Aku perhatikan pintu gerbang yang sangat tinggi. Aku masih bisa melihat dengan jelas gedung megah yang ada di balik pintu pagar itu. Tempat itu tampak biasa saja layaknya gedung asrama. Namun, aku tetap melihatnya sebagai sebuah penjara yang sangat menakutkan.
“A... apa aku mundur saja ya?” gumamku.
Sudah cukup lama aku berdiri di depan sini. Tetapi, kaki ini belum mau juga melangkah menyeberangi pagar itu. Ayah sudah lebih dahulu masuk ke dalam asrama. Ayah sengaja memarkir mobil jauh di pinggir jalan. Karena jalan untuk menuju asrama ini tidak bisa dilalui oleh mobil. Mungkin pemiliknya sengaja mencari lokasi yang sangat terpencil seperti ini.
Ayah yang menjadi petunjuk jalan, sangat semangat berjalan menuju ke asrama yang akan menampung diriku. Ayah sungguh terlihat tenang dan santai. Seolah tidak akan terjadi apa pun di dalam asrama itu. Padahal, hati ini sudah sangat kacau.
Sesaat setelah tubuh ini turun dari kendaraan roda empat ini, dia langsung berubah menjadi aneh. Sedangkan, bentuk gedungnya sendiri belum terlihat saat itu. Tetapi, aku sudah merasakan hawa neraka yang akan menghantam diriku.
“Andai saja... aku....” kataku mencoba memberanikan diri.
Tanganku ini sudah aku genggam sekuat tenaga. Bahkan, aku sudah tidak tahu bagaimana bentuk bibir bawahku ini, yang sejak tadi aku gigit dengan sangat kencang. Hawa dingin pun seperti berhembus di sekeliling leher bagian belakang. Entah, bagaimana lagi caranya aku menenangkan diriku.
Semakin jauh kaki ini melangkah mengikuti jejak Ayah. Semakin berat rasa kaki ini untuk digerakkan. Mobil masih lebih jelas terlihat, daripada gedung yang akan kami tuju. Jika aku memutar balik tubuh ini dan berlari ke arahnya. Maka, aku bisa langsung menancap gas dan kabur dari tempat ini.
“Kamu lama banget jalannya. Ayo cepetan. Ada yang harus ayah kerjakan dulu, nih,” teriak Ayah yang sudah berada di puncak sebuah bukit.
Perjalanan ini terasa semakin berat saat tubuh ini akan mendaki bukit yang tidak terlalu tinggi ini. Bukannya aku tidak kuat mendakinya. Bukannya aku tidak pernah berolahraga atau pun melakukan yang lebih berat dari ini. Tetapi, hati ini yang terus membuat aku sangat berat menggerakkan kaki ini.
“Ayo, Ya. Kalau enggak, ayah tinggal.” Suara ayah terus memaksa diriku untuk melangkahkan kaki dengan cepat.
“I... iya.”
Aku tidak bisa menolaknya. Meski aku sudah berusaha untuk berjalan dengan cepat. Namun tetap sulit aku mengendalikan diri ini. Aku juga melihat Ayah tidak sabar menunggu diriku. Beliau pun melanjutkan perjalanannya yang sudah sangat jauh dari diriku ini.
Aku masih tidak percaya, apa yang sedang aku lakukan saat ini. Dan yang lebih membuat aku tidak percaya, ayahku sendiri yang merubah anak laki- lakinya menjadi seorang perempuan. Bahkan, ayah sudah membiasakan diri memanggil diriku dengan sebutan Cahaya.
Aku terus berjalan dengan perasaan hati yang sangat berat. Banyak sekali yang aku pikirkan saat ini. Kepala ini sudah sangat pusing memikirkan itu semua. Aku pun merasa dunia ini seperti berguncang dengan sangat hebat. Namun aku berusaha tidak mempedulikannya. Aku harus tetap kuat melangkahkan kaki ini. Tentu saja, aku tidak mau langsung pingsan begitu masuk ke tempat ini.
“A... aku harus bisa. Aku... aku....” Biar pun mulutku terus berkomat kamit membuat diriku bisa menjalani. Namun, hati kecil masih tidak bisa dibuat percaya akan hal yang aku ucapkan itu.
Saat perjalanan yang melelahkan itu berakhir, aku pun berhenti di depan pintu gerbang ini tanpa melakukan apa pun. Aku terus melihat ke arah depan, berharap tidak seorang pun keluar dari gerbang itu. Namun tentu saja itu tidak mungkin. Penjaga tempat itu saja, sudah memperhatikan diriku dari tadi.
Sejak melihat bentuk penjaraku itu, kaki ini mulai berhenti bergerak. Mulutku yang semula selalu menyemangati diri sendiri, kini juga ikut membisu. Tubuhku yang awalnya hanya mengeluarkan keringat karena perjalanan yang lumayan jauh, kini berubah menjadi keringat dingin. Kepala ini pun sama, dia terasa semakin berat dan sakit karenanya.
Mata in terus menatap gerbang yang masih tetap tertutup itu. Aku juga berharap, Ayah tidak akan membawaku masuk ke sana. Aku pun juga berharap sang penjaga tidak menyuruhku untuk mendekatinya. Meski orang yang menjaga tempat ini bukan perempuan, tetapi aku tetap ragu untuk berbicara dengannya untuk saat ini.
“Ya... cahaya... kenapa kamu diam saja di sana?” panggilan yang dari tadi tidak aku harapkan, akhirnya muncul juga.
Bayangan Ayah, tiba- tiba terlihat di balik pagar besi hitam yang tinggi itu. Wajah Ayah terlihat sangat kecewa dengan yang aku lakukan saat ini. Sama seperti beberapa minggu saat aku bersamanya di hotel kemarin. Waktu itu sudah merupakan siksaan bagiku. Apalagi sekarang, di mana jumlah perempuan yang akan aku temui lebih banyak dari sebelumnya. Dan aku juga melihat wajah seperti ini saat itu.
“I... iya, yah,” jawab mulut ini. Namun, kaki ini tetap pada pendiriannya semula.
Wajah ayah terlihat semakin kecewa dengan diriku yang tidak juga bergerak dari tempat ini. Dengan rasa terpaksa, akhirnya kaki ini mau melangkah mendekati tempat Ayah menunggu. Kali ini, ayah tidak meninggalkan aku seperti saat berdiri di puncak bukit tadi. Sepertinya, Ayah tidak mau membiarkan aku masuk ke tempat ini seorang diri.
“Sedang apa kamu melamun di sana?” Ayah menanyakan sesuatu yang sudah dia ketahui.
“Tidak apa apa, yah.” Hanya itu yang bisa aku katakan kepada Ayah.
Aku memang tipe anak yang tidak bisa menolak. Dan aku juga tipe orang yang tidak bisa mengatakan isi hatiku ini. Sehingga, tidak ada yang bisa menebak isi hatiku. Selama masa percobaan seminggu kemarin pun, Ayah masih belum bisa menebak apa yang mengganggu diriku ini saat bersama dengan beberapa perempuan.
Seminggu kemarin itu cukup membuat aku sangat tersiksa, apalagi saat ini. Aku masih belum bisa melupakan kejadian selama seminggu itu. Aku tidak menyangka, Ayah sebegitu inginnya untuk diriku masuk ke asrama ini. Sampai sekarang, ayah belum memberitahukan kepadaku alasannya melakukan ini semua.
Sama halnya dengan saat ini. Ayah selalu menanyakan diriku, mengapa aku melamun. Atau, apa yang sedang aku pikirkan. Hari hari saat di hotel itu sungguh sangat berat. Itu pertama kalinya untukku melakukan itu semua.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tegur Ayah.
“Ti... tidak ada, Yah.” Seperti bisa, aku selalu menyembunyikan apa yang aku rasakan.
Padahal, rasa tegang ini sangat terlihat jelas di wajahku. Meski ayah tahu ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranku ini. Namun, ayah masih menanyakannya. Padahal yang membuat aku seperti ini hanya satu. Aku sangat khawatir dengan apa yang akan ayah lakukan padaku saat ini.
“Kamu sudah melihat video yang ayah berikan kepadamu?” tanya Ayah lagi.
“Su... sudah, Yah,” jawabku tegang. Aku masih belum bisa menenangkan diriku sendiri.
“Seminggu ini, ayah akan membantu kamu untuk terbiasa dengan yang namanya perempuan,” kata Ayah. Beliau sudah pernah mengatakan hal yang serupa saat di telepon semalam.
Itulah mengapa, aku sudah sangat merasa tegang. Aku masih belum paham dengan maksud ayah membuat aku terbiasa dengan makhluk yang sangat aku takuti itu.
“Kamu tenang aja. Ayah membawa seorang psikolog. Dia juga teman ayah. Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Dia pasti akan bisa membantu kamu,” jelas Ayah.
Memang itu sangat meyakinkan. Namun, entah mengapa hati ini masih belum yakin dengan semua yang akan ayah lakukan. Aku yakin, suara jantungku yang sangat berdebar kencang ini, bisa ayah dengar dengan jelas.
“Kamu masuk ke kamar ini ya?” tiba- tiba, kami berhenti di sebuah kamar.
Itu bukan kamarku dan juga bukan kamar ayah. Entah kamar siapakah ini.
“Di dalam ada apa yah?” Aku pun memberanikan diri untuk menanyakannya.
“Kamu akan melihat sendiri apa yang ada di dalam.” Sudah aku duga. Ayah tidak akan langsung menjawab pertanyaanku itu.
“Tapi...”
“Sudah, kamu masuk saja sana.” Ayah sudah membuka pintu itu dengan kartu yang ada ditangannya.
Ayah pun mendorong tubuhku ini untuk segera masuk ke sana tanpa ragu. Dan setelah seluruh tubuhku ini masuk seluruhnya, ayah langsung menutupnya kembali dari luar.
“Ayah... ayah....” Aku memanggil manggilnya, sambil mencoba membuka pintu ini.
Namun ternyata, pintu ini sudah dirancang khusus sehingga tidak bisa dibuka dari dalam. Apa yang sebenarnya ayah sembunyikan di dalam sini. Kejutan seperti apa yang sudah ayah siapkan untuk diriku.
Aku tidak tahu.