5.5: Five

1025 Words
Mr. Christ mengerjap samar memandangi Syahid yang masih berdiri di depan balkon kamarnya. Pemuda itu masih melamun dengan memandang jauh langit gelap di atas sana. Bahkan, pemuda itu belum menyentuh makanannya sedikitpun setelah kepulangannya dari agensinya tadi. Mr. Christ berdehem pelan membuat Syahid tersadar dari lamunannya. "Jadi dia sebenarnya siapa?" Tanya Syahid pelan lalu menolehkan kepala ke arah pria di sampingnya. "Apa motif dia sebenarnya? Kenapa dia harus muncul dengan wajah bunda?" Tambahnya masih mengerjap tajam membuat Mr. Christ terdiam lama. "Sampai sejauh mana Oma ikut campur. Sampai sejauh mana Oma ngancurin keluarga gue?" Lirih Syahid dengan lelahnya. Pemuda itu menegakan tubuh dengan mengusap rambutnya frustasi. "Apa gue beneran harus ngeakhirin ini dengan cara bunuh Oma?" Mr. Christ membelalakan matanya kaget sontak menggeleng cepat dan menenangkan pemuda itu. "Jangan pernah berpikir buat ngelakuin perbuatan itu, dosa dan tanggung jawabnya besar. Dan kejadian itu akan menghantui kamu sampai kapanpun." Katanya berusaha menyadarkan Syahid yang baru saja berpikiran sempit. Syahid menghela panjang dengan merunduk dalam memandangi tanaman-tanaman kecil di sekitar rumahnya. "Dan orang-orang disekitar kamu gak akan pernah rela kalau kamu jadi pembunuh. Apalagi membunuh Oma kamu sendiri," "Tenang aja, gue cuma becanda." Sahutnya dengan santai. Mr. Christ menghela lega dengan menggelengkan kepalanya lemah. "Baiklah kalau begitu." Balasnya lalu berbalik hendak pergi. Namun, omongan Syahid membuatnya menghentikan langkahnya dan menoleh pelan. "Syaqila gimana?" "Syaqila baik-baik saja walau beberapa hari yang lalu sempat kambuh," "Syaqila kambuh?!" Mr. Christ termundur kaget melihat Syahid yang hampir berteriak di depan wajahnya. Pemuda itu sampai tidak sadar sudah mencengkram kedua bahu pria di depannya kini. "Iya, tapi untungnya ada salah satu temannya yang bisa nenangin. Memberikan dia pertolongan pertama," jelas Mr. Christ dengan berdehem pelan mengisyaratkan pada Syahid untuk melepas cengkramannya. Syahid mengerjap pelan dengan kening mengkerut sembari menegakan tubuh. "Setahu gue Syaqila belum punya teman disana," ujar Syahid dengan alis bertautan, "dia teman kelasnya, namanya Adam Maulana." Balas Christ lagi dengan tenangnya. Syahid mengkerutkan kening lalu menggumamkan nama Adam. "Dia siapa?" Tutur Syahid membuat Mr. Christ sontak merunduk pada ponselnya dan mencari profil milik Adam. "Adam Maulana, kelas XII MIA 1, dia ketua kelas. Aktif di OSIS juga dan sekarang sudah keluar karena memilih fokus belajar persiapan ujian. Dia anak tunggal, ayahnya seorang dokter dan ibunya meninggal saat dia kecil." Jelas Mr. Christ panjang lebar membuat Syahid terdiam. "Dia juga yang mengajukan diri mengantar Syaqila ke ruangan tes penerimaan siswa baru." Tambahnya masih sesekali merunduk membaca deretan huruf-huruf panjang itu dengan di pojok kanan terlihat foto Adam dengan seragamnya. "Ada hubungannya sama Oma?" "Iya, baru-baru ini mereka berdua sempat bertemu di rumah ibu Clara." "Gak." Tutur Syahid dengan tatapan tajamnya membuat Mr. Christ mengerjap bingung. "Cowok yang bernama Adam itu, gak benar-benar jadi mainan Oma. Dia punya motif lain, dan dia juga punya pasti dikendalikan oleh seseorang, yang pastinya bukan Oma." Ujar Syahid pelan. "Kalaupun dia budaknya Oma, dia gak akan pernah mau nolongin Syaqila karena elo tahu sendirikan Oma gak akan pernah mengirim b***k yang punya hati. Mereka terlahir tanpa otak dan hati, mereka cuma boneka." Kata pemuda itu lagi lalu berjalan pelan dan kembali menyender pada balkon. "Gue yakin, dia ada hubungannya dengan kemunculan orang yang ngaku-ngaku jadi bunda." Tambahnya lalu menghela panjang merasa penat dengan masalah yang terus-menerus muncul tanpa henti. "Oh iya, kemarin ada yang melapor kalau Alisa itu pergi menemui seseorang di kantor polisi." "Hah?" "Sepertinya dia temuin ayah kamu," ********** Airin mengembungkan kedua pipinya dengan melemaskan bahu. Gadis yang mengepang kedua rambutnya itu melangkah lesu ke arah kasir membuat Romeo yang sedari tadi bersamanya berdecak samar. "Kenapa sih dari tadi hela nafas mulu. Kalau ada nyamuk yang lewat tuh pasti protes, karena nafas lo bau." Cibir Romeo pelan membuat Airin mengangkat wajah menatapnya tajam. "Gak usah bacot." Balas Airin pedas. Romeo menarik diri dengan berucap lirih. "Terus kenapa? Ada masalah apa?" "Ya gimana aku gak kesal, kemarin itu dia bilang aku ini ceweknya terus dia bilang juga aku ini calon istrinya sampai aku ngerasa terbang gitu keluar angkasa saking senengnya. Tapi sekarang apa, dia udah dua hari gak ada kabar. Dia juga gak ada niat sama sekali minta nomor aku biar saling komunikasi, dia kenapa sih? Mau bikin aku baper terus ditinggal pas lagi sagang-sayangnya?" Romeo sampai menganga lebar dengan menutup mulut takjub mendengar cerocosan penjang lebar Airin sekali tarikan nafas. "Nafas dulu astaga." Ujarnya lalu sontak tersenyum saat kasir mempersilahkan keduanya untuk pesan. Romeo menyebutkan pesanannya tanpa memperdulikan lagi omongan Airin yang masih mengomel di sebelahnya. Pemuda itu hanya fokus memandang kasir menyebutkan dengan teliti pesanannya. Romeo menoleh pelan dengan berjalan lebih dulu membuat Airin sontak mengekor ke belakang. Pemuda berkacamata bening itu mengedarkan pandangannya sembari mencari tempat duduk strategis. Teduh dan nyaman. "Mungkin Syahid masih sibuk ngurus keluarganya. Jadi lo ngertiin dialah," kata Romeo berusaha menenangkan membuat Airin mencebikan bibirnya pelan dengan menggerakan kedua sepatunya di bawah meja. "Oh iya, gue dengar-dengar di kafe ini ada kasir yang tunanetra." Ujar Romeo membuat Airin mengerjap samar tidak menanggapi lalu menempelkan pipi pada meja. "Katanya dia juga ganteng, Rin. Tapi banyak yang mandang dia dengan sebelah mata, banyak yang gak jadi pesan dan milih pergi gitu aja." Tambah Romeo masih bercerita. Airin mendesah panjang lalu menabok kepala Romeo kasar membuat pemuda itu mengaduh keras. "Emang muka aku kelihatan peduli sama masalah orang lain? Aku juga lagi bermasalah sekarang." "Ya tapi jangan mukul kepala gue dong astaga," Airin mendelik kecil lalu beranjak berdiri membuat Romeo mendongak pelan. "Mau kemana?" "Toilet." Ketusnya sembari berjalan pelan dan berbelok ke arah pintu toilet dan tersentak saat hendak menubruk seseorang. "Maaf." Ujar Airin dengan meringis pelan membuat wanita paruhbaya di depannya tersenyum manis lalu mendekat pelan. "Gakpapa, nak." Balasnya masih dengan senyuman lembutnya. "Kamu yang namanya Airin kan?" "Eh iya. Kok ibu eh tante eh nenek bisa tahu?" Wanita itu terkekeh pelan sembari mengusap bahu Airin lembut. "Saya Clara, Omanya Syahid." "Eh?" "Ternyata kamu beneran cantik ya, Syahid sering cerita soal kamu." "Be-beneran nek?" "Panggil Oma aja," "Iya, Oma." Clara kembali tersenyum lalu mengulum bibir pelan. "Sebenarnya Oma mau ke rumah kamu dan ngajak kamu buat makan malam sama Syahid juga." Katanya membuat Airin membelalakan matanya kaget. "Tapi mumpung kita ketemunya disini, kamu bisa kan nanti ikut saya ke rumah?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD