6.6: Six

1312 Words
Airin melangkah pelan memasuki rumah megah bernuansa putih itu. Gadis berambut panjang yang ia kuncir itu mengerjap samar dengan mulut terbuka kecil, merasa takjub melihat bagian dalam kediaman Syahid dan Omanya. Setelah berdebat lama dengan Romeo karena pemuda berkacamata itu melarangnya untuk ikut bersama Omanya Syahid. Namun, Airin tidak menanggapi. Gadis itu sama sekali tidak menyadari kalua bahaya berada di depannya kini. "Kamu masuk di kamarnya Syahid aja ya, di sana sudah disiapkan dress cantik untuk acara dinner nanti." Ujar Clara dengan tersenyum lembut membuat Airin mengangguk cepat. Merasa lega sekaligus antusias. Akhirnya bias menghabiskan waktunya bersama Syahid dan keluarganya. "Nanti Syahid sendiri yang akan jemput kamu di sini ya? Oma mau ke kamar dulu, ada yang harus Oma urus." Ujarnya manis lalu berbalik pergi dengan menyempatkan menutup pintu kamar. Airin tersenyum lebar dengan merebahkan tubuhnya di atas Kasur empuk milik Syahid. Gadis itu bergerak kanan-kiri sudah tidak sabar menanti waktu malam hari. Setelah beberapa hari tidak bertemu dengan pemuda tampan itu, Airin merasa begitu antusias. Semoga Syahid senang dengan kejutannya nanti. Clara mendudukan diri pada kursi kebesarannya sembari melirik salah satu asistennya yang sudah bergerak merogoh ponselnya untuk menelepon Syahid. Untuk memancing pemuda itu untuk kembali pulang dan tinggal bersamanya. "Tidak diangkat, nyonya." "Telepon lagi, dan bilang kalua pacarnya ada di sini. Kalau dia tidak segera kesini, gadis itu akan jadi pelampiasan." "Baik, nyonya." Clara mengangguk pelan lalu memeluk tangan di depan d**a menunggu kabar dari sang cucu. "Hapenya gak aktif," mendengar itu Clara memejamkan matanya erat berusaha meredam emosinya. "Telepon sampai dia angkat. Kalau perlu sampai ratusan kali," tuturnya sudah beranjak berdiri dengan melangkah kearah jendela memandang langit senja yang perlahan mulai telihat gelap. "Di blokir, nyonya." Jelas asistennya membuat wanita paruhbaya itu berbalik dan mendekat ke arah pria berambut klimis itu dan menamparnya keras sampai kepalanya tertoleh ke samping. "Hari ini kamu dipecat." Katanya tanpa beban lalu mmelangkah keluar ruanganya membuat pria tadi memelas dan berusaha memohon untuk kembali diperkerjakan. Walau hal itu hanyalah sia-sia. Clara bukanlah seseorang yang murah hati yangdengan senang hati membantu orang lain. Clara hanyalah iblis berwujud manusia. Clara hendak memaasuki kamar dimana Airin berada. Namun, langkahnya terhenti saat salah satu kaki tangannya mendekat dengan membisikan sesuatu membuat wanita yang masih terlihat muda diusianya yang renta itu membelalakan matanya kaget. "Siapa yang berani-berani bebasin dia?" sentaknya sudah meninggikan suara , "kami sampai sekarang belum tahu keberadaan orang itu, nyoya. Beberapa orang-orang kita sudah mencoba membuntuti keberadaannya, namun nihil. Semuanya pulang dengan tangan hampa, tanpa informasi." Tambah asistennya masih berdiri merunduk hormat membuat Clara menjulurkan tangan menjambak kasar rambut pria di hadapannya. Clara menghela kasar panjang dengan menarik tangannya kasar dari kepala asistennya. Wanita itu tersenyum miring lalu membuka pintu kamar milik Syahid dan sontak tersenyum melihat Airin yang sudah siap dengan dress putih tulang selututnya. Gadis mungil itu melangkah mendekat ke arah Clara sembari menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Melangkah malu-malu dengan bibirnya yang tertarik lembut membentuuk senyuman. "Bagaimana ya, Airinnya cantik sekali malam ini. Tapi, sayang sekali Syahidnya gak bisa datang." Katanya dengan mengulum bibir ke dalam. "Syahidnya kenapa gak bisa datang, Oma?" "Entahlah. Mungkin dia gak peduli sama keselamatan kamu kali ya," "Hng? Maksud Oma?" Belum selesai Airin menghentikan omongannya, rambut gadis itu sudah ditarik kasar ke belakang sampai gadis malang itu terlempar ke lantai dengan kasarnya. Airin meringis pelan berusaha menoleh ke arah dua wanita yang membantunya bersiap-siap tadi. Clara hanya mendudukan diri dengan tenangnya di atas Kasur empuk Syahid dan menonton saja Airin yang jambak denngan bringasnya, bahkan gaun gadis itu sampai robek dan mengekspos sebagian tubuhnya. "Anggap saja ini bayaran gaun yang kamu pakai dan biaya make upnya ya. Jadi, kamu harus bersyukur setidaknya tidak sampai kehilangan nyawa kamu." Tutur Clara tanpa dosa membuat Airin menggigit bibir berusaha menahan isak tangisnya. Walau air matanya sudah mengalir deras sedari tadi. Airin sesegukan dengan perlahan mengesot mundur ke pojok kamar dengan sisa tenaganya. Gadis itu makin sesegukan saat salah satu dari dua wanita tadi mendekat dengan menjulurkan gunting ke arah rambut Panjang Airin. Dengan berusaha memberontak Airin bergetar kecil melihat rambut panjangnya dipotong seenaknya.Dengan gaunnya yang juga digunting menyisakan celana sepahanya dan gaun pendek seperutnya. Clara terkekeh pelan merasa puas dengan hasil kerja dua anak buahnya. Wanita tua itu beranjak berdiri dan menyuruh keduanya menyeret keluar gadis itu dari rumahnya. Airin sudah pasrah karena tidak ada tenaga lagi untuk melawan. Pikirannya kosong dengan tatapan sayunya. Tubuh munngilnya masih bergetar sedari tadi. Takut dan marah menjadi satu. Namun, yang bisa ia lakukan sekarang hanya menangis. Tidak berdaya melawan. Airin berjalan tertatih di jalanan setelah dilempar keluar dari gerbang rumah Clara. Gadis itu sudah urakan dengan rambuut panjangnya yang dipotong seenaknya. Kedua pipi dan ujung bibirnya terlihat Lebam karena keroyokan dua wanita tadi. Gaunnya sudah tidak layak pakai, sedangkan kakinya melangkah entah kemana tanpa alas. Airin perlahan terduduk dengan kembali mengerjap sayu. Airin sudah hilang kata. Gadis itu hanya sesegukan dan perlahan mendongak mendengar seseorang berlari ke arahnya dan menyelimuti gadis itu dengan kemejanya. Airin perlahan mengangkat wajah memandang pemuda yang kini memandangnya kesal. "Gue kan udah bilang jangan pernah berhubungan lagi dengan Syahid apalagi keluarganya." Sentak pemuda itu geram membuat Airin kembali merunduk dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya sampai bergetar hebat membuat pemuda yang tidak lalin adalah Romeo itu mendekat dan menenangkannya dengan pelukan. Romeo mengeraskan rahangnya merasa emosi. Romeo merasa marah pada dirinya sendiri tidak bisa melindungi gadis mungil dalam dekapannya sekarang. Romeo merutuki diri sendiri tidak becus menjaga orang yang ia suka. Pemuda itu mengepalkan tangannya erat, berjanji pada diri sendiri tidak akan melepas gadis ini untuk siapapun apalagi untuk Syahid. ******** "Long time no see, mas Azzam." Alisa tersenyum dengan mata mengembun memandang sang suami di dalam jeruji besi itu dengan baju tahanannya. Wanita dengan pakaian kantor rapi dan juga rambut panjang sepunggungnya itu membuat pria di hadapannya itu memandangnya tidak berkedip. "Sekarang kamu bebas, mas." Katanya masih dengan bibir tersenyum lebar walau kelopak matanya sudah basah sedari tadi. Tidak bisa tegar melihat sang suami menjalani masa-masaa sulit selama kepergiannya. Alisa perlahan beranjak dan mendekati Azzam yang masih melongo di tempatnya denngan tatapan tidak percayanya. "Kamu beneran Alisa, tapi tunggu dulu Alisa sudah lama meninggal dan tidak mungkinkan seseorang yang sudah dikubur bangkit lagi dan kembali hidup." Ujarnya masih tidak percaya. Apalagi melihat wujud Alisa dengan baju Panjang rapi tanpa penutup kepalanya membuat Azzam makin menarik diri. Berusaha berpikira jernih. "Aku bakalan jelasin semuanya, mas. Tapi jangan disini, antek-antek mama banyak disini." Kata wanita itu lalu melirik taangan besar sang suami. Alisa ingin sekali menggenggamnya namun karena Azzam masih belum sepenuhnya percaya akhirnya iapun memlih berjalan memimpin diikuti Azzam dan beberapa orang-orangnya yang sedari tadi bersamanya. Alisa mendudukan diri di dalam mobil membuat Azzam juga secara naluri duduk bersama wanita yang begitu mirip dengan sang istri. Alisa menghela pelan sembari menyuruh sang sopir menarik gas pergi meninggalkan area kantor polisi. Alisa berdehem pelan membuat Azzam menoleh ke arahnya dengan alis bertautan. Pria tampan itu membelalakan matanya saat Alisa menarik rambut panjangnya yang ternyata hanyalah wig. Dan kini kepala mungil wanita itu tertutupi dalaman kerudungnya yang hanya mengekspos wajahnya. Azzam makin mengerjap kaget saat Alisa mendekat dan emeluknya erat. Terlalu rindu berpsah lama dari sang suami. "Jadi kamu beneran Alisa, istri aku?" "Iya, mas. Ini beneran aku, mas." Jelas wanita itu dengan mata mengembunnya, "mas akan lebih percaya kalua bertemu sama dokter yang ngerawat aku selama ini." Tambahnya membuat Azzam makin hilang kata. Mobil sedan merah itupun terlihat berhenti tepat di depan sebuah rumah megah. Alisa pun melangkah turun dengan menarik tangan Azam yang masih ragu mengekorinya. Keduanya pun berdiri di depan pintu masuk dengan menekan bel rumah beberapa kali sampai pintu pun terbuka lebar. Azzam membeku kaget memandang dua orang yang kini memandangnya dengan tatapan yang sama. Datar tanpa ekspresi, walau keduanya merasa sudah tersenyum lebar menyambut kedatangannya. "Mereka berdua yang ngerawat aku selama ini, mas. Ini Adam, dia juga udah banyak ngebantu aku dan Syaqila." Jelas Alisa membuat remaja bernama Adam itu mengangguk ramah, "dan ini ayahnya, kamu pasti kenal kan sama dia, mas?" tanya Alisa membuat Azzam menelan salivanya kasar lalu mengangguk. "Apa kabar, Azzam?" "A-Arseno?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD