BAB 1

1495 Words
“Can, kamu pulang ya?” karena ucapan ayah dua minggu yang lalu itu, aku harus pulang ke Jakarta. Ucapan ayah Itu juga, yang membuat aku bisa berdiri di sini. Asrama putri, aku membaca papan nama yang terpampang di depan gerbang tempat aku berdiri sekarang. Tempat inilah yang akan aku tinggali selama dua tahun ini. Akankah aku bisa bertahan di tempat ini? Berapa lama aku bisa bertahan di tempat ini? *** Aku adalah Candra Aryarianda. Seorang anak yang sejak kecil jauh dari orang tua. Aku besar bersama Paman dan Bibi di Kalimantan. Sedangkan kedua orangtuaku tinggal di Jakarta. Meski begitu, aku tidak pernah benci dengan kedua orangtuaku. Aku tidak pernah sedih atau kecewa dengan keputusan Ayah dan Bunda yang menyuruh aku tinggal jauh dari mereka. Karena aku yakin, semua yang mereka lakukan adalah yang terbaik untukku. Sudah sepuluh tahun lamanya, aku tidak pernah bertemu dengan Ayah dan Bunda. Namun, kali ini Ayah meminta aku untuk datang ke Jakarta. Dan setelah aku mengatakan iya, Ayah pun langsung memesankan tiket hari itu juga ke Jakarta. Aku termasuk anak yang tidak banyak bertanya saat diperintah. Aku cenderung mengikuti perintah siapa saja. Baik itu paman dan bibi, apa lagi ayah dan bunda. Aku pasti akan langsung menyetujui tanpa bertanya alasan mereka menyuruh aku melakukan itu. Sama halnya, saat aku disuruh terbang ke Jakarta dalam hitungan jam aku sudah berada di Bandara Palangkaraya. Seorang diri, aku menunggu pesawat ke Jakarta. “Can, Maaf ya. Amang enggak bisa anterin kamu ke Bandara. Amang juga ada janji sama orang yang mau beli hasil perkebunan. Ayah kamu kenapa dadakan banget pesenin kamu tiket sih,” kata pamanku. Beliau sebenarnya khawatir membiarkan aku pergi sendiri ke bandara. “Apa lagi mama, Bah. Mama kan enggak pernah pergi-pergi,” kata bibiku kepada Paman. “Aku sih bisa aja, Ka. Tapi nanti balik ke rumahnya, aku enggak berani sendiri,” kata Angga sepupuku. Begitulah, tidak ada satu pun yang bisa mengantar kepergian ku. Namun, aku tidak merasa takut sama sekali untuk pergi seorang diri. Di dunia ini hanya ada satu yang sangat aku takuti. Dan sekarang, aku sudah bisa sedikit mengendalikan rasa takut itu. Keluarga paman dan bibi memang sangat jarang berpergian. Mereka hanya sibuk dengan sawah dan kebun mereka saja. Bahkan, bisa dikatakan hanya aku yang sering keluar dari rumah. Walau itu hanya untuk pergi ke sekolah. Selain mereka tidak ada urusan untuk keluar rumah, transportasi di sini juga masih termasuk susah. Jika Paman tidak memiliki kendaraan pribadi, aku pasti juga kesulitan untuk pergi ke sekolah. Sedangkan Angga, dia adalah anak paman dan bibi. Dia adalah sepupuku satu-satunya. Dia juga tidak mau sekolah. Sejak dia duduk di kelas tiga sekolah dasar, dia kabur dari sekolah karena disuruh mengerjakan soal. Dari saat itu, dia tidak mau lagi berangkat sekolah. Dia lebih memilih membantu Abah dan mama di sawah. Jadi, dia pun tidak punya keberanian untuk keluar seorang diri dari rumah. Setelah aku bisa meyakinkan paman. Aku pun pergi ke Bandara seorang diri. Bagiku tidak ada yang tidak bisa aku lakukan, walau itu baru pertama kali dicoba. Itulah moto hidupku selama aku tinggal bersama paman dan bibi. Walau sebenarnya, ini bukan pertama kalinya aku berada di Bandara. Saat usiaku lima tahun, aku pernah berada di sini bersama Ayah. Saat itu, ayah mengantarkan aku ke Kalimantan. Aku memperhatikan setiap yang ayah kerjakan selama di Bandara. Baik saat pergi atau pun sampai. Aku termasuk orang yang bisa belajar dengan cepat, meski hanya melihat saja. Sekarang, aku pun mempraktekan sendiri apa yang aku pelajari sewaktu kecil. Dan itu cukup mudah. Tidak sesulit yang Bibi gambarkan. Padahal dari cerita bibi, jika di Bandara nanti akan merasa kesulitan akan masuk lewat mananya. Nanti jika salah jalan, kita akan pusing untuk kembalinya. Namun kenyataannya, aku dengan mudahnya sudah berada di dalam pesawat. Dan terbang menuju Jakarta. “Yah, Candra udah sampai di Bandara sukarno Hatta. Boleh share alamat rumah, Yah. Biar Candra sendiri yang pergi ke sana. Ayah tidak usah jemput Candra di Bandara.” Aku langsung menghubungi Ayah begitu sampai di Jakarta. Aku tidak mengetahui letak rumahku yang di Jakarta. Aku dengar dari Paman, rumahku pindah. Karena, bunda sering sakit-sakitan selama tinggal di rumah yang lama. Sehingga, aku tidak tahu di mana tepatnya bunda dan Ayah tinggal saat ini. “Kamu jangan ke rumah. Ayah akan kirimkan kamu lokasi tempat kita bertemu,” jawab Ayah. Kemudian, Ayah langsung mematikan telepon. Mengapa Ayah terlihat sangat terburu-buru? Apa yang sedang Ayah lakukan? Mengapa aku tidak boleh pulang ke rumah? Apa yang sebenarnya terjadi? *** Setelah bertahun-tahun lamanya, aku baru bisa bertemu dengan Ayah lagi. Wajah Ayah tidak banyak berubah, hanya ada beberapa kerutan yang bertambah di sekitar mata dan juga mulut. Kami yang sudah lama tidak bertemu, hanya saling memandang dalam diam. “Ternyata, kamu tidak jauh berbeda ya?” Itu adalah kalimat yang pertama Ayah katakan kepada diriku. Padahal, ini merupakan pertemuan pertama kami. Setelah sekian lama, aku dan Ayah tidak bertemu. Bahkan, tidak ada pelukan yang sempat aku bayangkan sebelumnya. Ayah hanya terus memperhatikan postur tubuhku dari atas hingga bawah. “Ternyata, kamu masih terlihat cantik saja. Sama seperti sewaktu kamu kecil,” kata Ayah. “Mmmm… iya Ayah,” kataku malu dengan keadaan diriku. Entah itu bisa dikatakan sebagai pujian atau hinaan. Karena, aku ini adalah seorang lelaki. Aku menyadari secara penuh bahwa aku adalah seorang laki-laki. Tidak ada kekurangan di tubuhku. Tetapi, memang pertumbuhan tubuhku, seperti tubuh seorang perempuan yang atletis. Berotot tetapi seksi. Bahkan, bagian pinggulku bisa dibilang lebih montok dari pada perempuan pada umumnya. “Mmmm… sepertinya, paman menjaga kamu dengan sangat baik.” Aku terus memperhatikan diriku seperti mencari sesuatu pada diriku. “I… iya Ayah.” “Enggak ada yang mau kamu ucapkan selain kata iya?” Ayah tidak terlalu senang dengan diriku yang terlalu menurut. Ayah termasuk orang tua yang menginginkan anaknya untuk berani mengungkapkan perasaannya. Tetapi, ini lah aku terlalu penakut dan juga pemalu. “Huff… kalau begini terus, Ayah tidak yakin kamu bisa menjalaninya atau tidak.” Ayah terlihat begitu putus asa. Aku hanya menunduk. Bahkan, aku tidak berani menanyakan apa yang Ayah inginkan untuk aku lakukan untuk dirinya. “Ayo dong, Can. Kamu laki-laki! Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan,” paksa Ayah. Bahkan, pengunjung restoran yang lain, jadi melihat ke arah kami, akibat bentakan Ayah yang beliau tujukan kepada diriku. “Ta… tapi, Yah.” Aku masih sangat gugup berbicara dengan orang yang ada di depanku saat ini. Beliau memang Ayah kandungku. Namun, aku masih merasa sangat asing dengan dirinya. “Huff… apa boleh buat. Semua ini memang salah Ayah.” Ayah terlihat sangat kecewa dengan sikapku yang tidak juga menunjukan keberanian seorang laki-laki. “Apakah penyakit kamu masih suka kambuh?” tanya Ayah. “Penyakit?” Aku lupa dengan penyakit yang aku alami. “Iya, penyakit kamu terhadap lawan jenis?” tanya Ayah lagi. “Mmmm… selama perempuan itu tidak berinteraksi langsung, Candra enggak papa yah,” jawabku. “Maksudnya?” Ayah ingin aku menjelaskan lebih rinci lagi. “Selama dia tidak menyentuh diriku, tubuh Candra tidak bereaksi,” kataku. “Berarti, kamu tidak lagi pingsan waktu melihat perempuan?” “Enggak yah.” “Mmmm… kalau begitu, Ayah enggak yakin kamu bisa melakukan tugas ini,” kata Ayah. “Tu… tugas apa yah?” Aku pun memberanikan diri untuk bertanya. “Wa… kamu….” Ayah terlihat senang melihat anaknya mau bertanya. “I… iya Yah. Tugas apa?” tanyaku lagi. “Ayah mau kamu menyamar sebagai perempuan di asrama perempuan.” Ayah mengatakannya tanpa ragu sama sekali. “A… apa yah?” Baru kali ini, aku terkejut dengan sesuatu yang diperintahkan kepada diriku. Walau banyak yang meminta diriku melakukan yang aneh-aneh. Namun, ini paling teraneh yang pernah aku dengar. Bahkan kali ini, Ayahku sendiri yang menyuruh aku melakukan hal ini. “Untuk yang satu ini, ayah mohon kamu jangan menanyakannya dulu.” Ayah langsung melarang diriku bertanya tentang alasan Ayah meminta diriku melakukan hal ini. Padahal, aku sangat ingin mengetahui alasan Ayah memintaku melakukan hal ini. “Nanti ada saatnya, Ayah menceritakannya kepadamu. Tapi, kali ini tolong kamu kerjakan yang Ayah suruh ini,” lanjut Ayah. Aku hanya terdiam memikirkan apa yang harus aku lakukan. Di satu sisi, aku tidak mungkin menolak perintah Ayah. Apalagi, ayah sampai mengatakan kata tolong. Pasti ini sesuatu yang sangat mendesak. Namun di sisi lain, perasaan phobia aku terhadap perempuan belum seratus persen sembuh. Walau tidak separah saat aku masih kecil. Namun tetap saja, aku masih belum bisa bersentuhan langsung dengan seorang perempuan. “Ayah tahu kamu bingung. Tapi Ayah juga sama, Ayah bingung harus melakukan apa lagi. Hanya kamu satu-satunya harapan Ayah,” kata Ayah lagi. Aku masih tidak berani mengatakan iya atas keinginan Ayah ini. “Ayah hanya minta kamu tinggal di sana selama dua tahun. Dan Ayah janji, akan meminta seseorang untuk menjaga dirimu selama tinggal di sana.” Ayah berusaha meyakinkan aku untuk mau melakukan hal itu. “Mmmmm… baiklah Yah. Candra mau melaksanakannya.” Aku pun mengiyakan keinginan Ayah. Semoga saja, keputusan yang aku pilih ini memang yang terbaik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD