Abangku Sayang

1878 Words
Teng teng teng ...! Bel bunyi tanda pelajaran berakhir. Semua siswa yang sudah jenuh dengan pelajaran terakhir pun langsung semangat '45 membereskan buku-buku mereka tak terkecuali Aisyah. Sambil membereskan buku- bukunya, sesekali dia menoleh ke arah jendela. Berharap agar orang yang ada di pikirannya nggak menemukannya. "Lo seriusan ngerjain si Wahyu?" ujar Rena seusai guru keluar kelas. Rena masih nggak percaya, murid baru berani-beraninya mengerjai seorang Wahyu. Rena saja yang sudah dua tahun jadi teman sekelas Wahyu, ngobrol dengannya saja nggak pernah, kecuali masalah pelajaran. Nah ini? Aisyah? Cewek mungil, manis dengan lesung pipitnya, berkucir kuda, kaos kaki pendek, beneran cewek badung banget kelihatannya. Rena menelan ludah membayangkan apa yang bakalan terjadi sama Aisyah, sudah berani mengerjai balik seorang Wahyu. "Iyaaa, gue nggak terimalah dikerjain tuh cowok gila. Sekarang pasti dia lagi di omelin abis-abisan di ruang kepsek," balas Aiysah masih sibuk membereskan buku. Mukanya sedikit panik karena ponselnya terus- terusan bergetar tanda kalau ada panggilan masuk. "Gila lo, Ai, ya udah yuk buruan pulang, daripada lo dicegat Wahyu," ajak Rena beranjak berdiri. "Lo duluan aja, gue masih ada urusan. Eh, Ren ...," ucap Aisyah terhenti, "anak kelas duabelas udah pulang belum?" "Anak kelas duabelas?" tanya Rena balik mengerutkan kening kembali heran, Aisyah hanya mengangguk. "Iya, kalau nggak salah. Kelas duabelas masih belum pulang kan?" "Iya sih, masih ada bimbingan buat kelulusan tahun depan, kenapa?" "Hehehe, nggak apa-apa kok. Ya udah, sana gih, pulang," pinta Aisyah. Segera setelah Rena keluar kelas, Aisyah bersiap-siap segera untuk pulang, alias kabur dari .... "Siang murid baru ...," sapa seseorang mengagetkan Aisyah. Haisttt, Aisyah mendengus kesal melihatnya, cowok si Biang Onar, Wahyu. Wahyu yang sudah kembali berseragam sekolah, tersenyum tipis menyelipkan kedua tangannya di saku celana, sembari menghampiri meja Aisyah. Wahyu beneran nggak terima dengan kelakuan Aisyah. Seharusnya dia yang mengerjai anak baru, bukan anak baru yang mengerjai dia. "Buru-buru amat, mau ke mana nih?" tanya Wahyu santai kali ini menyenderkan tubuhnya di meja Aisyah. Aisyah hanya tersenyum tipis lalu berdiri, tepat menatap  kedua mata Wahyu. Mata yang bening, tapi tajam. "Mau apa Anda tanya-tanya, Bapak Wahyu?" tanya Aisyah balik, pelan tapi sarat akan kekesalan. Ganti Wahyu yang tersenyum mendengar jawaban Aisyah, dia nggak nyangka kalau ada cewek yang berani melawannya. "Nggak ada apa-apa kok, cuma mau main-main aja," jawab Wahyu tepat saat ponsel Aisyah yang tergeletak di meja bergetar lagi. Aisyah yang tadinya tenang, jadi sedikit ketakutan saat ponselnnya bergetar. Dia ambil tas rangselnya dan beranjak pergi. "Sorry ya, Pak Wahyu, nggak buat sekarang!" balas Aisyah berniat keluar kelas, tapi kaki kanan Wahyu sudah ditopangkan di meja menghalangi jalan Aisyah untuk keluar. "Gue kan belum selesai ngomong, kok mau pergi aja si elo." "Gue kan udah bilang nggak buat sekarang!" ujar Aisyah dan DUGGG, tendangan keras dari Aisyah mengenai kaki Wahyu. Begitu Wayhu menurunkan kakinya dia langsung lari keluar kelas. "Auchhhh, sialll! heh cewek gilaa, b******k lo!" umpat Wahyu keras, sialnya mau mengejar tapi kakinya terlalu sakit. Wahyu benar-benar terkejut ada cewek yang bukan saja berani menentangnya, tapi juga menendangnya. Wahyu berjanji sama dirinya sendiri, akan buat perhitungan dengan cewek yang bernama Aisyah itu. *** Dengan langkah memburu Aisyah menyusuri koridor menuju gerbang sekolah, tapi langkahnya langsung terhenti. Saat melihat beberapa gerombol murid yang sudah berdiri menghadang jalannya. Satu di antara mereka yang ada paling depan  sudah memasang muka termurkanya melihat Aisyah, Aisyah yang dipandang pun cuma nyengir pasang muka termanisnya, siap-siap buat lari maraton. Sesekali dia pandangi sekitar, melihat jalan yang kiranya bisa dia pakai buat kabur. "Mau ke mana lo?" tanya murid itu yang ada paling depan. "Ehh, mau pulang lah, Bang. Mau ke mana lagi?" jawab Aisyah lirih siap-siap lari ke arah samping kanan. Dia berniat meloncati taman. "Balikin dompet gue sekarang!" ucapnya lagi yang dipanggil Aisyah dengan 'Bang'. "Hmmm ... dompet?" tanya Aisyah balik. "Balikin dompet gue sekarang, Ai. Gue tahu dompet gue lo bawa, balikin sekarang." pinta murid itu masih dengan nada kalem, tapi mukanya sudah emosi. "Nggak buat sekarang, Bang Al, Ai pinjem dulu ya ..." seru Aisyah langsung lari ke samping meloncati taman menuju lapangan basket. Ali, satu-satunya kakak kandung Aisyah. Ali yang baru sadar kalau dompetnya nggak ada di dalam tas, langsung menelpon rumah meminta tukang kebun untuk mengantar dompetnya ke sekolah. Tapi langsung emosi saat si tukang kebun rumahnya bilang kalau Aisyah sudah membawanya ke sekolah. "Buruan kejar dia, tangkep dia, ambil dompet gue!" perintah Ali langsung dituruti teman-temannya. Mereka pun langsung menghambur lari mengejar Aisyah. *** Aisyah terus-terusan lari nggak jelas arahnya. Karena memang dia belum tahu betul area sekolah barunya ini. Dan bukannya sampai ke gerbang sekolah, Aisyah malah lari menuju parkiran untuk murid. Langkah kakinya langsung terhenti saat nggak ada jalan keluar lagi buat dia. "Haistt, s**l! Ngapain gue malah nyasar di sini. Ke mana lagi nih," gumamnya bingung gelagapan. Tepat saat Ali cs sudah ada di belakangnya, di antara kerumunan murid-murid yang mengambil motor untuk pulang. "Lo udah nggak bisa ke mana-mana lagi, Ai, buruan balikin dompet abang," seru Ali sudah ancang- ancang menghampiri Aisyah. "Ai udah bilang kan, Bang, nggak buat sekarang, Ai mau jajan!" jawab Aisyah berusah berkelit di antara murid-murid menjauhi Ali dan BRUKKK dia menabrak salah satu murid yang mengendarai Ninja hitam. Napas Aisyah yang sudah memburu, semakin ngos-ngosan karena takut. Kedua tangannya memegang stang motor dari depan menatap si pengendara dengan tatapan takut. "Ai, lo nggak apa-apa kan?" teriak Ali berlari menghampiri Aisyah. Wajah Ali langsung panik saat tahu adiknya hampir saja tertabrak motor, motor yang seharusnya nggak muncul di hadapannya sekarang. Aisyah yang tersadar langsung lari ke belakang motor Ninja, memegangi pegangan belakang motor Ninja. "Bang Ali, STOPPP!!!" teriak Aisyah menghentikan langkah Ali. Aisyah keluarkan dompet milik Ali dari dalam tasnya. "Ai bilang stop, Bang, kalau Bang Al melangkah sekali lagi, dompet Abang, Ai buang ke parit ini ...," ancam Aisyah melirik parit yang kebetulan ada di sampingnya. Diacung-acungkannya dompet itu di atas parit. Aisyah tersenyum puas, dia merasa kalau kejar- kejaran ini dimenangkannya, setelah melihat dengan kebetulan juga sepeda Fahmi teman Ali terparkir tepat di belakangnya. "Balikin ya, Ai dompet Abang," pinta Ali kali ini lebih kalem. Dia tahu badungnya adik satu-satunya itu. Aisyah nggak pernah menggertak, kalau ancamannya nggak didengarkan, pasti bakal dilakuin. "Bang Al sih resek, ini kan hari pertama Ai sekolah di sini, seharusnya Bang Al bangunin Ai dong, malah ditinggal, jadi buat hukumannya, uang Bang Ali Ai minta. Laper, Bang," jelas Aisyah mengelus perutnya sendiri nyengir, mengambil uang dari dompet Ali, dan langsung melempar dompetnya ke arah Ali. "Makasih Bang Al yang cakep. Bang Fahmiiii ...!" teriak Aisyah puas memandang Fahmi yang sedari tadi berdiri di samping Ali. "Sepedanya Ai pinjem ya? Bang Fahmi pulang bareng Bang Al aja. Dadaaah," seru Aisyah senang, langsung mengambil alih sepeda Fahmi yang ada di belakangnya, meluncur meninggalkan sekolah. Yang punya sepeda cuma bisa geleng-geleng melihat tingkah Aisyah. Adik perempuan Ali, yang sudah Fahmi kenal sejak Aisyah umur enam tahun. "Adik lo emang beneran badung, pake banget," celetuk Fahmi menepuk pundak Ali yang sedang pasang muka kusam melihat isi dompetnya kosong. Nggak sepeser pun Aisyah menyisakan uang di dompetnya. "Haisttt, nggak jadi futsall kan kalau kayak gini?" Ali memasukkan dompetnya ke saku celana, kembali ke kelas lunglai. *** Eza yang tadi berencana langsung ke lokasi syuting mendandak membatalkan niatnya itu. Dia meluncur meninggalkan sekolah dengan Ninja hitamnya mengikuti gadis yang tadi keluar sekolah menaiki sepeda gunung milik salah satu kakak kelasnya—siapa lagi kalau bukan Aisyah. Eza beneran nggak menyangka, sewaktu dia akan keluar parkiran tiba-tiba saja ada murid yang berlari ke arahnya. Untung saja kopling motornya belum dilepas, setelah masuk gigi 1. Kalau nggak, Eza jamin murid itu bakal tertabrak. Dari balik kaca helmnya, dia metatap mata mungil Aisyah yang ada di depannya saat itu. Mata kecil yang sedang panik karena dikejar-kejar. Mata yang berhasil menyita perhatian Eza sejak dulu. Yah, karena dia sedang dikejar-kejar salah satu pentolan sekolah SMA Gajah Mada, Ali. Salah satu, karena yang menyandang pentolan sekolah bukan hanya Ali, melainkan dirinya sendiri dan juga satu lagi Wahyu anak kelas 11 ipa 1. Eza mengikuti Aisyah yang berhenti di depan minimarket dekat taman. Eza menghentikan motornya di pinggir taman. Diawasinya Aisyah yang masuk ke minimarket. Nggak lama Aisyah keluar dengan kantong kresek terisi, lalu dia duduk di gazebo taman. Wajah mungil Aisyah semakin membuat Eza penasaran, rasanya sudah lama dia nggak melihat Aisyah. Dengan keringat yang sedikit membasahi keningnya, dia begitu antusias membuka snack yang tadi dibeli, sambil membuka botol jus kemasan, lalu meminumnya seketika. Eza tersenyum tipis melihat tingkah konyol Aisyah itu. Karena nggak lama setelah Aisyah menghabiskan makanannya, dia langsung tertidur di meja gazebo, nyenyak banget membuat Eza berniat mendekatinya. Eza duduk di depan Aisyah. Dia perhatikan lekuk wajah Aisyah yang pulas banget tidurnya. "Cewek mungil ngapain tidur di tempat sembarangan?" gumam Eza menopangkan dagu di tangan kanannya sambil masih memperhatikan Aisyah tidur. Nggak lama, ponsel Aisyah yang tergeletak di dekatnya bunyi, sambil masih merem, Aisyah meraih ponselnya. "Waalaikumsalam, Bang. Lagi di taman deket rumah. Iya, abang ke sini aja ambil sepedanya Bang Fahmi. Iya, Ai tunggu," ucap Aisyah langsung menutup teleponnya dan kembali tidur. Lima belas menit setelah Aisyah terima telpon, motor Ali sudah berada di pinggir taman. Eza yang sudah melihatnya buru-buru pergi sebelum ketahuan Ali. "Tidur yang nyenyak ya, Cewek Mungil. Besok kita bakal ketemu lagi, see you," bisik Eza mengelus kepala Aisyah lembut tanpa membangunkannya. *** "Nih anak, masih sama aja hobi tidur sembarangan tempat," gumam Fahmi memandangi Aisyah yang masih pulas tidur. Ali hanya diam tersenyum menanggapi Fahmi, Ali sudah memakluminya, adik terbadungnya, yang walaupun nakal, Ali tetap menyayanginya. Sejak orangtuanya bercerai setahun lalu, Aisyah merasa sangat terpukul. Aisyah merasa kesepian karena begitu orangtuanya bercerai, Aisyah dan juga Ali malah dititipkan di rumah nenek mereka yang dua bulan lalu baru saja meninggal, sehingga tinggal mereka berdua sendiri di rumah. Karena merasa khawatir, Ali memutuskan untuk memindahkan sekolah adiknya ini ke tempatnya, agar lebih mudah mengawasi. Sejak perceraian, Ali-lah tulang punggung untuk adiknya. Dia yang mencari uang untuk biaya sekolah mereka berdua. Kedua orangtuanya? Yah entahlah, hanya mengirimi uang perbulan itu pun berlangsung selama 4 bulan saja setelah perceraian. Setelah itu, Ayah mereka memberi Ali cabang perusahaan kecil di Bandung untuk diurusnya. Ayah Ali berdalih sibuk dengan urusannya di Kalimantan. Walaupun Ali masih sekolah, tapi dia memang terkenal dengan murid yang cerdas. Sedang Ibunya sendiri sudah menikah dengan orang Malaysia. "Thanks sepedanya, lo bisa pulang sekarang, Mi, ati-ati," ucap Ali duduk di samping Aisyah. Begitu Fahmi pergi, pelan Ali bangunkan Aisyah. Dia elus kepala Aisyah lembut," bangun, Ai. Yuk, pulang. Abang udah di sini." "Bang Al, udah dateng?" Pelan Aisyah membuka matanya tersenyum tipis lalu memeluk abangnya itu erat. "Tadi Ai ngimpi, Bang." "Ngimpi apa Ai?" "Bang Al kuliah di luar negeri seperti yang papa bilang dulu, terus Ai sendirian di Bandung," jawab Aisyah tanpa dia sadari meneteskan air matanya. Ali pun tersenyum, dia angkat muka Aisyah, dia pegang kedua pipi adiknya itu penuh kehangatan seorang kakak laki-laki, "Bang Al nggak ke mana-mana. Bang Al akan sama Ai terus, kalau Bang Al pergi keluar negeri, Ai harus ikut Abang," tutur Ali membalas pelukan adiknya itu, lalu memakaikan jaketnya ke tubuh Aisyah. "Ali Ferdiansyah, abangku sayang, Ai love banget deh kalau gini," bual Aisyah memeluk Ali semakin erat. Ali cuma geleng-geleng mengacak-acak rambut Aisyah. "Dasar lo, udah ngabisin uang gue, terus sekarang lo puji gue. Pinter banget." "Iya dong, adiknya siapa dulu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD