Bab 10. Di Ambang Batal

1140 Words
"Tunggu dulu. Kami masih berusaha buat menelpon Arman. Aku juga mulai menanyakan teman-temannya yang ngajak dia pergi semalam," ungkap calon ibu mertuaku sambil mondar-mandir, tangannya tidak henti-hentinya mencolek layar. Aku tahu, dia masih berupaya agar anaknya segera membalas menghubungi. "Bolehkah aku menangis?" keluhku dalam hati. Sudah tiga jam berlalu dan suasana di luar tampak mulai sepi. Untung saja pak penghulu masih setia menanti. Bisa saja, beliau masih mengupayakan kesempatan pengantin pria datang. Aku memilih untuk membisu. Membiarkan tugas menghubungi ponsel mas Arman dilakukan keluarganya sendiri. Tidak jadi menikah pun tak apa. Lagipula, tinggal beberapa keluarga dekat kami saja yang tersisa. Setidaknya, aku tidak begitu menanggung malu bila keluar dari ruangan ini dalam keadaan gagal menikah. Bunyi notifikasi dari ponselku berhasil membuat seluruh keluarga yang menemaniku di ruangan rias tertuju padaku. Aku membuka mata lebar-lebar, menguatkan diri agar jangan sampai menjatuhkan setetes air mata pun, sebelum segalanya menjadi jelas. Sebenarnya apa yang terjadi pada Arman. Tanganku segera meraih benda itu dari atas meja rias, lalu mendapatkan pesan dari kontak mas Arman. Hatiku hampir saja melonjak saking leganya, setelah meyakinkan bahwa pesan notif foto dan video itu bukan berisi spam dari operator. Wajahku mulai cerah saat mulai membukanya. Berharap kabar baik yang diberikan calon suamiku, dan penundaan pernikahan kami bisa dilanjut lagi. Namun, saat aku mulai berhasil membuka satu persatu foto yang terkirim untukku, jantungku seperti berhenti berdetak, kepalaku bagai tertimbun longsoran tanah dan tanganku mulai gemetaran hingga ponsel itu hampir saja terjatuh. "Kenapa kamu diam saja? Apa yang dikatakan Arman?" desak calon ibu mertuaku. Untung saja, sebelum ponsel itu benar-benar terjatuh, Wildan mengambil alih dari tanganku dan membuka pesan itu beramai-ramai bersama keluarga yang lain. "Ya, Tuhan, Arman!" sentak ibu mertuaku sambil membelalak saking kagetnya. Perempuan itu berlari meninggalkan ruanganku sambil menangis histeris. "Batalkan saja pernikahannya," ucapku dengan nada tegas. Tidak ada air mata setetes pun yang jatuh. Aku menahannya sampai rumah nanti, jika mampu. Aku harus kuat, agar ibu dan seluruh keluargaku tidak sedih melihat begitu buruknya nasibku. Keluarga calon suamiku buru-buru pergi, meninggalkan gedung pernikahan ini dalam keadaan yang sulit dijabarkan. Ibunya Arman menangis meraung-raung dan sukar ditenangkan. Aku tahu sebenarnya keluarganya pun terpukul atas apa yang dilakukan anaknya. "Kurang ajar dia! Setuju, kita batalkan saja pernikahan ini. Nggak sudi aku punya kakak ipar b***t seperti dia!" Untuk pertama kalinya aku melihat adikku emosi. Ponselku pun tidak dikembalikan lagi agar aku tidak bisa melihat lanjutan video di bawahnya. Penampakan foto-foto berbagai pose bug-gil mas Arman bersama perempuan di sebuah kamar villa membuat dentuman hebat dalam dadaku. Darahku mendidih, senyar kemarahan berhasil membuat kekuatanku berlipat-lipat untuk tidak ambruk dan menangis di tempat ini. Aku tidak tahu, siapa sebenarnya yang mengirimkan foto-foto dan vidio ini padaku, karena nomornya memang milik mas Arman sendiri. "Apa mas Arman sengaja mengirim ini untuk membatalkan pernikahan kami?" batinku penuh praduga. "Tidak mungkin. Dia tidak akan tega membuat orang tuanya malu seperti ini." "Nduk, yang sabar ya?" Budhe langsung mendekat lalu memelukku. Aku bergeming, diam seribu bahasa. Melihat ibuku tergugu menangis di pojok ruangan dalam pelukan Indah, nyatanya itu lebih menyayat hati, melebihi rasa pedihku atas pengkhianatan mas Arman. "Budhe bikin pengumuman dulu, biar keluarga yang bersedia nungguin kamu pulang semua," ungkap Budhe sambil mengelus pundakku. Sepeninggal Budhe, aku mulai melepaskan cincin pemberian mas Arman beberapa waktu lalu, saat aku bersedia menerima lamarannya. Aku menjatuhkannya begitu saja, hingga menggelinding jauh ke pojok dan arah pandanganku memastikan kalau benda itu mengenai kaki Wildan. "Aku tidak menyangka akan mengalami nasib mengenaskan seperti ini. Harusnya, sejak awal melihat mas Arman berinteraksi secara berlebihan dengan perempuan magang itu, aku putuskan untuk membatalkan saja pernikahan ini," gumamku pelan. Yakin, hanya aku sendiri yang bisa mendengarnya. Aku segera bangkit dari kursi. Mulai berpikir bahwa aku harus menghadapi hari ini dengan kepala tegak, toh orang yang hina di sini adalah Arman, bukan aku. Semua orang di ruangan ini melihat ke arahku. Kecemasan bahwa bisa jadi aku bakal nekad menghukum diri bisa kutebak dari wajah-wajah cemas mereka. Tapi, tidak akan. Aku bukan wanita selemah itu. "Mbak, tolong di sini dulu, sampai kita bisa membawamu pulang." Wajah Indah tampak menunjukkan permohonan. Dia segera meraih tanganku lalu mendudukkan kembali aku ke atas kursi. Aku pun terpaksa menurut. Mau bagaimanapun, mereka sangat memedulikan hidupku. Tidak ada yang mengajakku bicara setelah itu. Semua larut dalam pikiran masing-masing. Mungkin saja, adegan video yang sempat aku putar beberapa detik tadi berputar-putar juga dalam ingatan mereka. Siapa pula yang tidak kaget. Kelakuan gila yang bahkan tidak pernah aku pikirkan akan dilakukan calon suamiku. Jijik sekali aku dibuatnya, perutku rasanya bergolak tidak karuan. "Runa! Ada mobil hitam berhias bunga-bunga yang datang!" Suara pakdheku yang memekik kencang dari luar membuat kesunyian dalam ruangan itu buyar. Semua orang memandang kedatangan pakdhe yang tergesa-gesa mendekatiku. Aku sudah malas menanggapi sebenarnya. Tahu, bahwa tidak ada yang berani melepaskan riasanku, mungkin menunggu sampai aku sendiri yang meminta. "Ada apa, Pakdhe?" Suara Wildan terdengar menyahut. Dia mendekat ke arah pakdheku sambil memapah ibuku dalam rangkulannya. Aku tidak mau menoleh, hanya melihat penampakan mereka dari pantulan cermin rias di hadapanku. "Mobil pengantinnya datang!" ujar pakdhe dengan napas terengah-engah. "Mas Arman? Dia berani datang ke sini setelah mengirimkan video bejatnya! Wah!" Wildan menyalak, seperti mendapatkan sasaran yang tepat untuk meluapkan kemarahannya. Aku pun segera berusaha mencegah saat adikku ini hendak berjalan keluar dari ruangan. "Mbak!" rengek Wildan, protes dengan cengkeraman tanganku pada lengannya. Aku menggeleng, tidak ingin dia melakukan tindakan yang bisa jadi malah merusak masa depannya karena terkelabuhi emosi. "Bukan Arman yang datang, tapi laki-laki tampan berpakaian pengantin," jelas pakdhe, menampik tebakan Wildan. "Pengantin yang akan nikah setelah rombongan kita mungkin?" "Bukan, tuh dia sedang berbincang-bincang dengan pak penghulu di luar." Budhe pun menimpali kesaksian pakdhe akan datangnya pria yang mereka maksud. Aku mengembuskan napas, merasa harus membuang bayangan halusinasi yang diciptakan budhe dan pakdhe untuk menghiburku. Sungguh, aku tidak membutuhkan itu. Aku merasa harus menyudahi acara hari ini dengan benar-benar meninggalkan ruangan ini. Tidak menunggu aba-aba dari siapapun, gegas aku bangkit dari kursi lalu berjalan melewati mereka semua menuju ke luar. Wildan dan ibu langsung mengejarku. Begitu pula dengan Indah, pakdhe, dan budhe. Tanganku sedikit dicekal agar langkahku tidak sampai meninggalkan jarak yang lebar dengan mereka. "Nduk, sebentar dulu!" pinta Budheku sambil menggamit lenganku. Sesampainya di ruangan itu—menuju ke luar, ternyata beberapa keluarga besar bapak masih setia menunggu. Aku sampai dibuat terharu karena kesetiaan mereka, memastikan aku tidak apa-apa sebelum pamit pulang. Tepat di hadapanku sana, ada rombongan yang mulai masuk melalui pintu utama. Karena itu pula akhirnya rombonganku terpaksa menghentikan langkah, untuk memberikan kesempatan rombongan itu agar masuk terlebih dahulu. "Pengantinnya sudah datang. Apakah pernikahan sudah bisa dilanjutkan?" tanya pak penghulu dari arah belakang rombongan itu. Aku menoleh ke arah budhe dan pakdhe yang saat ini menggamit lenganku. Aku bingung, sebenarnya prank macam apa yang sedang mereka lakukan padaku. Saat melihat wajah ibu dan adikku yang sama-sama terlihat bingung, aku pun sadar bahwa ini bukan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD