04 - Flashback'2

1507 Words
-happyreading- "KAK JENI AWAS!!!," BRAKKK.. Tubuh Aya terpental cukup jauh, ia tertabrak oleh mobil ugal-ugalan. Darah mulai keluar dari kepala, hidung, dan mulutnya. Sudah banyak warga sekitar dan pengendara yang turun untuk membantu Aya. Salah satu dari warga pun langsung menelpon ambulance untuk datang ke tempat kejadian. Sedangkan Jeni, ia juga tergeletak di pinggir jalan dengan darah yang terus mengalir dari kepalanya. Sama halnya dengan Aya, ia juga di kelilingi oleh banyak warga, ia bahkan sudah tidak sadarkan diri. Saat Aya mendorongnya, dari jalur kiri ada motor yang melaju sangat kencang dan menabraknya, sehingga Jeni pun terlempar dengan kepala yang menghantam keras trotoar di pinggir jalan. Berbeda dengan Jeni yang sudah tak sadarkan diri, Aya justru masih sadar. Ia dapat melihat kakaknya di angkat oleh warga untuk di bawa masuk ke dalam ambulance yang baru saja datang. Meskipun tidak jelas, ia dapat melihat wajah kakaknya yang sudah sangat pucat. Darah segar masih terus mengalir dari kepala Aya, menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan. Merasa sangat lelah menahan rasa sakit, Aya pun memilih menyerah. Pengelihatannya sudah mulai menggelap namun, ia masih dapat merasakan kalo tubuhnya sedang di angkat ke ambulance. Kepalanya terasa sangat sakit membuatnya meneteskan airmata. Kini Aya sudah berada di dalam ambulance. Sebelum pintu mobil ambulance itu tertutup, samar-samar ia dapat mendengar suara mobil ambulance kakaknya berjalan terlebih dahulu. Di dalam hatinya ia berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada kakaknya itu. Ia juga meminta maaf pada Papah dan Mamahnya karena tidak bisa menolong kakaknya. "Kak Jeni bertahanlah demi Papah dan Mamah, maafin adek ga bisa nolongin kakak." batinnya sebelum ia benar-benar tidak sadarkan diri. Sedangkan di lain tempat, kini Stephanie sedang terduduk di lantai sambil menangis terisak sambil terus menyebut nama kedua putrinya. Rival yang mendengar suara Mamanya menangis langusngturun menghampiri Mamanya ke dapur. Mata bocah itu terbelalak kaget saat melihat Mamanya  menangis dengan pecahan gelas yang mengelilinginya. "YA ALLAH, MAMAH KENAPA?!," teriak Rival kaget sambil berjalan mendekati Mamanya. "Kakak dan Adikmu kecelakaan nak," ujar Stephanie sesegukan Mendengar itu, sontak tubuh Rival langsung menegang "Mak-Maksud Mamah?," tanyanya terbata-bata. "Kakak dan Adikmu kecelakaan, sekarang mereka kritis di rumah sakit. Ayo kita kerumah sakit sekarang!," ajak Stephani sambil berdiri dan langsung berlari keluar rumah, tak lupa di ikuti oleh Rival dibelakangnya. Sebelum itu, Stephanie mengambil tas berisikan dompet dan kunci mobilnya. "Kak, dek, bertahanlah gue mohon," batin Rival Sesampainya di rumah sakit, Stephanie dan Rival langsung berlari menuju ke UGD tempat Jeni dan Aya sedang di tangani. Stephanie berlari sambil menangis membuat orang-orang bingung melihatnya. Namun, hal itu tidak di hiraukan olehnya karna yang terpenting sekarang adalah keadaan kedua putrinya. Setelah ia sampai disana, ia melihat ada dokter yang sedang berbicara dengan seorang warga. Ia sangat yakin bahwa itu dokter yang menangani Jeni dan Aya, ia pun langsung berlari ke arah dokter itu. "DOK, BAGAIMANA KEADAAN ANAK SAYA?! MEREKA BAIK-BAIK SAJA KAN!?," tanyanya pada dokter itu sambil menguncang-guncangkan tubuh dokter tersebut. "Anak ibu dalam kondisi kritis sekarang, akibat benturan yang cukup keras, ia kekurangan banyak darah dan kami sangat membutuhkan donor darah dengan golongan O." jelas dokter itu pada Stephanie. "AMBIL DARAH SAYA DOK, AMBIL SEBANYAK YANG KALIAN BUTUHKAN, CEPATTT!!!!," teriak Stephanie seperti orang gila. Melihat Mamahnya seperti itu, Rival pun langsung berlari memeluk Mamanya "Mah sudah, mereka ga bakalan kenapa-napa," ucap Rival menenangkan. bocah berumur 12 tahun itu menangis. "Baik, mari ikut saya untuk di periksa terlebih dahulu." kata dokter itu. "Nak, kamu tunggu di sini ya," ucap Stephanie pada Rival yang mengusap airmatanya. Rival hanya mengangguk dan langsung berduduk di ruang tunggu. Sedangkan Stephanie, ia sudah berjalan bersama dokter untuk melakukan pemeriksaan dan pendonoran. >~ Tiga jam telah berlalu namun belum ada apa-apa. Saat ini Rival tengah duduk sambil menunduk. Ia selalu memanjatkan doa kepada tuhan, agar kakak dan adiknya tidak apa-apa. Bocah laki-laki itu mendongak saat merasakan ada seseorang yang memeluknya. Ia tersenyum saat melihat Stephanie memeluknya sambil tersenyum. "Kita berdoa ya nak, supaya kakak dan adikmu tidak apa-apa," ucap Stephani lembut. Rival pun hanya mengangguk dan langsung menunduk kembali untuk berdoa. Namun, ia teringat seseorang dan langsung mendongak melihat Mamahnya yang kembali menangis. "Mah, Papah ga ditelpon?," tanya Rival Mendengar pertanyaan putranya, Stephani pun langsung menggelengkan kepalanya dengan tatapan kosong. "Kenapa mah, Papahkan harus tau?," tanya Rival bingung. "Jangan nak, kasian Papah. Papah lagi di luar negri sekarang, mamah gak mau papah kepikiran. Nanti aja ya, kalo papah sudah pulang, kita kasih tau Papah," jelas Stephani yang membuat Rival mengangguk paham. Mereka mendongak bersamaan ketika mendengarkan teriakan seseorang yang tak lain ada Santi, adik dari Stephanie. Mereka berdua tersenyum saat melihat Santi, Randy dan anak mereka yang bernama Ririn mendekat. Santi pun langsung memeluk Stephani erat untuk memberikan kekuatan pada kakaknya. Sedangkan Ririn, ia juga melakukan hal yang sama seperti mamanya lakukan kepada Rival. Setelah berpelukkan, Randy langsung menanyakan pada Stephani apa yang terjadi sebenarnya. Stephanie langsung menceritakan apa yang terjadi. Setelah menceritakan itu, Santi bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti Rival tanyakan tadi. "Kak, apa sebaiknya kita kasih rau Kak Reky tentang hal ini?," tanya Santi yang di balas gelengan oleh Stephanie. "Dia lagi kerja di negeri orang sekarang, aku ga mau dia kepikiran hal ini," jelasnya di balas anggukan pasrah oleh Santi dan Randy. "Yaudah, itu terserah kakak aja," pasrahnya. Tak lama kemudian, pintu ruang UGD pun terbuka. Melihat itu, sontak mereka semua langsung berdiri menghampiri dokter yang menangani Jeni dan Aya. "Dok, bagaimana keadaan anak saya?," tanya Stephanie. "Maaf, anak ibu dalam masa kritis dan mengalami koma. Dan maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin namun, tuhan berkehendak lain." jawab dokter itu dengan raut wajah yang terlihat sedih. "Mak-Maksud dokter?," tanya Stephanie yang kembali menangis ketika mendengar penjelasan dokter tersebut. "Salah satu dari mereka tidak bisa kami selamatkan. Anak ibu meninggal dunia," jelas dokter itu membuat semua orang terkejut. "GAK MUNGKIN, DOKTER BOHONG KAN?!," teriak Rival yang langsung di tahan oleh Randy. Sedangkan Stephanie ia langsung berlari memasuki ruangan itu. Mereka semua pun langsung berlari mengejar Stephanie dan betapa terkejutnya mereka saat melihat tubuh kaku seseorang yang sudah ditutupi kain putih. Mereka pun mendekat dan Stephanie langsung membuka kain penutup itu. "JENIII!!," teriak mereka semua. Melihat siapa yang ada dibalik kain itu, sontak membuat mereka semua menangis termasuk Randy. Rasanya, mereka seperti bermimpi saat melihat tubuh Jeni sudah terbujur kaku. "Nak bangun, kamu becanda kan nak?," ucap Stephanie sambil mengguncang tubuh Jeni. "JENI BANGUN, JANGAN TINGGALIN MAMAH NAK, MAMAH MASIH BUTUH KAMU!," teriak Stephanie yang masih terus mengguncang tubuh Stephanie. "KAK SUDAH, IKHLASIN JENI,.KASIAN DIA!," tahan Santi yang juga menangis "Gak, ini gak mungkin!," lirihnya sebelum tubuhnya ambruk ke lantai. Berbeda dengan Stephani yang menangis sambil berteriak, Rival hanya bisa menangis dalam diam. Ia seperti sedang bermimpi sekarang. Ia mencoba menahan isakannya untuk tidak keluar namun ia tidak bisa. "Kalo mau nangis jangan di tahan keluarin aja!," titah Ririn yang juga terisak. Hiks...hiks...hiks Rival menangis terisak-isak di pelukan Ririn. Ia sudah tidak lagi dapat menahan isakannya apa lagi saat melihat mamahnya  jatuh pingsan dan langsung diangkat oleh Randy keluar ruangan, disusul oleh Santi. Ia melepaskan pelukkannya pada Ririn dan langsung berjalan mendekati mayat kakaknya. "Kak, kenapa kakak pergi secepat ini? Apa kakak udah ga sayang sama Papah, Mamah, Rival, sama Aya?," lirihnya "Sabar Al, lo harus kuat," ucap Ririn menguatkan. "Al masih ga nyangka Kak, gimana bisa Kak Jeni pergi secepat ini?," lirih Rival. "Yaudah sekarang kita keluar, liat keadaan Mamah lo," ucap Ririn lembut. >~ Kini, semua orang berada di pemakaman Jeni kecuali Aya. Gadis kecil itu masih setia tidur di ranjang rumah sakit dengan peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Kondisinya masih sangat lemah sekarang. Pemakaman Jeni di lakukan sangat pagi, karena jika Stephanie melihat jenazah putri sulungnya itu ia selalu pingsan. Seperti sekarang, ia pingsan lagi saat melihat jenazah anaknya di masukkan ke liang kubur. Setelah semua proses pemakaman selesai, keluarga dan tetangga mulai meninggalkan tempat itu. Termasuk Santi dan Randy yang sedang menggedong Stephanie ke mobil. Namun, Rival masih enggan meninggalkan tempat itu. Ia masih setia menatap foto kakaknya yang berada di depan papan putih betuliskan nama lengkap kakaknya. "Al, ayo pulang. Mamah sama papah udah nunggu di mobil," ajak Ririn yang dibalas anggukan oleh Rival. "Kak, Al pulang ya. Kakak jaga diri disini, Al janji, Al ga akan lupain Kakak dan Al bakal sering kesini sama Aya." pamit Rival dengan suara yang serak akibat menangis. Setelah berpamitan, Ririn dan Rival langsung berjalan keluar menuju ke mobil. Mereka pun langsung kembali ke Rumah lalu mandi dan bersiap menuju ke rumah sakit untuk melihat keadaan Aya. >~ Mereka semua berada di rumah sakit sekarang. Karena, saat Stephanie sadar, ia langsung meminta Randy mengantarkannya ke rumah sakit. Mereka pun berjalan menuju ruang ICU. Sesampainya di depan ruang ICU, Stephanie kembali menangis melihat keadaan putri bungsunya. Ia masuk ke dalam ruangan dengan izin perawat dan langsung mendekat dan membelai pipi Aya lembut. "Nak kamu harus kuat, kakakmu sudah pergi meninggalkan kita semua, kamu jangan ikut pergi ya nak," bisik Stephanie tepat ditelinga Aya. Seperti mendengar bisikkan mamanya, airmata Aya menetes ke pipinya. Stephanie yang melihat itu pun langsung menghapus airmata Aya. Namun, tak lama setelah itu, tubuh Aya kejang-kejang. Melihat itu, Stephanie langsung berteriak panik memanggil dokter. Setelah dokter datang, Stephanie di suruh keluar oleh dokter karna Aya akan diperiksa. Kini dokter kembali di buat panik karna kondisi Aya yang semakin menurun. Dokter dan perawat pun telah melakukan berbagai macam cara agar detak jantungnya stabil. Namun, hasilnya nihil. Detak jantung Aya semakin melemah. Dokter pun menyerah dan hanya bisa berdoa kepada tuhan. Namun, sepertinya tuhan berkehendak lain. Detak jantung Aya semakin melemah. Tiiiitttttttt..... Suara monitor yang cukup keras serta garis lurus yang terlihat jelas di monitor pun sudah menjelaskan bahwa tuhan memang telah berkehendak lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD