Part 2

1000 Words
Sandira berlari secepat kilat menuju poskonya. Tapi sepertinya dia tersesat karena saking kencangnya berlari. "Sial, gue kok malah muter-muter keliling gunung gak jelas gini sih?" Memegang kedua lututnya dengan nafas tersengal-sengal. Masih melihat pohon di sekitarnya. Kembali berjalan setelah beberapa waktu berjalan kembali lagi ke tempat semula. "Ini hutan apa labirin sih? Dari tadi sudah sejam muter-muter gak jelas. Astaga jam tanganku mati pula! Semoga ini bukan hari sial." Gadis itu terus mengomel tanpa henti. "Apa jangan-jangan gue kualat kali ya? Udah bohong sama setan tadi?" Menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hari semakin gelap dan semakin sunyi. Sandira tak kunjung menemukan jalan menuju lokasi tendanya. Dari atas pohon Derios menatapnya sambil nyengir tiada henti, melihat gadis itu terus berputar-putar di tengah hutan. Setelah lelah berjalan Sandira bersandar pada salah satu batang pohon seraya mengibaskan tangannya mengusir keringat. "Syuuuussh bruk!" Derios turun dari atas bak malaikat turun dari langit bawa kipas. "Astaga! Setan lompat! Katak loncat! Kutu jompat!" "Woi! Lo kebiasaan banget muncul mendadak! Untung jantung gue udah gue tempel pakai lem kaca!" Berteriak sambil menunjuk ke arah muka Derios. "Sum, kamu itu mau ikut lomba maraton?" Bertanya sambil berjongkok. Melihat pria itu berjongkok di depannya tiba-tiba, Sandira segera menjauhkan kedua kakinya. "Kenapa Lo jongkok gitu, mau bab? Di bawah kaki gue lagi! Gue bukan atasan Lo jadi gak perlulah berlutut di bawah kaki gue, atau jangan-jangan Lo mau tumbalin kaki gue buat bangun masjid?" Derios tersenyum menatap wajah Sandira, lalu menggoreskan sesuatu pada tanah di bawah kaki Sandira. "Gambar apaan sih? Gelap-gelapan begini emang kelihatan gambarnya?" Ikut duduk melihat gambar yang dibuat oleh pria misterius itu penuh rasa penasaran. "Kelihatan tidak?" Tanya Derios. "Gak kelihatan sama sekali, Lo gambar apaan sih? Kaki anjing ya? Kecil banget, bikin rabun mata gue kalau gak pakai senter." "Wussh!" Meniup ujung jarinya lalu menyentuh gambar di atas tanah. Terbentuk jejak-jejak kaki berwarna biru. "Apaan ini? Lo tukang sulap ya? Wah bagus banget kaya sinar kunang-kunang." "Kamu ikuti cahaya ini, kamu nanti akan sampai ke lokasi teman-teman kamu." Sandira melongo menatap Derios. "Kenapa?" Tanya Derios tidak mengerti. "Lo mau bikin gue hutang budi? Terus entah berapa ratus tahun kemudian Lo nagih nakutin cucu anak gue?? Gak bakalan!" Sandira melengos menatap ke arah lain pura-pura marah. "Jadi kamu tidak mau kembali untuk bertemu dengan teman-temanmu? Bagus juga, dik Suminem ikut aku pulang saja bagaimana?" Tawarnya padanya, masih tersenyum menunggu jawaban dari Sandira. "Enak aja ngajakin pulang, sampai rumah Lo mau rebus gue bikin makan malam kan?" Tebaknya sambil berkacak pinggang. "Nggaklah, mana mungkin." Sandira masih termenung, gadis itu bingung gundah gulana. Antara iya dan tidak. Terus berfikir lama sekali. "Ah, kalau aku mengikuti jejak ini bakal sampai ke tempat temanku, kalau ikut dia ke rumahnya belum tentu bisa pulang lagi." Berbisik di dalam hatinya. Sandira segera berdiri, dan mulai melangkah mengikuti jejak kaki tersebut. Ternyata benar-benar sampai di posko tenda kemping teman-teman setimnya. "Dia meninggalkanku begitu saja?" Merasa kehilangan teman baru. Sandira lega sekali bisa berkumpul kembali bersama dengan teman-teman satu kelasnya. "Dari mana aja sih lon Sand? Gue tadi balik ke sana sama temen-temen tapi gak nemuin Lo. Gue pikir Lo sudah ilang diembat tuyul botak." Teriak Erni seraya memeluk bahunya. "Bau apaan nih? Baju Lo basah gini? Lo habis renang ya?" "Gue kecebur tadi di sungai, kepeleset. Untung kepala gue masih utuh coba kalau gegar otak pasti hanyut ke laut!" Sandira sengaja menutupi kejadian yang sebenarnya. Dia paling tidak ingin membuat teman sekelasnya khawatir padanya. "Gue ganti baju dulu ya?" "Ya udah sana, ntar Lo masuk angin lagi." Gadis itu melangkah masuk ke dalam tenda. Mencari baju dari dalam tas ransel warna hitam miliknya. Tanpa ragu sedikitpun Sandira segera melepaskan bajunya satu persatu sampai pakaian dalamnya. Saat memasukkan salah satu kakinya pada lubang celana. Tiba-tiba terdengar suara familiar. "Pakai baju doang lama banget!" "Astaga! Setan gila!" Melompat jatuh menindih pria di depannya. Waktu mendadak seolah berhenti. Dua mata bertemu seketika itu, suara guntur menggelegar di musim kemarau. "Apa kamu sudah siap menerima cintaku sepenuhnya dik Suminem?" Mengedipkan sebelah matanya tebar pesona. "Aje gile terima cinta! Cinta dari mana? Eh mas setan, kita itu bukan jodoh! Jadi jangan ngayal dunia transparan bersatu dengan dunia nyata." Mengambil selimut secepat kilat menutupi seluruh tubuhnya. "Tapi aku sudah lihat isinya loh, semuanya, lengkap beserta aksesorisnya! Yakin gak mau nuntut tanggung jawab?" Nyengir sambil menunjuk tubuh Sandira, masih terbalut selimut tebal. Suasana benar-benar sunyi tidak terdengar binatang malam yang tadinya riuh kompak bernyanyi bak paduan suara regu koor. "Enak aja, sampai kiamat gue juga tetep jawab no way! Emang hidup gue semiris itu apa?! Nuntut tanggung jawab sama setan! Hamil juga kagak!" "Lo bikin semua alam sekitar pingsan ya? Sepi gini?" Derios merangkak mendekat ke arah Sandira. Menatap tajam. Semakin lama jarak mereka berdua semakin dekat. Gadis itu kelabakan beringsut menjauh darinya. "Woi! Lo mau ngapain sih? Merangkak gak jelas, duit Lo jatuh? Gue bantu nyari, tapi Lo jangan deket-deket gini dong!" Beringsut mundur sampai nggak bisa mundur lagi. "Wajahmu..." "Kenapa wajah gue? Berantakan?" Derios menggelengkan kepalanya sambil tersenyum manis. "Alamak! Senyumnya madu sekilo kalah manisnya!" Jerit hati kecilnya tanpa bisa ditahan. "Tapi sayangnya setan!" Mendesah putus harapan. "Wajahmu.. cantik. Mau dong jadi istriku?" "Deg! Deg! Deg! Sialan gue dilamar sama setan! Yang benar saja, pengennya nikah sama Peter Crouch, malah dapetnya setan!" Suara detak jantung Sandira kembali bergemuruh. Jika tidak berada di dalam rongga d**a pasti suaranya terdengar sampai ke ujung kampung. "Mas setan! Gue bukannya nolak, tapi gue seratus kali nolak. Dunia kita berbeda jauh, ibarat gue tinggal di langit Lo tinggal di selokan. Jadi berhenti deh ngayalnya." Bicara seakan-akan dirinya adalah bidadari dari kayangan bertemu dengan si Upik buruk rupa. "Perkenalkan namaku Derios, anak vampir dari Belanda!" Mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Hahahaha, vampir! Vampir? Vampir yang suka gigit leher itu kan?" Menebak sambil tertawa campur nangis. Derios penuh semangat menganggukkan kepalanya. "Yah.. dia ngangguk pula! Artinya bener dong! Apes gue! Udah belum pakai baju, mau kabur gimana coba! Masa kabur pakai selimut? Ntar yang lihat dipikir gue artis porno!" Menundukkan kepalanya sambil memeluk selimutnya rapat-rapat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD