bc

Cincin Wasiat

book_age16+
36
FOLLOW
1K
READ
HE
heir/heiress
blue collar
drama
like
intro-logo
Blurb

Cantili diamanati sebuah cincin wasiat dari ibunya, sebagai petunjuk untuk menemui ayah kandungnya di kota metropolitan. Cincin peninggalan itu bukan sembarang cincin wasiat biasa. Lantaran terdapat banyak rahasia di baliknya yang harus Cantili pecahkan satu-persatu. Dalam menjalankan amanah itu, dia dihadapkan dengan berbagai masalah.

Namun sayang, cincin itu hilang. Mampukah Cantili menjalankan wasiat itu dan bertemu dengan ayah kandungnya?

chap-preview
Free preview
1. Cincin Wasiat Ibu
Saat kita merasa sendiri, maka berdoalah! Yakinlah, Tuhan akan selalu memberikan jalan. *** “Maaf, Mas! Lebih baik saya hidup prihatin asalkan hutang Bude bisa terbayar, dari pada harus jadi madu!” tegas Cantili yang sedang membela Budenya yang baru saja terkena tipu. “Kamu ini dikasih hati kok malah ngelunjak!” hardik Kirno yang menjadi anak buah juragan Agung Gendon. Juragan kaya raya di desa itu yang dikenal memiliki banyak istri. “Sudah saya bilang! Saya tidak mau jadi madu, Mas! Tolong sampaikan sama juragan Gendon kalau saya minta diberi waktu buat membayarnya!” “Dasar anak haram! Nggak tahu diri! Dikasih enak malah ngelunjak!” tandas Kirno bernada kasar hingga menusuk relung hati Cantili yang terdalam. “Panjenengan ngomong opo? Hah?” bentak Cantili yang memerah padam karena tidak terima mendapat celaan itu. “Sudah, Li! Sudah!” Bude Hani berusaha melerai kemarahan Cantili. “Kalian memang kurang ajar, ya! Kongkalikong buat menjebak Bude! Kalian yang meminjamkan uang, kalian juga yang menipu, eh ... sekarang malah minta bayaran!” “Nggak usah banyak omong! Tinggal pilih saja, Mbak! Hutang lunas dengan syarat mbojo sama Juragan atau bayar dengan uang cash besok? Kalau sampai tidak bisa bayar, saya polisikan!” ancam Kirno yang membuat Cantili bergeming untuk menahan emosinya. Gadis berusia 22 tahun itu merasa tertekan. “Miskin nggak tahu diri!” cela Kirno sambil meninggalkan rumah reot itu. “Nggak usah takut! Bakal saya bayar!” teriak Cantili kesal. “Wis, Li! Sudah!” “Bude bisa-bisanya ketipu sama mereka? Bude tahu kan mereka itu siapa? Uler Bude! Uler!” ucap Cantili kesal sembari menahan air matanya yang terus mendesak. Cantili bergegas masuk ke dalam rumah, sedangkan Hani mencoba menenangkan. “Maafin Bude, Li!” ucap Hani lirih. Mendengar suara itu, Cantili mematung. Lalu menoleh melihat wanita yang selama ini merawatnya dengan penuh kasih sayang tengah menunduk sedih, Cantili merasa bersalah karena sudah marah-marah. “Ma—maafin saya, Bude!” sesal Cantili. “Bude itu nggak ada niat jahat sama kamu! Istrinya Pak Kirno itu ngasih Bude ide buat buka usaha warung,” ucap wanita itu sembari duduk lemas di atas kursi kayu yang sudah lapuk. Sedangkan Cantili menutup pintu rumah yang berderit cukup kencang. Lalu Cantili duduk berdampingan. “Bude sudah sepuh, Li! Bude sudah nggak kuat kalau bekerja di kebun juragan Gendon. Jadi Bude pikir nggak ada salahnya kalau Bude pinjam uang buat buka usaha warung kecil-kecilan di rumah,” ucapnya lagi sambil menghela napas. “Kan ada saya, Bude ... biar saya yang bekerja buat makan sehari-hari.” “Tapi ....” Hani sulit meneruskan ucapannya. “Bude harus percaya sama saya!” Cantili menatap dalam wanita paruh baya itu. “Biarkan saya pergi ke kota buat mencari pekerjaan yang lebih layak. Izinkan saya mencari Ibu,” ucapnya lagi. Melihat raut wajah serta sorot mata Cantili, Hani merasa tidak tega. Begitu banyak rahasia yang dipendam Hani selam ini. Berat menjalani amanat sebagai balas budi kepada Rahayu—ibu kandung Cantili yang pergi mencari suaminya, sejak Cantili berusia dua tahun. Anak titipan itu sekarang menjelma menjadi gadis manis yang sedang diincar pria kaya yang memiliki banyak istri. “Saya mengerti, Bude berusaha membuka usaha untuk saya, tapi ulah licik juragan Gendon membuat Bude tidak sadar kalau mereka hanya menjebak Bude untuk mendapatkan saya.” Mendengar ucapan Cantili, Hani termenung menitikkan air mata. Suasana haru itu, tiba-tiba buyar seketika seseorang mengetuk pintu dengan keras. Cantili menduga anak buah juragan Gendon datang kembali. “Apalagi sih ini?” ucap Cantili sembari melangkah dengan emosi. “Wes tak kandani sesuk mbayar!” bentaknya sembari membuka pintu yang berderit kencang itu. “Maaf, Mbak! Maaf!” ucap seorang pria dengan ramah. “Eh ....” seketika Cantili mematung. Ternyata bukan anak buah rentenir yang mengetuk pintu, melainkan seorang kurir. “Ada surat buat Mbak Cantili. Tapi maaf, Mbak! Agak basah soalnya tadi hujan lumayan deras di desa sebelah.” Rintik gerimis memang menyelimuti desa tempat tinggal mereka sejak temaram subuh tadi. Sehingga tanpa disengaja, surat yang harusnya dikirim kepada Cantili rembes dan sedikit basah. “Oh, iya, Mas. Maaf, saya pikir bukan kurir yang ketuk pintu rumah. Terima kasih, ya!” Cantili mengulas senyuman hangat. “Njih, Mbak! Sama-sama. Permisi, Mbak!” Cantili memandangi kurir tersebut hingga menghilang dari pandangannya. Ia bergegas membuka surat yang baru saja diterima. Rasa penasaran pun membuncah, karena orang yang biasa mengirim surat kepadanya, hanya ibunya. Namun, hari itu bukan jadwal Cantili menerima surat dari ibunya. Gadis itu berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar sederhana yang hanya ditutupi sehelai kain gorden lusuh tanpa daun pintu. Hidupnya di desa memang sesederhana itu. Namun, ia begitu mensyukuri nikmat Tuhan, walau harus bekerja banting tulang demi berjalannya kehidupan. Jauh dari kata modern, akan tetapi Cantili memiliki wawasan luas karena mau terus membaca buku-buku milik anak majikannya di desa. Dia bekerja menjadi pelayan di sebuah toko kelontong milik Pak Haji. Upahnya tidak seberapa, tetapi lebih baik bekerja dari pada tidak sama sekali. Pernah pergi ke kota untuk mencari alamat ibunya, akan tetapi semua hanya fiktif. Sehingga ia memilih untuk menunggu ibunya kembali ke desa. Ia berharap ibunya segera menjemputnya. Namun, apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan harapannya. Sedangkan Hani—wanita yang disebut Bude oleh Cantili merawat serta menghidupi Cantili dengan susah payah sebagai balas budi kepada Rahayu yang pernah menolong orang tuanya dahulu. Begitu sayangnya Hani kepada Cantili, membuatnya berakhir dalam jebakan juragan Gendon yang memang sudah lama mengincar Cantili. Perlahan, Cantili membuka amplop berisi surat. Namun, dia terkejut melihat sesuatu terjatuh dari dalam amplopnya. Benda itu berdenting saat terjatuh. “Cincin?” ucapnya yang terbelalak melihat benda itu. Tidak biasanya Rahayu memberikan hadiah kepada putrinya. Lantas Cantili buru-buru membuka kertas yang setengah basah itu. Teruntuk putriku, Cantika Lily Apa kabar, Sayang ...? Semoga kamu selalu dalam lindungan Tuhan. Jika surat ini sudah berada di tanganmu, itu berarti ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Hati Cantili seketika melebur mendapati surat yang berisi tentang berita kematian ibunya. Air mata tak sanggup lagi dibendungnya. Tak sanggup Cantili untuk membacanya. Namun, dia berusaha untuk melanjutkan secara perlahan. Maafkan ibu yang sudah bersalah meninggalkan kamu bersama Bude selama ini. Bukan ibu tidak menyayangimu, Nak! Akan tetapi, Ibu tidak bisa menjemputmu dan harus dengan sembunyi-sembunyi saat mengirimkan surat untukmu. Ibu merasa begitu berdosa tidak bisa membantumu dengan layak selama ini. Itu pun karena ibu harus merahasiakan keberadaanmu. Hati Cantili kembali bergetar. Kerinduan akan dekapan ibu yang selama ini ia idamkan harus pupus begitu saja. Dua puluh tahun sudah Cantili hidup tanpa ibu dan ayahnya. Dia tidak mengenal siapa ayahnya dan hanya mampu mengenali sosok Rahayu melalui foto lama yang sengaja ditinggalkan untuknya. Cantili kembali menghidu napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kembali membaca isi surat itu. Cantili anakku ... bumi dan langit bersaksi bahwa ibu berusaha mempertemukanmu dengan ayah kandungmu. Namun, tidak semudah itu ibu bisa menemui ayahmu. Sulit jika diceritakan melalui surat ini. Oleh karena itu, ibu mengirimkanmu cincin milik ibu agar kamu mengetahui kebenarannya. Banyak rahasia yang akan terkuak melalui cincin ini. Jagalah cincin ini sampai kamu bertemu dengan ayah kandungmu! Hanya dengan menunjukkan cincin ini, maka ayahmu akan mengenalimu! Jangan sampai cincin ini jatuh kepada orang yang tidak tepat! Jagalah cincin ini dan temuilah ayahmu di kota Jakarta. Tepatnya di ... Hati Cantili berontak ketika mengetahui tinta yang menuliskan isi surat selanjutnya telah memudar hingga tidak dapat dibaca. “Astagfirullah, bagaimana ini?” gerutunya sembari terus menatap tajam berusaha membacanya. Hari itu hatinya hancur. Mengingat ancaman anak buah juragan Gendon dan juga mendapati berita kematian ibunya. “Ya Allah, bagaimana ini? Selama ini aku tidak mengetahui pasti di mana keberadaan ibu, apalagi bapak. Di saat ibu menunjukkan di mana keberadaan bapak, kenapa malah begini?” Cantili kesal sembari menatap kertas basah yang tulisannya benar-benar memudar. Dia duduk sembari memandangi cincin bermata kristal itu. Mengkilap dan berbinar. Semakin dilihat, rasa penasaran Cantili semakin kuat. ‘Dari pada harus dijadikan madu, lebih baik pergi merantau!’ batin Cantili yang nekat minggat dari desa menuju kota metropolitan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook