10. Antara Gelisah Dan Takut Ketahuan

1215 Words
Sulit untuk melupakan masa lalu yang kenangannya begitu dalam. Terkadang berada dalam situasi tertentu, mampu membuat memori itu kembali menggetarkan hati. Bukan hal yang mudah melupakan masa lalu. Jika ada seseorang yang berkata "sudah melupakan masa lalu", itu artinya dia hanya berusaha menyimpannya dalam-dalam. Yakinlah, semua yang sudah berjalan akan selalu ada dalam kenangan. Tinggal bagaimana kita menyikapi kenangan itu, agar tidak menjadi batu sandungan untuk masa depan. *** Tiba saatnya Cantili menghidangkan sop sederhana untuk Tuan Anggoro dan Anita. Dari aromanya saja mampu membuat Tuan Anggoro kembali ke masa lalu. Masa-masa memperjuangkan cinta dan menikmati cintanya dengan Rahayu secara rahasia. Akan tetapi tidak sedikit pun terbersit dalam benak Cantili kalau pria paruh baya yang sedang duduk di hadapannya adalah ayah kandungnya. Anggoro kembali menghidu aroma lezat sop sederhana buatan Cantili. Gadis itu berharap kalau masakannya bisa menebus kesalahan dan bebas dari jeratan hutang Anya. ‘Aroma ini sangat aku kenal. Tapi ... bagaimana mungkin gadis desa ini bisa memasak makanan yang aromanya sama persis dengan masakan Rahayu,’ batin Anggoro mulai gelisah. Anggoro mulai menyeruput kuah kaldunya. Lalu mengunyah sayuran dengan sangat nikmat. “Dari mana kamu belajar masak ini?” “Dari Bude saya, Tuan.” Anggoro kembali menikmati makanan itu. Akan tetapi pikirannya mulai menerawang jauh ke masa lalu. ‘Kenapa Tuan Anggoro kelihatan penasaran? Nggak bisa didiemin, gue nggak mau rahasia ini terbongkar!’ batin Anita. “Menarik. Apa kamu tahu, Nak?” “Tentang apa, Ayah?” Anita tersentak. “Apa kamu nggak ingat aroma masakan ini?” Anita berkeringat dingin. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Anggoro. Berusaha menebak-nebak tapi takut salah. Anita sangat berhati-hati dalam memainkan perannya. Dia masih menggeleng dan memainkan peran dengan membuat raut wajahnya memelas. “Masakan ini persis seperti masakan Ibumu.” Deg! Cantili kembali bertanya-tanya tentang maksud pembicaraan mereka. ‘Anita nggak ingat sama masakan ibunya?’ batin Cantili yang semakin penasaran. “Ayah, maaf ... bukankah ibu pergi meninggalkan saya?” bisik Anita kepada ayahnya membuat Cantili tidak mendengar dengan baik. ‘Apa yang Anita bisikkan kepada Tuan besar?’ batin Cantili yang merasa ada sesuatu hal yang aneh. “Maafkan Ayah.” Anggoro kembali mengusap kepala Anita dan menggenggam tangannya untuk memberikan semangat. Anita memang terlihat lemah, karena dia memang sering sakit. Namun, ketamakan membutakan hatinya, hingga tega menikung Cantili. “Masakan ini mengingatkan saya kepada seseorang yang sudah lama meninggalkan saya dan putri saya,” ucap Anggoro yang saat itu menatap Cantili. “Ma—maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud ....” “Tidak apa-apa, justru saya dan putri saya berterima kasih.” “Saya yang seharusnya berterima kasih, Tuan dan Nona sudah memberikan saya kesempatan menebus kecerobohan saya tadi.” “Oh, ya ... kamu bekerja di bagian apa?” “Saya jadi pramuniaga, Tuan. Bagian non food.” “Nama kamu?” “Cantili, Tuan. Oh ... maksud saya Cantika Lily.” Deg! Kali ini batin Anggoro yang terasa meringis mendengar nama itu. Dia kembali teringat dengan Rahayu. Lantaran Rahayu sangat menyukai bunga Lily. Baginya bunga itu melambangkan kesucian dan kesetiaan. Lalu kata Cantika mengingatkan Anggoro lantaran Rahayu sering memanggil bunga Lily pemberiannya dengan sebutan cantik. Bunga Lily yang cantik. “Nama kamu sangat indah. Siapa yang memberikan nama itu?” Mendengar pertanyaan itu, Anita gelisah. ‘Gawat! Kalau dibiarkan begini, Tuan Anggoro bakal curiga dan semakin penasaran sama Cantili. Gue harus menyudahi pertemuan ini,’ batin Anita lagi. “Itu ....” suara Cantili tersendat. “Ayah, bagaimana kalau Ayah mengajak saya jalan-jalan mengelilingi kota?” sahut Anita yang berusaha menghambat rasa penasaran Anggoro. “Oh, maafkan Ayah ... hampir saja lupa.” Cantili masih mematung menunggu perintah. “Kamu boleh kembali bekerja. Lain kali saya akan memanggil kamu buat memasak makanan lain untuk saya dan putri saya!” “Berarti misi saya berhasil ya, Tuan?” “Ya, tentu saja. Sampaikan sama Anya!” “Baik, Tuan!” Dengan riang, Cantili bergegas melangkah menuju ruangan Pak Bagus. Tempat di mana Anya menunggu. Akan tetapi semua kerja keras Cantili tidak sesuai harapan Praaang!!! Suara gelas yang dilempar Anya remuk berkeping-keping. “g****k!!!” Jerit suara itu membuat Cantili mematung. Tubuhnya berkeringat dingin sembari berlutut di depan meja Pak Bagus. Sedari tadi Anya memarahinya, lantaran kecewa kalau Cantili gagal memberikan sup spesial yang sudah diberi obat penenang. Dia berniat mengambil sampel darah atau rambut untuk dibawa sendiri ke instansi terkait tes DNA. Namun, dengan kecerobohannya, Cantili justru membuat rencana Anya gagal total. “Lo kalo lugu jangan lugu-lugu banget deh! Rusak semua rencana gue!!!” “Hah!” Anya yang kesal terpaksa melangkah pergi. “Non, Non Anya, tunggu!” Anya memutar bola matanya lalu berbalik menatap Cantili yang terlihat penuh harap. “Terus ... utang saya gimana?” pekik Cantili yang menahan tangisnya. “Eh, lo masih nanyain itu? Lo berharap lunas gitu? Nggak! Belum lunas!” bentak Anya yang langsung pergi meninggalkan Cantili. Di sana Cantili bergeming berusaha mencari kesalahan yang membuatnya gagal menjalankan misi utama. Lalu Pak Bagus mendekati gadis itu. “Lo sih ceroboh! Coba tadi lo kasih sup itu ke Bos, udah kelar urusan lo ama Non Anya.” “Ya, tapi kan ... saya udah ngasih sop penggantinya, Pak. Bahkan Tuan besar dan Non Anita juga suka sama masakan saya. Artinya saya berhasil kan, Pak?” “Emang lo tu lugu banget. Lo nggak tahu rencana Non Anya?” tanya Pak Bagus membuat Cantili terdiam. “Enggak kan?” sahut Bagus. “Wajar aja kalau Non Anya kesel ama lo. Udah deh, itu derita lo, sekarang lo kerja lagi gih!” “Tapi kenapa harus saya sih, Pak?” “Til! Dengerin gue! Ini udah jadi takdir lo!” “Tapi kapan berakhirnya? Saya juga butuh makan, bayar kosan, kalau digantung begini, kapan saya gajian, Pak?” “Au deh ... asal lo tahu ya! Non Anya sangat berkuasa. Tuan besar aja selalu menuruti permintaan Non Anya. Jadi ... lo banyak-banyakin doa deh! Biar urusan lo sama Non Anya kelar!” “I—iya, Pak.” “Gih sono kerja lagi!” “Iya, Pak!” Dengan berat hati, Cantili kembali menjalani hari-harinya yang terasa berat karena masih memiliki sangkutan hutang dengan Anya. Cantili berjalan menuju Warteg yang tidak jauh dari kantor sembari meminum air mineral 330 ml yang dia beli. Hatinya yang kesal sekesal-kesalnya, membuat Cantili meremas botol air mineral yang masih berisi sisa sedikit air, lalu melemparnya sembarang sejauh mungkin sebagai pelepas penat. Klotak! “Aw!” seseorang memekik terkena lemparan Cantili. “Woy! Sembarangan lu!” pekik seorang pemuda yang memegang bekas botol itu. Ternyata bekas botol yang dilempar Cantili mengenai dahi pemuda itu. Dari jarak sepuluh meter, pemuda itu berjalan dengan buru-buru untuk menyambangi Cantili yang mematung. Tatapan garang pemuda itu membuat Cantili berusaha menatap dengan ragu. “Apa maksudnya lempar-lempar sembarangan, hah?” “I—itu ... maaf, Mas. Nggak sengaja.” “Lu pikir kepala gue tempat sampah, hah?” “Asli, Mas. Maafin saya. Beneran nggak sengaja, Mas!” “Gue nggak habis pikir ada cewek sotoy kayak lu di dunia ini! Bisa-bisanya lu nglempar sampah ini sembarangan.” “Maaf, banget, Mas!” “Enak aja minta maaf doang.” “Terus saya harus gimana?” Cantili merasa kecerobohannya menjadi mala petaka. Berurusan dengan Anya Wijaya dan kali ini berurusan dengan seorang pemuda.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD