rapi dihanger berlapis plastik baru.
Rasanya terharu dan rasa syukur pun terpanjat saat menyadari aku masih memiliki keluarga sebaik budhe dan pakdhe.
"Ntar aku telepon, Budhe. Biar langsung ke sini sepulang kerja."
"Kamu cantik banget, Nduk. Pantas aja, tetangga seberang gang itu nanyain kamu mulu."
"Heleh, apaan sih, Budhe."
Aku langsung menutup wajahku dengan jemari tangan saking malunya.
Pakdheku selalu cerita kalau ada salah satu anak tetangga yang naksir dan sering kirim salam untukku, tapi aku nggak ada niat buat menggubris, karena sudah berpacaran dengan Mas Arman.
"Aku telepon mas Arman dulu, ya, Budhe. Biar sekalian bisa memantaskannya sama kebayaku."
Aku pamitan keluar dari bilik seraya menenteng tasku. Benar juga, harusnya fitting dilakukan barengan. Kenapa pula cuma aku yang repot.
Setelah menunggu panggilan ke tiga, akhirnya panggilanku diangkat. Suara bising pun terdengar, aku yakin mas Arman masih dalam perjalanan.
"Hallo, Mas. Disuruh ke rumah Budheku buat fitting jas yang kita pesan beberapa bulan lalu," ucapku, tanpa menunggu dia membalas sapaanku.
"Awwhh ...."
Suara lengkingan perempuan segera tertangkap indera pendengaranku. Namun, kemudian panggilan itu terputus sebelum aku mengeluarkan suara lagi.
"Mas, hallo!"
Aku memastikan panggilanku masih tersambung, tetapi nyatanya sudah dimatikan.
"Apaan sih?" gumamku disertai deru nafas yang hampir kembang kempis saking kagetnya.
Aku mencoba untuk