Bab 2: Elizabeth Walker

2073 Words
*** Érique menatap ragu ke arah Victoria. Dia barusaja mendapat panggilan yang menyangkut pekerjaannya. Sebenarnya ia tidak rela jika harus meninggalkan wanitanya dalam keadaan takut. Semalaman Victoria terjaga dalam tidurnya. Namun, apalah daya dirinya. Dia hanyalah manusia biasa, dan punya pekerjaan yang harus diselesaikan. "Kakak boleh pergi! Aku baik-baik saja di sini," kata Victoria lembut. Rasa takut masih menyelimuti dirinya. Dia mencoba menyembunyikan semua itu. Érique harus bekerja dan tidak seharusnya ia menjadi beban bagi pria itu. Kedua orang itu saling memandang dalam diam. "Kakak sudah sewa asisten rumah tangga. Sepuluh menit lagi akan datang. Maafkan kakak ya, Kakak harus pergi sekarang! Telpon kakak jika terjadi sesuatu," hibur Érique pada kekasihnya. Victoria mengangguk sambil mengedipkan mata. Érique memeluk wanita itu sekilas lalu mencium keningnya. "Jaga dirimu di rumah! Kakak akan telpon agensimu, seminggu ini kau harus cuti!" Victoria pasrah, Dari dulu apa yang diucapkan Érique selalu ia turuti. Karena dia tahu bahwa itu semua hanya untuk kebaikannya semata. Érique melangkah menjauh darinya sambil melambaikan tangan. Lelaki itu berangkat kerja dengan Roll Royce miliknya. Mobil mewah yang ia beli pada saat gaji kelimanya. Victoria menatap kosong kepergian lelaki itu. Dia menutup pintu, tubuhnya kedinginan karena angin Boston mengenai tubuhnya. Wanita itu berjalan ke ruang tamu lalu menyalakan tv. Hanya aktivitas itu yang bisa ia lakukan. Sofa berwarna coklat yang empuk terasa nyaman baginya. Kamarnya terasa hampa tanpa kehadiran Érique. Jadi, dia memilih untuk tetap berada di ruang tamu. Tok tok Ketukan pintu itu mengagetkan Victoria. Belakangan karena aksi teror, ia mulai was-was dengan lingkungan sekitarnya. Langkahnya sangat lambat mendekati pintu. Dia berusaha menghilangkan rasa takut yang menggerogoti jiwanya. Jantungnya berdebar, dia merinding saat membayangkan hal buruk terjadi. Victoria merasa lega saat membuka pintu. Bukan penjahat dan sama sekali tidak ada raut wajah penjahat. Dia melihat wanita paruh baya yang bisa ia tebak sebagai asisten rumah tangga yang disewa oleh Kekasihnya. "Siapa?" "Perkenalkan, Namaku Elizabeth Walker. Aku adalah asisten rumah tangga yang disewa tuan Érique," jelas wanita itu. Victoria mengamati sebentar wanita itu. "Masuklah! Anggap rumah sendiri, maksudku kau tak perlu canggung. Aku adalah kekasih Érique." Victoria membuka pintu dan mengantar Elizabeth. "Kau tidak tinggal ya?" Wanita paruh baya itu tak membawa tas pakaian. Mungkin ia disewa sampai Érique pulang kerja. Itu tidak masalah bagi Victoria. Yang terpenting ia punya teman bicara. Dia hanya ingin memastikannya. "Tidak, di sini saya hanya sampai jam tiga sore. Oh ya, di mana dapurnya? Ini sudah waktunya minum s**u. Tuan Érique ingin aku memastikan kebutuhanmu," kata Elizabeth. Dengan senang hati Victoria menunjuk arah dapur. Meskipun sebenarnya terdengar aneh pelayan baru langsung mencari dapur. Apakah perempuan ini sangat pekerja keras? "Di sana! Tapi kurasa kau tidak perlu membuatkannya. Aku hanya butuh teman bicara." Victoria merasa kurang enak. Tentu saja Elizabeth tidak setuju. Pekerjaannya bukan hanya menemani Victoria tetapi juga membersihkan rumah itu. "Ini sudah tugasku! Dan aku wajib melakukan pekerjaan itu. Tuan Érique ingin agar calon bayinya tetap sehat," balas Elizabeth. Victoria pasrah, apa yang harus ia lakukan. Dari dulu Érique memang selalu protektif padanya. Ia hanya perlu menuruti perlakuan istimewa kekasihnya itu. Elizabeth meninggalkan Victoria. Wanita tua itu berjalan menuju dapur dan membuatkan s**u pada wanita itu. Ada hal yang disembunyikan Elizabeth. Raut wajahnya menjelaskan sesuatu yang aneh. Dia tampaknya tidak sebaik wajahnya. Dia membubuhkan sesuatu ke dalam gelas s**u hamil Victoria. Di ruang tamu Victoria menyalakan perapian agar tubuhnya bisa hangat. Setelahnya, Dia kembali fokus menonton televisi. Elizabeth datang membawa segelas s**u untuk Wanita itu. "Ini s**u hamilnya!" Elizabeth berujar sambil mengulurkan s**u pada Victoria. "Terima kasih, Elizabeth." Senyum terukir di bibir Victoria. Dia meletakkan s**u itu dimeja membuat semburat aneh semacam rasa kesal tercetak di wajah Elizabeth. Victoria tak sempat melihat ekspresi itu. "Minumlah! s**u itu masih hangat," bujuk Elizabeth. Victoria menatapnya kembali, tatapan itu sangat meneduhkan. Perhatian Wanita tua itu membuat Victoria tersentuh. Andai ibunya sebaik Elizabeth. "Kau perhatian sekali! Aku akan meminumnya nanti! Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya belum haus saja." Victoria berharap Elizabeth mengerti. Wanita tua itu diam. Bibirnya mengukir senyum tak suka. "Baiklah." Elizabeth pasrah. Dia ikut menonton TV bersama Victoria. Kehadirannya memang hanya untuk membuat Victoria tidak kesepian di rumah. Mengingat bahwa Érique belakangan mulai sibuk karena pekerjaannya. Film yang mereka tonton adalah film bergenre thriller, banyak pembunuhan disana. Victoria mulai menggemari film seperti itu karena rasa kagumnya terhadap kekasihnya, Érique. "Kau suka seorang detektif?" Pertanyaan Elizabeth membuat Victoria berbalik menatap wanita tua itu. Ruangan tamu mulai menghangat karena perapian. Victoria mengangguk. "Aku sangat menyukainya. Detektif sangat keren sama seperti Érique. Mereka adalah pembela keadilan. Mereka bisa menghukum para penjahat. Dan mengungkap kebenaran." Elizabeth tersenyum miring mendengarnya. "Justru aku sebaliknya," timpal Elizabeth membuat Victoria merasa bungkam. Untuk pertama kalinya ia tak bisa berkata apapun. Perkataan Elizabeth sangat tiba-tiba. Secara terang-terangan mengatakan tak menyukai profesi kekasihnya. "Kenapa?" tanya Victoria. Dia penasaran dengan jawaban Elizabeth. Karena menurut pengamatannya tak ada yang salah dengan detektif. Seorang detektif sangat sempurna di matanya. "Dua tahun lalu, anakku dibunuh karena kesalahan detektif. Anakku dituduh membunuh, hatiku perih melihat anakku mati dengan cara yang tidak hormat. Bahkan setelah mati, Para tetangga mengucilkanku dan putraku. Anakku di-cap sebagai pembunuh." "Hatiku bagai dirobek paksa. Kau tahu, Aku hanya memiliki seorang putra dan dia meninggalkanku hanya karena salah vonis. Itu semua karena detektif. Sekarang aku sendirian." Air mata Elizabeth perlahan jatuh membasahi pipinya. Victoria merasa bersalah telah memuja detektif di depan wanita paruh baya itu. Victoria memeluk wanita itu. "Maafkan aku! Aku sama sekali tidak tahu! Aku tidak tahu kalau di negeri ini ada juga detektif dengan kinerja buruk. Aku akan mengatakan pada Érique semua ini. Detektif itu harus di hukum!" Victoria tidak percaya di dunia ini ada detektif seburuk itu. "Tidak perlu! Aku juga sudah mengikhlaskan putraku! Tak ada yang perlu dilakukan. Percuma saja. Anakku sudah mati," ucap Elizabeth dengan mata berair. Victoria terus menenangkan wanita tua itu. Di dunia ini banyak kejutan. Dia yang dulunya melihat sisi baik detektif menemukan sisi janggal yang sangat buruk. Dia baru tahu ternyata ada kejadian seperti itu di dunia kepolisian. "Maaf, aku terlalu emosional!" kata Elizabeth pada Victoria. Justru Victoria merasa berterima kasih bahwa wanita itu memberitahukan dirinya hal baru tentang dunia keamanan Amerika. "Tidak. Justru aku senang kau berbagi cerita." Untuk menenangkan Elizabeth, ia mengganti channel TV dengan acara pemberitaan. Dia tidak ingin Elizabeth, semakin tertekan. "Minumlah susunya! Kau tidak perlu mengkhawatirkanku," ucap Elizabeth. Victoria setuju kali ini, tangannya perlahan memegangi gelas s**u itu. Saat gelas itu sudah berada di sudut bibirnya, Ketukan pintu membuatnya kaget. Gelas itu jatuh di lantai. Teror belakangan ini membuatnya semakin penakut. "Maafkan aku Elizabeth! Nanti kubuat lagi. Kau tidak perlu repot. Oh ya, aku buka pintu dulu ya!" ucap Victoria. Belum sempat keluar, tangannya dicekal oleh Elizabeth. "Biarkan saya membukanya. Kau bisa membuat s**u! Anakmu pasti kelaparan di dalam sana! Itupun kalau kau mau!" tutue Elizabeth, Victoria tersenyum. Wanita yang ada di depannya sangat tegar, bahkan dalam keadaan sedih ia masih bisa membantu dirinya. Wanita yang jarang ia temui. Tidak seperti ibu kandungnya yang kini terasa asing. "Baiklah, Jika itu tamu penting. Suruh saja ia masuk!" Elizabeth mengangguk. Victoria melangkah masuk ke dapur. Wanita itu membuat s**u untuk janinnya. Érique bisa marah kalau anaknya tak diberi nutrisi apalagi sudah ada Elizabeth yang menjadi kaki tangannya. Membayangkan bagaimana ekspresi marah Érique membuatnya tersenyum. Dia sangat menyukai laki-laki itu. Elizabeth membuka pintu. "Ini rumah tuan Érique?" tanya seorang wanita. Elizabeth menatap tajam wanita di depannya. Ia tidak suka melihat kehadiran orang itu. Semua rencananya akan berantakan jika Victoria melihat kedatangannya. "Ya, kau asisten rumah tangga kan? Maaf, Tuan Érique sudah menemukan pembantu. Dan orang itu adalah saya. Jadi pergilah!" perintah Elizabeth lalu menutup pintu dengan kasar. Wanita yang ada diluar tidak mengerti dan memilih pergi dari tempat itu. "Siapa yang datang?" tanya Victoria. Wanita itu duduk dan meminum s**u hamilnya. Elizabeth memandang sinis Victoria saat tidak melihat dirinya. Seolah ada dendam yang tersembunyi dalam hatinya. "Hanya sales yang menawarkan barang," jawab Elizabeth. Victoria sama sekali tak merasa curiga. Menurutnya orang yang pernah merasakan sakit tidak akan membiarkan orang lain merasakan sakit yang sama. Victoria menyamakan semua orang seperti yang ia rasakan. Masa kecilnya buruk maka ia tak akan membiarkan masa depan anaknya buruk juga. *** Sore hari, Érique pulang dengan kemeja yang cukup berantakan. Kancing baju bagian atasnya lepas hingga bulu dadanya sedikit tampak. Tubuhnya terasa lelah setelah bolak-balik dari TKP ke kantor polisi. Belum lagi di tempat kerjanya ia selalu dilibatkan dengan Bella. Setiap ada kasus pembunuhan ia harus membicarakannya pada dokter Bella untuk mengetahui penyebab kematian mayat. Hal itu membuatnya kurang nyaman mengingat Bella adalah mantan kekasihnya. Victoria akan marah jika tahu soal itu. Saat ia sampai di rumah, Elizabeth sudah pergi. "Kakak sudah pulang?" tanya Victoria saat melihat calon ayah dari janinnya. Mereka sudah bertunangan tetapi masih enggan untuk menikah. Érique tak menjawab. Dia mendekati Victoria lalu mencium bibir wanitanya sangat lama seolah hal itu memberinya kekuatan. "Aku lelah! Kau masak apa, Sayang?" tanya Érique. Lelaki itu melepas sepatunya tepat di depan Victoria yang berada di ruang tamu. Rasanya malas melepas sepatu itu di rak sepatu. "Sandwich. Kakak suka?" tanya Victoria sambil mengambil sepatu Érique untuk dibawa ke tempat penyimpanan sepatu. Kemudian membawakan sendal untuk pria itu. Setiap hari ia melakukan hal itu. Sudah kebiasaan pria itu merepotkan dirinya. Érique memeluk wanitanya dari belakang. Pria itu kembali menciumi leher Victoria. "Temani kakak makan!" bisiknya. Victoria mengangguk setuju hingga keduanya masuk ke dalam ruang makan. Érique makan sangat lahap, dia merasa sangat kelaparan. Melihat tingkah kakaknya membuat Victoria tersenyum manis. Dimatanya kakaknya sangat lucu dan menyenangkan. "Jangan lihat kakak seperti itu! Lebih baik kau makan! Ini!" pintanya sambil menyodorkan sepotong sandwich ke arah Victoria. Wanita itu membuka mulutnya hingga Sandwich itu masuk ke dalam lambungnya. Keduanya tersenyum satu sama lain. "Kak Érique lucu!" kata Victoria. Berada di dekat Érique membuat dirinya merasa nyaman dan terlindungi. Dia tidak takut lagi dengan apapun. Apalagi setiap hari Elizabeth menemaninya. "Kalau tidak lucu, nanti kamu pergi meninggalkan kakak!" Baginya Victoria adalah segalanya bagaikan oksigen yang membuatnya bertahan hidup. Victoria adalah bagian dari hidupnya yang tak bisa ia lepaskan. Victoria melempar selembar tissue pada Érique, dia merasa kakaknya bergombal. Tingkah Victoria itu memancing Érique berjalan ke arahnya. "Kita ke kamar ya!" bisik Érique pada Victoria. Victoria mengangguk hingga keduanya berjalan masuk ke dalam kamar. Di sana Victoria menyalakan televisi. Jam seperti ini biasanya Érique suka menonton acara Smackdown live di channel cbstv. Sebenarnya Victoria tidak suka menontonnya. Namun, Érique selalu memintanya bersama. Lelaki itu nyaman menonton sambil memeluk tubuh Victoria. Dan hal itu juga disukai Victoria. Bukankah mereka saling menguntungkan. "Kak acaranya sudah mau mulai!" reriak Victoria. Érique yang tadinya ingin mandi terpaksa menunda aktifitasnya. Pria itu mendekat Victoria dan duduk di sofa. Mata Érique memberi kode pada victoria. "Sini!" panggil Érique pada wanitanya. Dengan senang hati wanita itu mendekat hingga otot bisep milik Érique memerangkapnya dalam sebuah dekapan hangat. Victoria memejamkan matanya dalam dekapan kekasihnya. Hal yang selalu ia nantikan setiap harinya. "Bagaimana tadi? Apa asisten rumah tangganya baik?" tanya Érique dengan mata fokus melihat pergulatan antara Randy Orton vs John Cena. "Ehmm.. Dia baik bahkan akrab padaku! Dia juga mengatakan secara terang-terangan bahwa dia tidak suka detektif!" jelas Victoria. Seketika Érique merasa tegang. Matanya memandangi Victoria yang sedang memejamkan mata. Menurut yang ia ketahui orang semacam itu biasanya menyimpan dendam. Érique curiga tapi tidak menampakkannya, takut Victoria salah paham dan menganggapnya berprasangka buruk. "Oh ya, Baguslah kalau begitu. Siapa namanya?" Érique mengorek informasi sedetail mungkin. Dia harus tahu seperti apa asisten rumah tangganya. Berdasarkan yang ia dengar, Orang itu berbahaya. "Namanya Elizabeth! Saat ia datang dia bahkan membuatkanku s**u," jawab Victoria. Érique mulai khawatir. Pergulatan di tv seakan tak menarik lagi. Victoria mungkin saja berada dalam bahaya. "Dan kau meminum s**u itu? Apa yang kau rasakan setelahnya?" tanya Érique. Pertanyaan dari Érique membuat Victoria merasakan bahwa kakaknya curiga. Dia membuka matanya dan melepas pelukan kakaknya. Dia butuh bicara serius. "Kakak curiga dengannya? Kakak tolong jangan berprasangka buruk! Elizabeth adalah wanita yang baik. Dia membuatkanku s**u lalu aku meminumnya. Sekarang aku tidak apa-apa. Tolong jangan terlalu paranoid kak!" kata Victoria. Nada bicaranya menjelaskan ketidaksukaan Victoria dengan sikap curiga kakaknya. Érique berusaha menenangkan Victoria. Setelah hamil Victoria lebih emosional. Érique memeluk wanita itu. Dia menenangkannya dengan bujuk rayu manisnya. "Maafkan kakak ya! Oke, kakak tidak akan curiga lagi. Yang penting kamu bisa jaga diri. Kakak mencintaimu." kata Érique dengan nada lembut. Tak lupa ia mengecup puncak kepala Victoria. Setidaknya wanitanya tenang dulu. Dia terus memikirkan cara untuk menyelidiki Elizabeth. Dia masih curiga pada wanita yang dimaksud Victoria itu. . Instagram: Sastrabisu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD