0.0 : Zero

1000 Words
Suara musik terdengar begitu keras. Bau alkohol pun menyengat sampai ke hidung. Asap rokok mengepul sana-sini bercampur-baur dengan lampu kerlap-kerlip di atas langit-langit membuat orang-orang berpakaian minim itu makin meliuk-liukan badannya ke kiri dan kanan tanpa malu. Dengan beberapa laki-laki yang mendekat dengan tersenyum manis seperti menyambut umpan.  Di sudut ruangan ada beberapa pasangan yang sedang mesra-mesra sama sekali tidak tahu tempat. Dengan di meja-mejanya sudah tersedia berbagai vodka yang sengaja mereka pesan. Untuk melepas stress mereka dalam versi maksiat. Musik mendadak terhenti bertepatan saat sosok jangkung berpakaian rapi dengan setelan jasnya melangkah ke tengah-tengah dengan tongkat bisbol pada tangannya. Pemuda itu menajamkan pandangannya dengan menoleh ke arah bartender yang masih membuat minuman. Mencampurkan berbagai alkohol sesuai pesanan. Melihat ada bayangan mendekat membuat laki-laki itu menggerakan kepalanya ke samping dan tersentak kecil melihat sosok asing itu berdiri menatapnya lurus kini. "Keluar." Tuturnya dingin dengan menolehkan kepala memandang semua yang berada di dalam ruangan remang-remang cahaya itu. "Penjaga!" Teriak bartender namun tersentak melihat keempat penjaga bar sudah terkapar di lantai dengan luka lebamnya. Para pelanggan menggerutu dengan perlahan menarik diri pergi membuat sosok berahang tegas itu makin leluasa menjalankan aksinya. "Mana bos lo?" Tanyanya dengan menyentuh dagu bartender dengan ujung tongkat. "Gak da-tang." "Elo boleh pulang sekarang." Titahnya tanpa beban membuat pemuda di hadapannya itu mengerutkan kening merasa kebingungan. "Tapi shift saya belum sele--" "Pergi sebelum orang-orang gue masuk." Ujarnya mengingatkan lalu mendudukan diri pada sofa besar di samping pintu masuk. Pemuda itu mengetuk-ngetuk tongkatnya lalu tersenyum miring saat melihat beberapa orang melangkah masuk sembari menghancurkan semua apa-apa yang ada di hadapan mereka. "Pergi." Ulang sosok dingin itu membuat cowok tadi menarik diri lalu berlari pergi meninggalkan saja tempat kerjanya itu. Walau saat di luar dia sempat terhenti dan ingin menelepon polisi, tapi teringat tatapan menakutkan tadi membuat ia urungkan niatnya dan kabur saja dari sana. Sosok berahang kokoh tadi sudah menggerakan kepalanya, menyuruh orang-orangnya segera bertindak membuat mereka sontak mengacungkan s*****a mereka masing-masing. Lemari berisi deretan gelas dan juga minuman di hadapannya hancur berantakan sekilat kedipan mata. Kursi dan mejanya sudah di banting sana-sini dan sofanya di injak dengan bar-barnya. "Tuan Syahid. Ini uangnya," ujar pria berkacamata yang sudah menemaninya selama ini. "Mereka masih pake bayar tunai, jadi uang yang kekumpul banyak." Jelas pria yang tidak lain adalah Mr. Christ itu membuat Syahid mengangguk saja. "Bagiin ke pemulung-pemulung di sekitaran lampu merah sana." Titahnya lalu beranjak berdiri. "Tuan Syahid. Ada yang mau ketemu." Kata seseorang berdiri di sampingnya, datang melapor. Syahid mengangkat alis lalu mengangguk saat melihat pemuda di depannya yang langsung menepuk bahunya pelan. "Masih mutar-mutar lo?" Ujar sosok itu dengan tersenyum masam. "Hm. Harus beresin semua bisnis Oma," balas Syahid lalu duduk membuat temannya itu ikut mendudukan diri. "Dia baik-baik aja. Lagi ngumpulin uang dianya," jelas pemuda itu dengan tersenyum samar. "Cuma gitu, anak-anak di sekolahnya kayak dajjal semua. Gak ada akhlak," tambahnya masih kesal membuat Syahid mengeraskan rahangnya kasar. "Gue boleh gak sekali-kali hajar mereka?" "Jangan. Entar identitas lo kebongkar," kata Syahid tidak setuju dengan mendesah panjang. "Ya gue gemes aja lihat tingkah mereka. Selalu seenaknya," gerutunya kesal dengan kedua tangannya yang mengepal di atas pahanya. "Kalaupun ada yang harus hajar mereka itu gue." Kata Syahid dengan mengerjap tajam. "Okelah kalau gitu. Tapi kalau mereka ganggu Syahir lagi, gue gak tahu masih bisa bersikap lembut apa gimana. Elo tahu sendirikan gue gak bisa lihat manusia sampah kayak mereka. Bawaannya pengen banting sana-sini." Ujarnya lalu berdiri dengan menyampirkan ranselnya. "Walaupun gue disuruh sama lo, tapi tetap aja. Gue udah setahun sama kembaran lo, gue jadi benar-benar ngerasa udah berteman sama anak malang itu." Tambahnya dengan mengerjap sendu. "Gue cabut dulu. Besok gue shift pagi, biasa penyamaran harus sempurna." Katanya dengan terkekeh pelan lalu melambai pada Syahid. "Leo." Panggil Syahid membuat pemuda itu menoleh dan berbalik. "Thanks." Tuturnya membuat sahabatnya itu mengangguk saja lalu benar-benar melangkah pergi. Leo Gabriell adalah sahabat Syahid dari lama. Mereka kenal saat di Inggris. Leo dua tahun lebih tua dibanding Syahid. Namun, harus menyamar menjadi teman Syahir dan sekolah di sekolah yang sama dengan kembaran Syahid. Sebenarnya Leo malas harus menyamar jadi siswa apalagi harus dilibatkan dengan yang namanya belajar dan hal lainnya. Dan Leo ini salah satu atlit petinju yang akhirnya mengundurkan diri karena melukai lawannya sampai lawannya koma. "Nyonya Clara telepon, tuan." Tutur Mr. Christ sembari mendekat dan menyodorkan ponsel ke arah Syahid membuat pemuda itu langsung menekan dial merah di sana. "Gak usah diangkat. Palingan mau ngomel soal bisnis haramnya," ujarnya lalu beranjak berdiri dan berbalik pergi diikuti orang-orangnya yang setia mengabdi pada remaja itu. Syahid memutuskan untuk membasmi semua bisnis haram Omanya dari semua cabang ataupun di berbagai kota. Pemuda berahang tegas itu ingin menghentikan kelakuan Omanya yang sama sekali tidak bisa membedakan mana yang haram dan halal. "Oh iya tuan, Wisnu kabarnya sudah mulai masuk kuliah." Kata Mr. Christ sembari membuka pintu mobil untuk Syahid dan duduk di sebelahnya. "Baguslah. Yunna?" "Yunna sampai sekarang belum keluar rumah. Mungkin masih takut bertemu orang-orang," lanjut Mr. Christ menjelaskan tentang kedua teman sekolah Syahid dulu. "Emang lebih baik di di rumah. Kalau di luar takutnya kembali liar," kata Syahid lalu menyenderkan tubuhnya pada kursi. "Syaqila gimana?" "Dia masih dilemah antara mau sekolah formal atau enggak." Jelas sosok itu membuat Syahid mengangguk-nganggukan kepalanya mengerti. "Apapun keputusan Syaqila gue tetap dukung. Tetap pantau Syahir dan Syaqila dari jauh, kalau antek-antek Oma mendekat langsung eksekusi di tempat." Katanya memberi mandat dengan ekspresi biasanya, dingin dengan sorot mata tajamnya. "Baik, tuan."  Syahid kembali menghela panjang dengan menatap keluar jendela. Selama ia berpisah dengan kedua kembarannya, belum pernah ia kehilangan informasi tentang keadaan mereka. Syahid sampai merekrut sahabatnya sendiri, Leo untuk menjaga Syahir dan memastikan pemuda itu baik-baik saja. Dan Syahid juga membayar mahal salah satu orang kepercayaan untuk memantau keadaan Syaqila. Syahid tidak peduli mau bahaya apapun yang mendekatinya. Pemuda itu masih bisa menghadapinya atau pun melawannya. Namun, pemuda itu tidak akan pernah rela kalau kedua kembarannya kenapa-napa. Syahid tetap menjadi Zero untuk kedua adik-adiknya. Bahkan, anak sulung Azzam itu masih memantau keadaan ayahnya di tahanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD