Bab 9. Kemelut

1136 Words
Aku memang selama ini membatasi hubungan kami, karena aku tidak nyaman dengan kontak fisik melebihi bergandengan tangan. "Jangan lupa, hari ini langsung pulang ke rumah Budheku, ya?" pesanku, tidak ingin dia menghancurkan acara besok karena jasnya ada masalah. "Siap, Sayangku!" Aku melambaikan tangan padanya dan membiarkan Wildan menyetir, membawaku pulang. Besok pagi adalah hari spesial yang akan menjadi sejarah bagi hidupku. Rasanya bahagia bisa bersanding dan mengubah status dari perawan menjadi istri kekasihku. Ah, aku sudah tidak sabar bisa bebas berpe*lu-kan. Keinginan yang selalu aku pendam sebagai perempuan normal, akan aku lampiaskan di malam pertama pernikahan kami nanti. *** Hari ini adalah hari bahagia yang sudah aku tunggu-tunggu. Temannya Indah sudah selesai merias wajahku. Kebetulan Indah punya kenalan seorang make up pengantin yang cukup terkenal. Aku langsung setuju begitu melihat hasil riasannya di sebuah media sosial miliknya. Memang sebagus itu, aku sangat puas karena dipadukan dengan kebaya hasil buatan sepupuku, nyatanya bikin pangling sebagian besar keluargaku. Mata Ibuku tidak berhenti berkaca-kaca. Haru selalu mewarnai hati perempuan itu bila melihat diriku. Aku tidak bisa menegur, karena bisa jadi itu bagian dari rasa syukur karena mampu menghidupi kami sampai seumur ini. Adikku Wildan pun terlihat gagah. Dia menemani ibu, membersamai saat sanak keluargaku datang untuk memberikan restu. Pakdhe yang akan menikahkan kami nanti, sebagai wakil bapak yang telah tiada. Budhe dan sepupuku terlihat bahagia juga, beberapa kali membantu merapikan tata letak Kebayaku yang sedikit kurang pas dipandang mata. "Keluarga temanten laki-laki sudah datang," ujar Wildan, begitu datang dari luar dan menyembul ke dalam ruangan riasku. Aku semakin deg-degan, membayangkan hari ini benar-benar bukan mimpi semata. Aku akan menikah dan disaksikan sebagian keluarga besarku. Tidak ada rekan kerja yang aku undang, karena memang aku tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun. Keputusan ini aku ambil, agar tidak membebani ekonomiku di kemudian hari, saat mereka mengundang saat gantian menikah nanti. "Nduk, nak Arman nggak ikut dalam rombongan keluarganya. Katanya dia semalam mau ke sini pakai iringan mobil sendiri," ungkap ibukku sambil membisikkan di telingaku. Aku langsung menolehkan kepala pada dinding kaca yang memisahkan antara ruang tata rias dengan aula tempat kami nanti melaksanakan ijab qobul. Walau aku bisa melihat acara di luar, tetapi bagian luar tidak bisa melihat apapun yang ada di ruangan kami. "Ibuknya mas Arman yang bilang begitu, Buk?" tanyaku ingin memastikan. "Iya." Aneh, padahal semalam mas Arman tidak ngomong apa-apa. Terakhir berkomunikasi setelah dia bilang selesai menjajal jas dan memujinya bagus. Selain memang kami tidak boleh bertemu di malam menjelang pernikahan, mas Arman memang ada undangan khusus dari teman-teman kuliahnya. Entah kenapa, hatiku kian resah saat melihat penghulu yang hendak menikahkan kami malah sudah datang. "Coba aku hubungi mas Arman dulu, Buk," putusku, sambil memberikan isyarat pada Indah agar mengambilkan ponselku yang ada di dalam tas. Indah menyerahkan tas kecil padaku. Keresahan yang semakin menjadi-jadi saat resletingnya sedikit macet. "Tenangkan hatimu, Mbak," ucap Wildan, ternyata dia masih berada di sampingku. Menepuk-nepuk pundakku agar aku bisa sedikit tenang. Aku melemparkan senyum padanya, mengedipkan mata sebagai tanda terima kasih atas dukungannya. Setelah mengembuskan napas, menetralkan rasa gemetar hatiku, akhirnya aku berhasil membuka tas lalu menarik ponsel dari dalam. Nomor kontak mas Arman menjadi angka favorit nomer satu, sehingga mudah saja mendapatkan kontaknya, meski desir rasa cemas hadir begitu kuat. "Gimana?" Pertanyaan ibukku mengalihkan rasa tenang yang sekuat hati aku pupuk, selagi menunggu panggilanku tersambung. Namun, entah sudah yang keberapa kalinya aku mencoba, nyatanya nomer mas Arman dinonaktifkan. "Nduk?" Ibukku mulai panik. Wajahnya memang tidak bisa menyembunyikan ekspresi itu. "Nggak aktif, Buk," jawabku sambil menggeleng lesu. Rasanya aku ingin menangis, tetapi aku masih mengusahakan agar air mata tidak ada yang jatuh hingga merusak riasanku. Aku wajib berpikir positif. Bisa saja dia terjebak macet dan ponselnya lupa tidak dicharger saking sibuknya semalam. Tatapan menguatkan dari orang-orang di sekitar membuat aku kokoh. Tidak mengapa, menunggu beberapa menit lagi. "Aku akan bilang pada penghulu untuk menunggu beberapa saat lagi," putus Wildan sambil keluar dari ruangan. Aku bisa melihat rona merah pada kedua matanya. Aku tahu, bebannya pun berat karena menjadi lelaki satu-satunya di dalam keluargaku, menggantikan sosok bapak. Bangga sekali rasanya, melihat dia tumbuh menjadi sosok laki-laki yang kuat dan mandiri. "Coba, hubungi lagi, Mbak. Mana tahu sekarang sudah aktif," pinta Indah, seraya mendekat dan mulai menarik kursi lalu duduk di sebelahku. "Coba kamu aja. Aku tidak kuat menahan debaran jantungku," ucapku beralasan. Indah mengambil alih ponselku dan mulai mendengarkan bunyi dengung yang menandakan bahwa ponsel yang dihubunginya tidak berdering. Entah, raut geram bercampur frustasi juga mulai muncul mewarnai ekspresinya, saat mencoba untuk menghubungi nomor Arman lagi dan lagi. "Padahal semalam dia seneng-seneng aja lho waktu nyobain jasnya. Malahan dibawa sama dia buat langsung mau dipakai dari rumah." "Hah?" Aku kaget mendengar penuturan Indah. Tidak disangka jasnya malah sekarang sudah ada pada Arman. Kepalaku pun mulai nyut-nyutan, karena kemungkinan besar maagku kambuh lagi. "Ya Allah, terus gimana ini? Para tamu udah mulai capek nunggu." Aku menoleh pada dinding kaca, memperlihatkan betapa kacaunya keadaan di luar. Anak-anak kecil yang diajak mulai menangis karena bosan. Penghulu pun beberapa kali mengecek jam pada pergelangan tangannya, bisa jadi sudah punya jadwal ke pernikahan selajutnya. Tubuhku pun mulai lemas, setelah aku yakin bahwa pernikahan ini bisa saja gagal terlaksana. "Nduk, keluarga calon suamimu ingin masuk buat ketemu." Pakdheku masuk ruangan, di belakangnya tampak calon ayah dan ibu mertuaku, bersama adik perempuan Arman juga. Selama ini hubungan kami cukup baik dan tidak ada masalah. Restu itu pula yang membuat awet hubungan kami, hingga yakin melanjutkan perjalanan kisah kami sampai ke pernikahan. "Bu, Pak," sapaku lirih, seolah sudah tidak berdaya untuk berbicara lagi. "Arman semalam bilang langsung ke sini, kok. Kalian tidak sedang bertengkar atau apa, 'kan?" "Hush! Ini malah ngomongin apaan sih? Jelas-jelas kemarin waktu datang buat jajal jas, nggak ada itu raut wajah marahan sama Runa." Budhe yang sejak tadi diam pun angkat bicara, dan aku sangat bersyukur karena aku tidak punya daya lagi untuk menjawab pertanyaan calon ibu mertuaku. Aku merasa terhina, hingga membela diri saja seperti tidak punya kekuatan. "Ya maaf, soalnya kami pun merasa Arman tidak aneh-aneh kok," tukas calon ibu mertuaku kemudian. Aku masih enggan berkomentar. Pernikahan ini entah mau dibawa ke mana. Rasanya aku pasrah saja, apapun keputusan pakdheku. "Jadi gimana? Kamu hubungi dong anakmu, jangan bikin gaduh di acara nikahannya sendiri!" Pakdhe mulai angkat bicara. Suasana luar pun semakin tidak terkondisikan, hingga aku lihat mulai banyak keluargaku yang terpaksa pulang karena anak-anak mulai menangis. Beberapa di antaranya pamit pada budhe atau ibukku. Beberapa lainnya langsung keluar karena anak-anaknya sudah berteriak tantrum. Melihat kekalutan itu, aku pun sudah hilang kepercayaan diri. Kemungkinan terburuknya, Arman mengalami kecelakaan saat menghadiri acara teman kampusnya semalam. "Ya Allah, jangan biarkan ada apa-apa dengan mas Arman," bisikku dalam hati. Masih berusaha untuk berpikir positif, siapa tahu memang sekarang ini calon suamiku sedang dalam perjalanan. "Apa kita batalkan saja pernikahannya?" ucap Pakdheku dan kalimat itu berhasil membuat kedua mataku terpejam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD