Ayah dan aku sedang berada di sebuah kafe. Aku sedang menikmati makanan yang sudah dipesan oleh Ayah untuk diriku. Sedangkan Ayah, beliau sibuk memperhatikan anaknya yang sudah lama tidak ditemuinya.
“Kenapa badan kamu bisa semulus ini sih?” tanya Ayah yang heran memperhatikan tanganku.
Hampir di semua badanku, tidak ditumbuhi bulu sama sekali. Aku sama sekali tidak mempunyai bulu kaki dan bulu tangan. Bahkan, Bulu ketiak pun aku tidak memilikinya. Apalagi bulu dadaku, bulu yang paling sering dijumpai di tubuh laki-laki. Namun, tidak di tubuhku.
“Kamu pakai perawatan ya selama di sana?” Ayah semakin penasaran dengan tubuhku yang sangat mulus. Bahkan, kulit wanita sekali pun kalah dengan kulitku ini.
“Eng… enggak Yah. Candra enggak pernah pakai apa apa,” jawabku.
“Tapi ada untungnya tubuh kamu seperti ini.” Perkataan Ayah kali ini membuat aku semakin bingung.
“Ke… kenapa emangnya, Yah?” tanyaku terbata-bata. Aku masih belum terbiasa menanyakan apa yang ada di dalam otak dan hatiku.
“Ya, ayah enggak terlalu sulit merubah dirimu jadi perempuan,” kata Ayah.
“A… ayah ya… yakin dengan hal ini?” tanyaku.
“Huff… yakin enggak yakin. Tapi, Ayah tidak bisa memilih.” Aku menghelakan napas panjang.
“Sebenarnya ada apa, Yah?” Aku semakin penasaran dengan tindakan Ayah ini.
“Kamu enggak perlu tahu dulu. Nanti kalau sudah waktunya, Ayah akan memberitahukannya kepadamu,” kata Ayah. Tersirat kesedihan dari mata Ayah.
Aku tidak sanggup memaksakan Ayah untuk menceritakannya kepada diriku.
“Tapi, satu yang perlu kamu tahu. Ada dua nyawa yang sedang dipertaruhkan saat ini. Dan ini semua tergantung dengan tindakan dirimu selama dua tahun ini,” lanjut Ayah.
“I… iya Yah. Candra akan usahakan yang terbaik.” Aku tidak mau membuka luka yang sedang Ayah tutupi dari diriku.
“Kalau begitu, kamu bisa lihat video ini. Kamu harus bisa menjadi orang yang seperti di dalam video itu,” kata Ayah sambil menyerahkan sebuah kepingan CD.
“Postur tubuh kalian hampir sama. Dia sangat suka olahraga. Jadi otot-otot tubuh kalian tidak jauh berbeda. Walau Ayah akui, kamu memiliki tubuh yang lebih kekar dari dia,” lanjut Ayah.
“Candra suka olahraga pagi Yah. Dan Candra juga suka bantu-bantu paman di ladang,” jelasku.
“Oooo… baguslah, kalau kamu suka olahraga.”
“Tapi, olahraganya yang hanya dilakukan sendirian aja.” Aku menunduk malu.
Aku malu mengakui, jika aku masih belum bisa berbaur dengan orang banyak. Tetapi saat di dalam sekolah, aku masih mau bergabung dengan teman-teman yang semuanya laki-laki. Karena di sekolahku, memang hanya ada anak laki-laki saja. Di daerah paman, perempuan tidak perlu bersekolah. Jika pun mereka ingin bersekolah, mereka di tempatkan di sebuah sekolah khusus perempuan. Sehingga itu yang membuat aku betah bersekolah di tempat paman dan bibiku itu.
***
Aku memang seorang laki-laki yang memiliki kekurangan. Terutama jika berurusan dengan yang namanya perempuan. Entah sejak kapan kejadian itu tepatnya. Aku tidak terlalu mengingatnya. Karena sewaktu aku kecil, aku pernah mengalami kecelakaan yang membuat beberapa memoriku menghilang. Tetapi satu yang masih suka terbayang dalam otakku. Wanita itu adalah makhluk yang mengerikan.
Dahulu setiap aku melihat perempuan, aku pasti langsung pingsan. Tidak terkecuali saat melihat bunda dan juga bibi. Bunda tidak sanggup melihat diriku yang selalu pingsan setelah melihat dirinya. Aku juga masih ingat saat pertama kali bertemu dengan Bibi. Aku pun langsung tidak sadarkan diri saat Bibi menanyakan namaku.
Itulah alasan Ayah dan bunda memutuskan untuk mengirim aku ke tempat paman. Karena, paman bilang ada sebuah asrama yang memang khusus buat anak laki-laki saja. Dari guru, satpam, sampai bagian kebersihan semuanya adalah laki-laki. Bahkan, mak dapur pun juga tidak boleh masuk ke dalam asrama.
Sejak aku berusia lima tahun sampai aku tamat sekolah dasar aku bersekolah di sana. Sedangkan selama liburan, aku akan pulang ke rumah paman. Untuk liburan tahun pertama, aku masih pingsan melihat sosok bibiku. Walau pun, beliau berada di jarak yang masih jauh. Bahkan selama perjalanan pulang pun, aku tidak berani melihat keluar. Karena takut melihat makhluk yang menurutku sangat menakutkan itu.
Sehingga, liburan tahun kedua dan ketiga. Paman tidak menjemput diriku. Dan membiarkan aku menghabiskan liburan bersama guru-guru yang tinggal di asrama. Barulah liburan tahun ke empat, aku kembali pulang ke rumah paman. Aku tidak menemukan sosok Bibiku kali ini. Tetapi saat aku melihatnya walau hanya dari kejauhan, tubuhku masih tetap merespon hal yang sama.
Paman sengaja membuat sebuah pondok di tengah ladang. Mereka berdua akan tinggal di sana selama aku liburan di rumah, dalam kurun waktu dua minggu. Aku merasa kasian kepada mereka yang rela melakukan itu semua terhadap diriku. Aku juga sedih, tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Karena, tubuh ini tidak mau mengikuti pikiran dan hatiku. Dia selalu saja merespon sesuatu yang tidak sesuai dengan yang aku inginkan.
Hingga, aku duduk di kelas lima dan liburan lagi di rumah paman.
“Can, kamu udah enggak papa ngeliat Aying?” tanya Bibi yang heran saat aku pulang ke rumah.
Aku hanya tersenyum melihat Bibi yang sangat senang melihat diriku masih berdiri tegak. Padahal, aku memperhatikan Bibi dalam waktu yang cukup lama. Aku sengaja memberanikan diri untuk melihat Bibi secara dekat. Dan hasilnya, untuk pertama kalinya aku tidak pingsan saat melihat Bibi.
“Bah, Canda udah sehat Bah.” Bibi berteriak seperti orang kegirangan.
Aku tidak mengerti, sebenarnya apa yang membuat aku tidak merasakan apa-apa saat melihat Bibi. Apakah karena rasa kasihan atau memang karena aku sudah mulai beranjak dewasa. Tetapi, aku tidak hanya mengujinya terhadap Bibiku. Aku juga menguji secara acak di simpang jalan dekat rumah. Aku minta Angga untuk menemani diriku ke sana.
“Ka, kamu serius mau lakuin ini?” Angga terlihat sangat takut, jika terjadi apa-apa terhadap diriku.
“Tenang aja, Ga. Mudah-mudahan enggak papa,” kataku yakin.
Sampai tiba-tiba seorang ibu-ibu lewat dengan menggunakan sepeda motornya. Aku sudah memperhatikan dirinya dari kejauhan. Karena memang sensor ku terhadap perempuan memang sangat cepat. Lama aku memperhatikannya, namun tetap tidak terjadi apa-apa terhadap diriku. Sampai motor itu pun berlalu dari hadapan kami.
Tidak lama setelah motor itu menghilang, aku juga melihat dua orang perempuan menggunakan yang sedang berjalan mendekati kami. Jika diperkirakan, usia mereka sekitar lima belas tahun. Mereka berdua sedang asik mengobrol sambil berjalan. Bahkan, mereka juga sempat berbisik-bisik saat sadar aku sedang memandangi mereka.
Ada sedikit respon yang membuat kepalaku pusing. Angga pun mulai khawatir dengan keadaanku.
“Ka, kakak enggak kenapa kenapa?” tanya Angga sambil memegangi bahuku karena tubuhku sudah mulai terhuyung lemas.
“Enggak, aku enggak papa.” Aku berusaha untuk berdiri tegak.
Namun setidaknya, aku masih tetap sadarkan diri sampai sejauh ini. Aku tidak langsung pingsan seperti sebelum-sebelumnya. Ini masih percobaan pertama, aku masih memakluminya. Aku akan mencobanya di percobaan selanjutnya.
“Ka, kita pulang aja ya?” ajak Angga yang sudah tidak nyaman melihat diriku.
“Sekali lagi ga,” kataku.
“Mmmm… udah sore kak. Lagian, udah enggak ada yang lewat.” Angga melihat ke setiap simpang, memang tidak ada lagi yang lalu lalang.
Di sini memang sangat jarang orang yang keluar dari rumah. Sehingga, kita akan kesulitan melihat jalan ramai. Apa lagi sampai melihat jalanan macet. Di sini tidak akan dapat menemuinya.
Sejak saat itu, aku sering meminta Angga untuk menemani aku melakukan eksperimen itu. Selama liburan kelas lima aku selalu keluar dengan Angga. Dan aku mulai yakin bahwa tubuhku sudah bisa menerima makhluk yang bernama perempuan itu.
Hingga, saat aku akan kembali ke asrama. Untuk pertama kalinya, Bibi memelukku dengan sangat senang. Tetapi, ternyata penglihatanku kembali menghitam, seperti seolah-olah lampu mati dan bumi juga ditelan kegelapan.
Apa yang terjadi?
Ternyata, lagi-lagi aku tidak sadarkan diri saat aku berada dalam pelukan bibi. Itu artinya, aku masih belum bisa bersentuhan secara fisik dengan seorang wanita. Aku baru bisa menerima saat melihatnya saja. Belum sampai pada taraf bersentuhan dengan dirinya.
Dan sampai sekarang pun aku belum bisa mengendalikan hal itu. Aku hanya bisa terdiam saat mendengarkan permintaan Ayah. Bahkan setelah ayah meminta aku melakukan hal itu, kepalaku langsung terasa sakit dan tegang. Belum saja aku menjalaninya, aku sudah merasakan keringat dingin seperti ini. Walau, aku mengatakan sanggup menjalani dengan baik. Tetapi tetap saja, tubuh dan hati kecilku masih perlu untuk beradaptasi.
“Can, kamu enggak apa apa?” tanya Ayah yang menyadari aku yang dari tadi sedang melamun.
“Eh iya yah, ada apa?” Terus terang, aku tidak menyimak perkataan Ayah dengan jelas.
“Kamu tidak enak badan?” tanyanya lagi.
Andai aku bisa berterus terang dengan apa yang aku rasakan, ini pasti akan merubah kembali raut wajah Ayah yang sudah terlihat sedikit tenang saat aku mengiyakan keinginan Ayah.
“Mmmm… Candra sepertinya lelah, Yah. Candra kan baru saja sampai,” kataku.
“Iya juga ya. Ya udah, kamu istirahat saja dulu. Nanti malam, kita bicarakan lagi tentang rencana kita memasuki asrama putri,” kata Ayah.
“I… iya Yah.”
Ayah langsung bangun untuk menunjukkan kepadaku kamar hotel yang akan aku tempati beberapa hari ini. Sedangkan aku, masih tetap terdiam di tempat duduk ini dan mencoba mengatur napas. Aku bisa sedikit bernapas lega, saat Ayah tidak lagi ada di depanku.
“Ayo, tunggu apa lagi?” sapa Ayah saat melihat aku yang masih mematung di tempatnya.
“I… iya yah.” Aku coba melangkahkan kaki yang masih terasa sangat berat.
Setelah kami menaiki lift dan turun di lantai empat. Kami pun berjalan menyusuri beberapa kamar. Hingga, kami berhenti di kamar yang paling pojok.
“Ini kartu kamar kamu.” Ayah pun memberikan aku kartu kamar tempat kami berdiri saat ini.
“Ayah akan berada di kamar yang ada di depan kamarmu ini,” katanya lagi sambil menunjuk kamar di depan.
“Iya yah,” kataku sambil menerima kartu yang ayah berikan.
Untungnya, aku tidur seorang diri di sini. Ayah memesan kamar lain untuk kamarnya sendiri. Setidaknya itu aku bisa sedikit merasa lega tanpa kehadiran Ayah. Seharusnya, di saat kita bertemu dengan orang yang kita kasihi. Pastilah, kita merasa sangat bahagia dan dapat saling melepas rindu. Apa lagi, orang itu sudah bertahun-tahun lama tidak kita jumpai.
Namun, tidak itu yang aku rasakan. Ingin rasanya, aku menghilang saat ini juga. Ingin rasanya, untuk pertama kali aku membangkang dari tugas yang diberikan oleh orang tua. Tetapi, aku berusaha untuk menguasai diri ini. Aku terus memberikan dorongan semangat terhadap diriku ini. Walau tentu saja itu berat.
Aku memasuki kamar hotel dengan perasaan yang sangat berat. Bukan karena hotelnya kecil atau buruk. Hotel ini sangatlah mewah. Bahkan jauh lebih mewah dari rumah paman dan asramaku. Tetapi tetap saja, di sini aku tidak bisa bernapas dengan nyaman. Pikiranku sudah melayang entah kemana. Ruangan yang sangat sejuk ini berubah menjadi sangat panas. Hotel yang sangat lega dan bagus ini, berubah seperti penjara yang sangat sempit.
“Bagaimana ini?” tanyaku pada diriku sendiri, saat aku merebahkan diriku di atas tempat tidur.
“Asrama perempuan?”
“Dua tahun.”
“Itu artinya, aku akan tinggal di asrama itu selama dua tahun bersama perempuan?”