Bab 8. Tuan Malaikat

1367 Words
"Kalian butuh bantuan?" tawar pria itu, berbicara padaku. Tingginya yang menjulang membuatku harus mendongak, demi bisa melihat wajahnya. Untung saja, dia segera duduk berjongkok Memastikan kesadaran anak SD yang bersamaku dengan meraih dahinya. Setelah aku mengusap kedua mataku yang berembun karena hampir menangis, ternyata orang yang berjongkok hadapanku adalah pak Aksara. Hampir-hampir saja aku meraung menangis di hadapannya. Betapa sangat lega rasanya, begitu melihat dia ada di sini bersamaku. "I-iya, Pak! Anak-anak ini ... mereka terluka." Aku mengemukakan permohonanku dalam gemetar kepanikan. Rasa senang bercampur cemas melebur jadi satu. Sampai-sampai rasanya bingung sendiri, bagaimana caraku memohon bantuan yang benar padanya. "Ayo, bawa anak-anak ini naik mobilku. Aku yang akan antarkan mereka ke rumah sakit," ucapnya tegas dan menyakinkan. Buru-buru aku mengangguk setuju. Membiarkan salah satu lelaki muda yang berada bersama anak yang hampir pingsan itu membantu memapah anak yang bersamaku, sedangkan pak Aksara yang mengambil alih dengan membopong anak yang hampir pingsan itu dan membawanya ke dalam mobil. "Sabar, ya? Mamamu udah perjalanan ke rumah sakit," ucap pak Aksara ketika mendudukkan anak itu ke permukaan jok belakang. Dia mengarahkan pada dua pemuda tadi untuk ikut dan menjaga anak itu di belakang, sedangkan aku memangku anak yang bersamaku di jok depan. Kami meninggalkan lokasi itu, yang kemudian ramai disusul para warga sekitar, setelah kami menaikkan korban ke dalam mobil dan akan membawanya ke rumah sakit. "Makasih ya, Pak. Apa yang bisa saya lakukan kalau nggakada Pak Aksara," ungkapku di tengah-tengah perjalanan, karena suasana tampak kaku. Kedua anak itu terus mengeluh sakit, sedangkan pak Aksara tampak serius menyetir. Bangunan rumah sakit sudah terlihat, rasanya sangat lega. Semoga saja tidak ada luka yang serius. Mau bagaimanapun, mereka hanya anak-anak sekolah yang sudah berada di jalur yang benar. "Kamu sudah bertindak sangat keren," lontar pak Aksara, setelah tidak menanggapi ucapan terima kasihku beberapa manit lalu. Kemungkinan memang dia sangat ingin sampai di rumah sakit dengan cepat, sehingga tidak mau bercakap-cakap, yang bisa saja membuatnya tidak fokus pada laju kendaraannya. Aku tidak menjawab, hanya diam memandang anak dalam pangkuanku. Kaki dan lengannya masih mengeluarkan darah dan kemungkinan membutuhkan beberapa jahitan. Sesampainya di IGD, anak-anak segera mendapatkan perawatan. Pak Aksara tampak sigap atas segala penjelasan para dokter dan petugas medis. Wibawanya terlihat sangat berbeda, lagi-lagi bila aku kaitkan dengan kebiasaannya yang aneh-aneh selama menjadi atasanku. Aku jadi mulai berpikir bahwa sebenarnya dia emang pria yang baik. Atau, apa mungkin pak bos memiliki kepribadian ganda, ya? Sepanjang perawatan di IGD, aku disibukkan dengan memandang semua ekspresi pak Aksara, saat mencoba menenangkan bocil-bocil itu agar tidak takut pada tindakan para dokter. Untung saja orang tua mereka segera tiba. Tanpa punya kesempatan untuk menuduhku sebagai penabrak, karena pak Aksara langsung yang menemui, sekaligus menjelaskan kejadian yang menimpa anak-anaknya. Aku menunggu di ruang tunggu, karena tidak enak pergi tanpa pamitan pada pak Aksara. "Kukira kamu sudah pulang." Pak Aksara menyerahkan sebotol air mineral dingin padaku. Aku menerimanya sambil hendak berdiri, tetapi aku urungkan setelah menyadari bahwa bosku ingin mengobrol dulu denganku. "Terima kasih, Pak," ungkapku seraya membuka segel plastiknya lalu mulai memutar-mutar dengan sekuat tenaga tutup botolnya. Entah, apakah kutukan payah memang hadir setiap kali berada di sekitar pak Aksara. Nyatanya, usaha membuka tutup botol itu seakan menjadi bukti lanjutan atas kegagalanku. Aku terpaku saat merasakan jemari tangan pak Aksara mengambil alih botol minumanku. Hanya butuh satu putaran yang pasti segel itu terlepas dari tempatnya. Bukan cuma itu saja, bahkan dia sampai membukakan tutupnya agar aku bisa segera meminum, dan melenyapkan dahaga yang aku tahan sejak tadi. "Terima kasih," ucapku lagi, entah untuk yang keberapa kali. "Kamu sudah menghubungi orang tuamu? Ini sudah jam tujuh malam." "Sudah, Pak." "Laper nggak?" "Hah? Ah, nggak." Aku langsung menggeleng. "Saya langsung pulang aja, kalau memang orang tua anak-anak itu tadi sudah datang. Saya hanya ingin pamitan sebelum pulang, sekaligus ...." Aku menghentikan ucapanku begitu melihat betapa fokusnya mata pak Aksara saat aku bicara. Sudah menjadi adabnya memang, memberikan atensi khusus pada siapapun yang menjadi lawan bicaranya saat meeting dengan klien, atau bertemu beberapa relasinya. Tapi, ini aku. Bukan para klien ataupun relasinya. Harusnya, aku tidak usah diperhatikan seintens itu, sehingga suaraku tiba-tiba lenyap saking groginya dipandangi seperti itu. "Sekaligus apa?" "Hah?" Aku menunduk malu saat mendapati ukiran senyuman tipis menyembul dari bibirnya. Aku kebiasaan bicara cepat, tetapi ketika terdistraksi sesuatu yang mengganggu, semua yang hendak aku kemukakan bisa lenyap begitu saja. Itulah kenapa, kerap kali bosku yang lama— pak Ambara, memberiku tempat di belakang layar dan mempersilahkan Irma mengambil alih tugasku saat harus tampil di muka umum. "Sekaligus saya pamit, karena besok hari terakhir saya bekerja sebagai asisten pribadi Anda, Pak," lanjutku lirih dan terasa berat saat mengatakannya. "Kamu resign mulai lusa, ya?" "Iya, Pak. Sebenarnya ada waktunya besok saya pamitan. Tapi, entahlah ... mungkin secara pribadi saya lakukan sekarang saja, siapa tahu, besok saya terlalu sedih saat pamitan sama teman-teman, sehingga saya lupa ke ruangan Anda." "Oke, baiklah. Aku terima pamitanmu." "Terima kasih, Pak. Maaf kalau selama ini saya nggakbekerja secara maksimal saat menjadi bawahan Anda." Aku membungkukkan setengah badan, kemudian pamitan pulang setelahnya. Aku tidak menoleh lagi ke belakang, menerobos pintu IGD dan langsung menyetop taksi yang kebetulan ada di depan rumah sakit. Motor aku titipkan di toko sekitaran kejadian kecelakaan tadi dan sekarang sudah diambil adikku. Untung saja aku kepikiran sampai di sana. Jadi, aku tenang meskipun lama ada di igd untuk menemani anak-anak tadi. Aku tidak tahu, bagaimana pak Aksara tiba-tiba ada di sana dan kebetulan melihatku. Membantuku melewati hari ini yang sangat melelahkan, setelah dihajar habis-habisan oleh sikap mas Arman yang menyebalkan di hari-hari menjelang pernikahan kami. Sesampainya di rumah, aku memeluk ibuku dan menumpahkan gemetar rasa panik yang tadi terus aku pendam saat membantu menyelamatkan anak-anak di jalan. Elusan tangannya selalu sanggup menenangkan aku. Wildan juga mengusap rambutku dengan jemari tangannya yang panjang-panjang dan kokoh. Mengingatkan aku pada sosok ayah yang aku rindukan setiap waktu. "Calon pengantin nggak boleh sering nangis. Ntar bentuk matanya jelek kalau dirias," goda adikku sambil ikut nimbrung duduk di sebelah ibu. "Anak-anak kesakitan dan nggak ada yang bantuin. Kalau Mbak tinggalkan mereka, rasanya gak tega." "Orang baik memang beda ya cara pikirnya. Padahal kalau sampai dituduh nabrak, bisa-bisanya bukan ucapan terima kasih, sialnya malah dimaki-maki suruh tanggung jawab pengobatan." "Orang baik selalu ketemu sama orang baik, wlee!" Aku menjulurkan lidah pada adekku. Tentu saja, anak bungsu ibukku berusia dua puluh tiga tahun itu langsung menggamit gemas tubuhku, hingga aku harus mencubit pinggangnya agar lekas dilepaskan. Meskipun dia adikku, perawakannya lebih tinggi besar, sehingga aku dibuat tidak berkutik di hadapannya. Jeritan tawaku diiringi tawa renyah ibuku. Mau bagaimana, aku tahu bahwa kekuatan yang membuat wanita yang melahirkan kami itu tetap tegar, adalah kekompakan kami sebagai anak-anaknya. Wildan segera melepaskan aku lalu beringsut mundur demi menghindar dari cubitan mautku yang sangat ganas pada perutnya. *** Pagi harinya. Pihak WO yang aku sewa sudah memastikan acara untuk akad sudah siap. Aku berangkat kerja hanya sampai setengah hari saja. Itu pun sebagian besar aku gunakan untuk pamitan di sela-selanya. Pak Aksara tampak biasa saja, dan membiarkan aku melakukan akhir tugas bekerja di sana tanpa menimpakan pekerjaan yang aneh-aneh lagi. Tidak ada permintaan mengambilkan jajanan, atau sekadar menukarkan kuponnya ke toys store di jam istirahatku. "Baik-baik ya, sebagai istri idaman," ucap Irma, diakhir kepergianku setelah selesai membereskan barang milikku. "Seringlah berkunjung kalau liburan, ya?" ucapku basa-basi. Kami pun berpelukan sejenak untuk melepaskan rasa kehilangan. Entahlah, ringan saja ternyata kakiku saat melangkah meninggalkan perusahaan yang telah tujuh tahun ini menjadi tonggak ekonomi bagi kehidupanku. Wildan menjemput di luar lobi, terlihat dari dalam lobi, dia bercengkrama dengan mas Arman. Beberapa kali kulihat keduanya saling melepaskan tawa dan aku tidak tahu topik pembicaraan apa yang sedang dilakukan keduanya. "Hai?" Aku langsung menyapa ketika sudah berada dalam jarak dekat dengan mereka. Arman langsung menyentuh pundakku dan Wildan pun menata barang bawaanku ke dalam mobilnya. Tidaklah mewah, hanya transportasi biasa, sebagai penunjang kebutuhan bila ada pekerjaan ke luar kota. "Sampai ketemu besok di acara akad kita," bisiknya, hampir saja mencium pipiku. Untung saja aku langsung menghindar, karena kontak fisik seperti itu emang terlarang bagiku. Apalagi kami ada di tempat umum. "Sabar, mulai besok bebas kamu mau apakan aku," bisikku sambil mengedipkan mataku. "Oke, Cantik." Mas Arman merekahkan senyumannya, dan ekspresi nakal itu berhasil membawa gelenyar berbeda pada diriku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD