Bab 3: Bella

2280 Words
*** Victoria bangun dari tidurnya lebih awal dari biasanya. Wanita itu bahkan lupa kapan ia tidur semalam, mungkinkah saat ia menemani Érique menonton WWE Smackdown? Dia menggeleng, kenapa ia harus memikirkan hal sepele itu. Yang terpenting bahwa sekarang ia sudah bangkit kembali setelah beberapa jam mati kecil. Dia melangkah menuju dapurnya yang kecil dan sederhana. Hanya ada beberapa tempat penyimpanan bahan makanan kompor, pemanggang roti, dan perabotan rumah tangga lainnya. Victoria membuka kulkas dan mengambil roti gandum di dalam sana. Kemudian roti itu di panggang beberapa saat. Setelah selesai, Ia memasukkan potongan sosis rasa sapi di tengah roti itu. Dia sangat menikmati kebersamaannya bersama Érique. Sungguh takdir yang membahagiakan. "Sayang! Kamu dimana? Bisa ambilkan handuk?" Teriakan Érique selalu menghiasi paginya. Pria itu sudah terbiasa masuk kamar mandi tanpa membawa handuk. Victoria hanya bisa sabar melayani pria itu. Victoria membuka lemari bajunya dan mengambilkan handuk berwarna merah untuk kakaknya. Setelah handuk itu ditangannya. Dia melangkah menuju kamar mandi dan mengetuk pintu kamar mandi. "Kak ini handuknya! Jangan lupa lagi!" ucap Victoria dari luar pintu. "Tidak dikunci, Sayang. Kau bisa masuk." Victoria membuka setengah pintu. Tangan kanannya masuk ke dalam kamar mandi sambil menyodorkan handuk berwarna merah untuk kakaknya. Érique malah membuka lebar pintu itu membuat Victoria sontak kaget. "Kakak jorok!" ledek Victoria karena kesal. Érique hanya bisa menertawainya. Wanita itu memang selalu menjadi incaran godaannya. Lelaki itu mengambil handuk dari kekasihnya. "Tidak perlu berlebihan, Sayang! Kau sudah melihatnya setiap malam," ucap Érique dengan kalimat ambigunya. Victoria enggan melihat pria itu. Dia memilih pergi. "Mandi yang bersih ya kak! Kalau bisa otaknya dicuci sekalian. Biar tidak ada kotorannya lagi." Victoria melangkah meninggalkan lelaki itu. Érique terus saja menertawai tingkah Victoria. Wanita itu sangat lucu dan menyenangkan baginya. Sepuluh menit kemudian, Érique sudah rapi dengan jas kerjanya. Victoria memasangkan dasi bergaris-garis di atas kemeja putih prianya. "Kapan Elizabeth datang?" tanya Érique. Dia berencana menemui orang itu dulu. Dia tidak ingin Victoria dijaga oleh orang yang salah. Victoria melototinya dengan curiga. "Kakak masih curiga?" Victoria kembali bertanya. Érique hanya tersenyum, tangan kirinya mengambil roti panggang buatan Victoria lalu melahapnya. "Tidak, hanya saja kakak harus tahu bagaimana orangnya. Kakak bisa tahu mana orang jahat dan baik," jawab Érique dihadiahi pukulan oleh Victoria. Alasan pria itu cukup masuk akal mengingat dia sangat protektif terhadapnya. "Sebentar lagi dia datang. Tapi aku ingatkan, jangan berani menuduhnya di depanku." Victoria tidak mau ada kesalahpahaman sama seperti anak Elizabeth hingga harus di hukum mati. Dia menginginkan kakaknya menjadi detektif yang baik dan tidak semenah-menah. "Oke, Sayang! Aku berjanji." Érique mencium kening, mata, hidung, dan bibir Victoria. Segala sesuatu dari wanita itu selalu menjadi obsesinya. Dia menginginkan Victoria selamanya, tak ada yang lain. Beberapa saat kemudian sosok yang di tunggu-tunggu datang. "Itu pasti Elizabeth! Aku buka pintunya dulu ya, Kak!" ucap Victoria pada kekasihnya, Érique mempersilahkannya. "Baiklah, jangan lama-lama. Kakak tidak bisa jauh dari kamu jika berada di rumah," balas Érique membuat Victoria seketika merona dengan gombalan datar pria itu. Érique kembali menyantap roti panggang buatan Victoria. Otaknya terus saja memikirkan Elizabeth yang menurutnya berbahaya bagi Victoria. Seperti apa orangnya. Dalam satu hari saja Victoria sudah terdoktrin dan memihak Wanita tua itu. Bagaimana jika sebulan, apa Victoria akan melupakan tentang Érique dan dunia detektifnya. Sosok itu muncul di depan mata Érique. Érique mengamati Elizabeth dari bawah sampai atas tubuhnya. Érique sempat menangkap mimik tidak suka pada wanita tua itu. Namun saat itu juga Elizabeth menyapanya dengan sangat ramah. "Nama saya Elizabeth, Tuan," ucap Elizabeth, Érique tersadar dan menjabat tangan orang itu. "Aku Érique Givanno." Pria itu berusaha menyembunyikan rasa curiganya. Dia harus berpura-pura lebih dulu agar Victoria tetap aman. Setidaknya hanya untuk hari ini, Lagipula belum tentu juga wanita itu penjahat. Hanya saja Érique merasa ada yang janggal, terlebih lagi Elizabeth tidak menyukai detektif. "Aku titip Victoria padamu. Dia sangat keras kepala, jadi pastikan dia tidak melakukan hal yang aneh," kata Érique pada wanita itu. Victoria senyum-senyum sendiri melihat tingkah posesif kakaknya. "Baiklah, Tuan," balas Elizabeth dengan lembut. Érique bangkit, ia sudah melihat wajah orang yang menjadi asisten rumah tangganya. Tidak ada kejahatan yang tergambar di wajahnya. Tapi siapa yang tahu, Don't judge book by it's Cover. Jika ada masalah ke depannya, ia akan menangkap orang itu jika terbukti sebagai penjahat. Pria itu mendekat pada Victoria. "Aku pergi dulu ya sayang," bisik Érique pada wanita itu. Sebelum pergi, ia mengecup puncak kepala wanita itu. "Hati-hati!" Érique perlahan jauh dari pelupuk matanya. "Dia sangat tampan, bukan?" tanya Victoria meminta pendapat Elizabeth. Mungkin kalimat itu bisa mencairkan suasana pagi mereka. Wanita tua itu tersenyum. "Tentu saja, Dia sangat serasi untukmu," jawab Elizabeth. Victoria merasa senang atas responnya, tingkat kepercayaannya semakin dalam pada wanita itu. Dia merasa Elizabeth adalah wanita yang baik, tidak seperti yang dikatakan Érique. Èlizabeth adalah perempuan inspiratif bagi Victoria. Victoria tertawa renyah. "Kau bisa saja, Elizabeth!" "Panggil Ellie saja, Elizabeth terlalu panjang dan kurang enak didengar," kata Wanita itu. Victoria mengangguk setuju, hal itu memang membuatnya sedikit kesulitan dan kurang nyaman di ucapkan olehnya. "Baiklah, Ellie." Keduanya saling tersenyum satu sama lain. Kehadiran Elizabeth membuat Victoria tak kesepian lagi. Bahkan rasa takut yang belakangan menggerogotinya kini sirna bagai ditelan bumi. "Perutmu mulai buncit. Kau tidak berniat periksa ke dokter?" tanya Elizabeth. Saran Wanita itu membuat Victoria tersadar. Memang sudah waktunya mengecek kandungannya. Belakangan ini dia lupa karena Érique pun mulai sibuk mengurus beberapa kasus pembunuhan. "Kurasa itu aktivitas yang baik untuk hari ini," jawab Victoria disertai senyum merekah. Dia juga penasaran dengan bentuk anaknya di dalam rahimnya, Apakah laki-laki ataukah perempuan. Wanita itu setuju dengan saran Elizabeth. "Aku ganti baju dulu," tambah Victoria. Dia meninggalkan Elizabeth yang berdiri diam di ruang tamu. Dia benar-benar terkesan dengan ide yang di usulkan Ellie. *** Érique mengamati dengan seksama mayat yang ada di depannya. Pagi ini ia berada di rumah sakit melakukan otopsi pada mayat akibat pembunuhan. Dia tidaklah sendiri. Ada dua rekannya yang bernama Anne dan Stefan. Di tambah lagi dengan Dokter Bella, mantan kekasih Érique. Pagi ini Érique merasa suram, dia harus bertemu dengan wanita yang pernah mengkhianatinya. "Menurut hasil pemeriksaanku, James tidak mati karena kecelakaan. Aku menemukan ada bekas suntikan di bagian lengannya. Ini adalah pembunuhan terencana," jelas Bella kepada tiga detektif di depannya. "Aku sudah menduganya," sahut Érique dengan nada bicara datar. Seolah ia menganggap Bella hanyalah dokter yang baru ia kenal. Bella terus memandangi Érique. Dia tidak bisa fokus, saat melihat pria itu, dia malah teringat kenangan manis bersamanya. Kenangan yang tidak akan pernah terulang lagi. "Anne, Stefan! Tolong cari bukti apapun yang menyangkut James di TKP. Kita harus mengungkap semua ini," perintah Érique pada kedua rekannya. "Baiklah, aku serahkan seluruh riwayat kematiannya padamu," balas Anne lalu menarik tangan Stefan untuk pergi. Kini hanya ada Érique dan mantan kekasihnya. Érique melirik dan mencari sesuatu di balik mayat di depannya. Dia memeriksa kantong jas mayat lelaki itu. "Kau sudah berubah Rik!" seru Bella membuat Érique mengalihkan pandangannya menuju arah mantan kekasihnya. Bella menyilangkan tangannya di depan d**a. Sementara Érique menghentikan aktifitasnya pada mayat yang ia tangani. "Semua orang bisa berubah karena pengkhianatan," balas Érique. Dia sengaja menyindir wanita di depannya. Perkataan itu benar-benar menusuk hati Bella. Memang salahnya hingga hubungan keduanya berakhir, tapi itu juga salah Érique yang lebih mementingkan adiknya dan menomorduakan dirinya. "Aku masih mencintaimu, Rik. Aku menyesal dengan semua yang telah terjadi," kata Bella berharap lelaki itu masih menyimpan rasa terhadapnya. Pernyataan Bella membuat Érique tersentak kaget. "Aku mencintai Victoria dan sudah melupakanmu. Ini hanyalah hal sepele dan aku tidak mau kau berharap padaku lagi." Jawaban itu sungguh menyakitkan bagi Bella. Mati-matian ia berusaha mengungkapkan perasaannya dan dia berakhir dengan penolakan. Nasibnya benar-benar malang. Dunia tidak berpihak padanya lagi. Dua jam mereka terperangkap dalam diam. Érique hanya menanyakan soal mayat itu dan tidak peduli dengan perasaan Bella. Mungkin seperti itulah sakit Érique saat ditinggalkan. Mereka keluar dari ruang mayat beberapa jam kemudian. "Kudengar Victoria hamil, Selamat atas kalian. Kuharap kita bisa berteman," kata Bella pada Érique. Perlahan Érique melirik Bella, ide untuk memanas-manasi wanita itupun muncul dalam otaknya. Érique mengukir senyum bahagia. "Aku sangat bahagia. Sebentar lagi aku menjadi seorang Ayah. Untungnya anakku dikandung wanita yang baik. Kurasa Victoria cocok denganku. Aku bisa menemukam kecocokan diantara kami. Dia tidak pernah membantah perintahku dan juga menyayangiku," jelas Érique. Mendengar itu membuat Bella merasa jengkel. "Kuharap kau memperlakukannya sebagai wanita bukan seperti anjing," ujar Bella lalu mencium pipi pria itu. Mata Érique terbelalak, ia ingin marah. Namun Bella pergi dengan langkah cepat. Lelaki itu diam membatu. Seluruh kejadian itu disaksikan langsung oleh kedua mata Victoria. Saat di mana Érique tersenyum dan saat Bella menciumnya. Apa yang ia lihat seakan Érique bahagia. Namun hati dan pikirannya terus mengelak apa yang ia lihat. Érique tidak mungkin selingkuh darinya. Apalagi ia sedang mengandung anak lelaki itu. "Apa kita tidak pulang sekarang?" tanya Elizabeth. Baru saja mereka keluar dari ruangan dokter kandungan. Kabar bahagia tentang bayinya sehat dan berjenis kelamin laki-laki seakan sirna, berubah menjadi kesuraman. Victoria diam membuat Elizabeth ikut melirik ke arah Érique. Wanita paruh baya itu memahami apa yang dirasakan Victoria. Dia cemburu melihat Érique bersama wanita lain. "Kupikir dia selingkuh!" deru Elizabeth. Érique berjalan pergi tanpa tahu disekitarnya ada Victoria. Dia sama sekali tak berpikir wanitanya pergi ke rumah sakit yang sama. Victoria berbalik dan melotot ke arah Ellie. "Tidak, Ellie! Érique laki-laki yang baik, Dia bertanggungjawab. Dia tidak akan selingkuh! Kami bahkan tak pernah bertengkar," jelas Victoria. Ellie tertawa saat mendengar ucapan Victoria membuat wanita itu tak mengerti. Apa yang lucu dan kenapa ellie tertawa. "Justru karena kalian tidak pernah bertengkar, itulah adalah tanda bahaya dalam hubungan kalian. Érique mungkin saja baik di depanmu agar kau tidak curiga. Lihatlah saat dia pulang, bagaimana perlakuannya padamu," ucap Ellie. Victoria berusaha mencerna kalimat Wanita paruh baya di depannya. Perkataan itu ada benarnya juga. "Érique sejak awal memang baik padaku, ia sama sekali tak berubah. Dia selalu protektif padaku dan aku percaya kesetiaannya," sangkal Victoria, meski otaknya terus saja memikirkan ucapan Ellie. Wanita tua itu tersenyum miring padanya. "Baiklah, Dalam hubungan memang seharusnya ada saling percaya satu sama lain. Kuharap kau bisa bahagia dengannya. Tapi ingatlah, laki-laki itu serakah. Ketika ia menemukan Wanita yang lebih cantik ia akan berpaling," balas Ellie. Mereka berdua pulang ke rumah. *** Victoria terdiam, Sampai di rumah ia gelisah bahkan Ellie bisa menyadari akan hal itu. Satu jam yang lalu Wanita paruh baya itu sudah pergi. Kini Victoria sendiria. Dia mondar-mandir tidak jelas di ruang tamu. Wanita itu menggigit kukunya karena merasa gugup. Sesekali ia melirik jam elektronik di dindingnya. Sekarang waktunya Érique pulang ke rumah. Dua jam menunggu, bel pintu rumahnya berdering. Victoria membuka pintu dan melihat sosok Kakaknya yang tampan dimatanya. Érique mencium bibirnya sekilas sama seperti kebiasaannya selama ini. Lelaki itu melepas sepatunya dan memasuki ruang tamu bersama wanitanya. "Bagaimana harimu, Sayang? Menyenangkan?" tanya Érique sambil memainkan rambut Victoria. Wanita itu merasa gugup dan takut, apa yang ia lihat tadi siang membuatnya terbebani. Dia mulai ragu dengan kesetiaan Érique ditambah lagi pernyataan Elizabeth. "Cukup menyenangkan," hawabnya seolah ia baik-baik saja. Érique merasa ada yang aneh dengan Victoria tetapi tidak tahu letaknya dimana. Apa yang salah. "Ada yang salah hari ini? Sesuatu yang buruk terjadi?" tanya Érique dengan mata membulat seolah meminta jawaban memuaskan. Lelaki itu memeluk tubuh Victoria agar wanita itu rileks. Tubuh Victoria tampak sangat tegang. Ia tahu ada sesuatu yang tersembunyi. "Tidak. Tidak ada sama sekali. Aku hanya terlalu kesepian." Victoria ragu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Érique melepas pelukannya dan memandangi manik matanya. Victoria tetap teguh tidak mau bicara. "Baiklah." Érique tahu bahwa Victoria belum siap berbagi. Lelaki itu mengajak kekasihnya masuk kamar. Di dalam kamar ia mengganti pakaiannya dan Victoria sendiri duduk pasrah di pinggir ranjang. "Kakak masih mencintai Bella?" Pertanyaan wanita itu membuat Érique mendekatinya. Ternyata masalah Bella yang mengusik Victoria. Dia mulai mengukir senyum dan membelai rambut pirang Victoria. "Tentu saja tidak, Sayang! Kakak mencintaimu lebih dari apapun," jawab Érique. Victoria sedikit tenang, namun ia harus mengetes kakaknya. Sampai dimana lelaki itu mencintainya. Dia tak ingin ada kebohongan dalam kehidupannya. "Kapan terakhir kali kakak bertemu Bella?" Érique terbelalak mendengar pertanyaan itu. Itu adalah pertanyaan yang sulit ia jawab. Dia takut Victoria marah jika tahu Bella menjadi partner kerjanya. "Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya selama berpisah karena..." Ucapan Érique terputus saat melihat Victoria meneteskan air mata. Entah apa yang dipikirkan wanitanya itu. "Kenapa menangis? Ada apa Victoria?" tanya Érique. Victoria diam membisu tak mengeluarkan sepatah katapun. Kebohongan dari kakaknya membuatnya tidak percaya. Kenapa lelaki itu tega membohonginya. Victoria memeluk Érique dengan linangan air mata. "Dalam bodohku, aku mencintaimu kak! Aku akan setia meski aku bukanlah satu-satunya. Aku akan bertahan sampai hati ini tak mampu lagi menahan sakit yang kau berikan," batin Victoria. "Jangan tinggalkan aku kak!" bisik Victoria di telinga Érique. Pengkhianatan tidak akan ia balas dengan pengkhianatan. Ia tetap memilih setia meski hatinya yang rapuh tak menginginkan semua aktifitas bodohnya. Érique mengelus punggung Victoria. Dia berusaha meyakinkan wanita itu bahwa ia bisa menjaga dan melindunginya. "Apa yang membuatmu ragu? Kakak berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu. Tolong kita jangan bahas ini lagi. Serahkan semuanya pada kakak! Kakak mencintaimu lebih dari apapun, Percayalah!" pinta Érique. Victoria merasa nyaman dengan sentuhan pria itu. "Aku akan percaya semua kata yang terucap dari bibir kakak," ucap Victoria disela pelukannya. Hatinya menangis berteriak. Sungguh menyakitkan saat ia tahu kakaknya mulai membohonginya. Satu kebohongan itu merusak dinding kepercayaannya selama ini. "Aku akan menutup mataku dengan semua yang sudah kusaksikan, Akan kututup telingaku ketika orang lain menjelek-jelekkan dirimu. Aku diam agar kau tetap berada di sampingmu. Aku akan percaya setiap kebohonganmu. Karena cintaku selalu tertuju pada satu orang yang sama," batin Victoria. Érique merasa lega dengan ucapan Victoria. Setidaknya wanitanya tidak lagi memikirkan persoalan mengenai Bella. Dia akan terus mempertahankan kepercayaan Victoria yang telah ia khianati dengan kebohongan. . Instagram: Sastrabisu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD