don't mess with me!

1729 Words
Drystan menghela napas lega. Berhasil lolos dari orang yang berkaitan dengan hukum adalah kelegaan tersendiri. Sudah dua tahun ia harus menyembunyikan wajahnya setiap kali pergi keluar. Memang orang-orang di kawasan Upper East Side tidak akan mengenalinya—setidaknya identitasnya tidak dipublikasikan, tapi gerombolan orang-orang kaya di wilayah ini pastilah ada sebagian yang merupakan bagian dari kepolisian. Darren memberinya rumah di area ini karena dekat dengan Bar Red Hand hingga Kakaknya yang sering keluar negeri untuk urusannya masih bisa mengawasinya karena sebagian orang-orangnya berada di area ini. Upper East Side tak pernah sepi. Kawasan yang dimiliki orang-orang eksklusif selalu menarik perhatian karena banyaknya destinasi untuk dikunjungi. Restoran mewah dan toko-toko desainer berderet di sepanjang Madison Avenue. Jelas area ini sebenarnya tidak aman untuk orang sepertinya. Drystan bukannya keberatan untuk tinggal di sini, selama seluruh kebutuhannya ditangani Kakaknya, maka Drystan hanya perlu melakukan pekerjaan kecil dan sisanya ia bisa bermalas-malasan atau melakukan apapun yang ia mau. Sayang sekali, usai pertemuan tak sengajanya dengan pria bersetelan rapi di Bar mungil beberapa waktu lalu, Drystan menjadi khawatir tempat tinggalnya akan diserang seperti sebelumnya. Ia belum lama pindah ke Upper East Side, dan ia tidak mau harus dipindahkan lagi. Pihak kepolisian memang terkesan abai terhadapnya, tapi tetap saja namanya ada dalam catatan kriminal di kantor kepolisian. Darren mungkin bisa bernegosiasi, tapi karena namanya sudah masuk ke catatan FBI, kemana pun ia pergi seolah-olah ada orang yang mengawasi. Drystan sudah masuk dalam catatan kriminal kelas tinggi, dan ia sungguh bersyukur kuasa Kakaknya bisa sedikit meringankannya. Drystan khawatir lama-lama Interpol akan ikut bertindak sebab catatan kriminalnya ada di beberapa Negara. “Ada masalah?” Aaron, salah satu bawahan Kakaknya yang ditugaskan untuk menjaga Drystan. Pria tinggi besar itu menuangkan minum untuk adik bosnya. “Aku benar-benar ingin operasi dan mengubah wajahku!” seru Drystan kesal. Ia menjambak rambut pirang keriting miliknya. “Kemana pun aku pergi, aku harus menyembunyikan wajahku. Bahkan kartu identitasku semuanya palsu. Sial!” “Bertemu dengan polisi?” Drystan mengangkat bahu. “Tidak ada seragam polisi, tapi dia memiliki dokumen tentangku. Mungkin detektif?” Aaron duduk di hadapan Drystan. “Kenapa detektif memiliki identitasmu? Bos Darren sudah membersihkan semua namamu di kepolisian pusat.” “Entahlah, mungkin dia tidak terkait dengan kepolisian? Mungkin dia bekerja untuk organisasi lain yang bermusuhan dengan Darren? Atau.... dia adalah anggota unit khusus kepolisian yang memang bekerja secara rahasia untuk mengungkap kriminal kelas tinggi seperti aku. Dia benar-benar tampak seperti pekerja kantoran biasa dengan tas dan setelan yang menempel di tubuhnya, tapi aku melihat pistol terselip di pinggang, juga kenyataan bahwa dia langsung mengenaliku begitu melihat wajahku. Bahkan orang-orang di Upper East Side sama sekali tak mengenaliku, bagaimana bisa dia langsung tahu tentangku?” “Perlu ku laporkan pada Bos Darren supaya kita dipindahkan? Atau mungkin kita hilangkan saja dia." Drystan menggeleng kencang. “No! please, aku lelah terus berpindah-pindah. Darren pasti bisa membereskannya selama tidak ada kaitan dengan kepolisian internasional. Jangan bunuh dia. Jika benar dia bekerja untuk organisasi lain, maka cukup mudah untuk menghapus eksistensi dirinya.Tetapi bagaimana jika dia memang anggota unit khusus kepolisian? Urusannya bisa semakin runyam.” Aaron mengangguk. “Lalu pekerjaanmu?” “Aman. Hal seperti itu tak susah kulakukan, satu-satunya yang menghambatku hanyalah para polisi-polisi itu.” “Hanya polisi dengan jabatan tinggi yang tau tentangmu ‘kan?” Drystan mengangguk. “Ya, kalau Darren tidak bernegosiasi waktu itu, sekarang pasti aku sudah ada di penjara.” Aaron tertawa. “Mereka tidak akan semudah itu memenjarakanmu, kau lupa dengan kuasa Kakakmu?” Drystan mengangguk-angguk. “Ya… ya… Darren punya segalanya. Sial, kenapa juga aku harus hidup dalam pelarian.” Aaron menggeleng maklum. Drystan adalah anak yang cukup banyak mengeluh meski pekerjaannya selalu mulus, dan Darren sebagai pemimpin grup begitu menjaga Drystan. Apapun ia lakukan agar adiknya tetap bisa menghirup udara bebas meski beberapa tindakan kriminalnya sempat ketahuan. Ѡ “Segelas Dom Perignon, Tuan?” Drystan menggeleng. “Mojito.” Sang Bartender mengangguk. Drystan cukup terkejut ketika menyadari bahwa Bartender disini mengingat pesanannya. Ia hanya sekali saja mampir kemari karena tidak sengaja. “Jagermeister, please.” Kedua bola mata Drystan membola. Jelas, suara yang sangat ia kenali juga pesanan yang sama. Drystan menoleh patah-patah, sebuah senyum dingin terpampang di hapadannya, disunggingkan oleh seorang pria dewasa bersetelan rapi, yang juga sangat ingin tidak ditemui oleh Drystan. “Kita bertemu lagi.” Sebuah seringai licik terpasang. Drystan meremat gelas mojito miliknya, ingin sekali segera melarikan diri. Bodohnya ia kembali ke Bar itu lagi, tapi melarikan diri secara tiba-tiba juga tidak terlalu menyenangkan. Drystan baru saja duduk dan menyesap satu teguk mojitonya astaga, kenapa pula pria itu sudah datang dan mengacaukan segalanya. Drystan secara reflek meraba pakaiannya sendiri. Apakah ia dimata-matai? Mengapa pria itu datang di waktu yang bersamaan dengan Drystan? “Jadi apa yang sudah kau lakukan hari ini sampai-sampai wajah si berlian ini begitu masam?” Drystan memejamkan mata kesal. Ia sudah tahu julukan itu. Meskipun tampak indah, Drystan tetap tidak suka mendengarnya, apalagi dilafalkan oleh orang yang ingin ia hindari, dengan nada berat dan sexy yang membuatnya semakin ingin mengangkat kaki dari sana. Julukan itu muncul begitu saja setelah nama Drystan menjadi hal yang tabu untuk diucapkan sembarangan bahkan untuk kepolisian sekali pun. Itu merujuk pada bola mata Drystan yang cerah dan berkilauan seperti bongkahan berlian. Satu-satunya yang mudah diingat tentang Drystan adalah bola matanya yang indah. “Apa yang kau mau?” Drystan hampir-hampir menggeram marah. Hanya dengan melihat seringai menyebalkannya, jari-jari Drystan sudah gatal ingin menarik pelatuk pistol dan melubangi kepala pria itu. “Dan kau akan mengabulkannya?” “Jangan bermain-main denganku!” Pria itu mengulurkan tangan kanannya. “Edward Hoover. Bagaimana kalau kita berkenalan?” Drystan mendengus, enggan sekali menyambut uluran tangan di hadapannya. Tapi sial baginya, beberapa pengunjung Bar dan bahkan Bartender muda di hadapannya menatapnya sejak tadi. Drystan tak ingin tampak buruk di hadapan orang lain, maka dengan berat hati ia menerima uluran tangan itu. Hanya beberapa detik dan ia langsung menariknya. Untuk beberapa saat mereka diam menikmati minuman masing-masing. Drystan tidak tahu apa yang dipikirkan oleh pria di sampingnya, yang jelas sejak tadi ia merasakan lirikan tajam yang membuatnya benar-benar risih dan ingin pergi saja. Sayang sekali, sepertinya ia benar-benar harus meninggalkan Bar tenang ini untuk selama-lamanya, bahkan jika keadaan semakin buruk, Darren pasti akan kembali memaksanya pindah. Terlalu riskan jika tetap berada di sini dengan seorang pria yang mengetahui identitasnya bahkan julukannya yang biasa disebut oleh anggota kepolisian. “Jadi Drystan, kau tinggal di area ini ya?” Drystan mengeratkan pegangannya pada gelas. Edward tampak benar-benar santai seolah mereka hanya kenalan biasa. Berbeda dengan Drystan yang sejak tadi terus-terusan khawatir, Edward seolah menikmatinya. Sial. “Bukan urusanmu.” Balas Drystan ketus. Edward tertawa. “Tak heran jika seorang businessman tinggal di area eksklusif seperti ini.” Tentu Drystan sadar jika Edward sengaja menyebut jenis pekerjaan itu sekalian menyindirnya. Orang yang dipertemuan pertama langsung tahu mengenai Drystan pastilah bukan orang biasa. Drystan tak memperkenalkan dirinya, dan biasanya ia juga tak memakai nama aslinya. Drystan tak melihat lencana polisi pada tubuh pria di sampingnya, ia bahkan hanya menggunakan setelan jas seperti pekerja kantoran pada umunya. Satu-satunya yang menarik perhatian adalah, ia menyelipkan pistol di pinggangnya. Dalam situasi seperti ini, tak mungkin seorang pekerja biasa akan berjalan-jalan sembari membawa-bawa pistol. Pistol memang tidak ilegal di Negara mereka, tetapi bukan berarti bisa dibawa-bawa sesuka hati dalam kegiatan sehari-hari. Jelas dia bukan orang biasa. Masalahnya, siapa dia sebenarnya? Drystan tidak betah berlama-lama. Kehadiran pria misterius di sampingnya membuat ia benar-benar waspada. Tujuannya kemari untuk menenangkan diri, tapi bukannya ketenangan yang ia dapatkan malah rasa khawatir yang semakin besar. Sial memang. “Aku pergi.” Drystan buru-buru melangkahkan kakinya keluar usai membayar minumannya. Harusnya ia bisa sedikit bernapa lega, tapi lagi-lagi pria bernama Edward Hoover itu sepertinya memang berniat menangkapnya. “Kenapa kau mengikutiku?” pertanyaan Drystan nyaris seperti geraman. Ia menggenggam erat telapak tangannya, menahan diri untuk tak menarik pistol miliknya dan melubangi kepala pria itu. Edward menyeringai. “Aku ingin mengenalmu.” “Kau sudah tau namaku!” “Oh? Tapi kau belum memperkenalkan dirimu.” Drystan menggigit bibir bawahnya, kesal setengah mati. “Apa pentingnya? Kenapa aku harus memperkenalkan diri di saat kau sudah tau namaku?” “Itu tata krama, Drystan.” Drystan mendengus. “Kau bahkan sudah memanggil namaku! Sekarang kau bicara soal sopan santun?” Drystan tidak terbiasa dipanggil namanya dengan orang baru. Sejak dulu, semua orang hanya memanggilnya “Levin” hanya Darren dan beberapa bawahan terpercaya Kakaknya saja yang berani menyebut nama Drystan. Lagipula, sudah cukup lama Darren membuatkan identitas palsu untuknya, dan untuk keamanannya pulalah namanya sendiri jarang disebutkan. Edward kembali tersenyum. “Kenapa kau begitu ketus padaku?” “Apa kau perlu bertanya?” Drystan mempercepat langkahnya. Jalanan Upper East Side memang tak pernah sepi saking banyaknya tempat menarik di sini. Orang-orang kaya tak pernah bosan menghabiskan uang mereka. Drystan menggerutu kesal, ia sudah cukup lelah selalu menyembunyikan identitasnya. Sekarang, tiba-tiba seorang pria asing mengintilinya, bersikap sok ramah. Drystan tidak mungkin langsung pulang ke rumahnya, meski ia yakin sekali pria bernama Edward Hoover itu kemungkinan besar sudah tau di mana ia tinggal. “Berhentilah mengikutiku dan pulanglah, astaga!” Drystan mengusap wajahnya kasar. Edward tertawa kecil. “Kenapa ingin sekali aku pergi? Ku rasa aku tidak mengganggumu.” “Kau mengganggu!” Edward menahan pergelangan tangan Drystan dengan erat, membuat pemuda itu meringis karena ngilu. “Lepaskan, sialan!” “Kau akan lari kalau ku lepaskan.” “Lalu kenapa? Sudah jelas aku lari dari orang menyebalkan sepertimu!” “Sorry, tanganmu pasti sakit. Tapi aku—“ “Hoover?” Tubuh Drystan menegang. Edward Hoover berbalik, membuatnya berada tepat di hadapan Drystan dan menutupinya. “Apa yang kau lakukan di jalanan, Hoover?” Dua orang pria berpakaian seragam polisi mendekat. Drystan benar-benar khawatir. Edward Hoover masih memegangi pergelangan tangannya, dan itu pulalah yang membuatnya semakin khawatir. Bagaimana jika pria ini berniat menyerahkannya ke para polisi itu?” “Siapa itu?” Edward tertawa. “Sorry, Mr. Smith aku sedang sedikit bertengkar dengan temanku, biasa urusan wanita.” Polisi yang dipanggil Mr. Smith itu terbahak. “Begitu? Baiklah-baiklah, semoga masalahmu segera selesai.” Drystan menunduk semakin dalam ketika Mr. Smith melirik ke arahnya, dan entah benar atau tidak, Edward semakin mendempetkan tubuhnya, seolah membuatnya semakin tertutup agar Mr. Smith tak mengenali wajahnya. Jika memang Eward Hoover salah satu anggota kepolisian, kenapa dia melindunginya dari mereka? Ѡ
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD