Alasan Palsu

1760 Words
Sesampainya di rumah, Emily membuka pintu dan berlari kecil ke dalam. Matanya telah sembap setelah terlalu lama menangis di perjalanan pulang. Kesedihan hari ini menempel lekat bagai ekor yang menghantui Emily. “Dasar bodoh! Kenapa coba aku nangis karena dia? Dia aja gak pernah peduli gimana sakitnya aku!” Emily memaki dirinya sekaligus menyeka tetesan air mata terakhir di pipi. “Kuat, Emily! Kamu gak boleh kalah sama Si Aksayton. Dia itu cuma kelebihan duit, makanya bisa ngomong gitu. Coba aja kalau dia kere, mana ada cewe yang mau! Aksa nyebelin!” teriaknya lagi di ruang tamu. Walau makian itu tidak tersampaikan langsung. Namun, bagi Emily sangat berarti. Dia tahu persis karakter Aksa sejak kecil. Pria itu hanya kelebihan gengsi dan tidak pernah mau jujur apa yang dirasakannya. “Emily?” Seseorang menyapa. Pandangan Emily pun terpusat pada seorang wanita cantik berambut hitam pekat dengan pipi chubby yang berjalan dari arah ruang keluarga. Seorang wanita yang sangat berarti bagi hidup Emily. Dia adalah ibu baginya. “Mama!” Emily berlari kecil ke arah Nayla. Dia memeluk erat wanita itu sehingga bisa tercium wewangian khas ibunya yang sangat dirindukan. “Kenapa kau memaki Aksa, humh? Apa dia berbuat ulah lagi? Bilang ke mama. Biar nanti mama yang marahin dia,” ujar Nayla seraya mengusap lembut puncak kepala Emily. “A—aku. Aku sama Aksa sebenernya—“ “Dia lagi ngambek sama aku, Ma. Tadi pengen beli buku tapi Aksa gak kasih izin!” Aksa mendadak muncul dari belakang Emily. Pria itu berjalan mendekat. Memberi senyuman manis kepada Nayla yang membalasnya dengan senyum. Bibir Emily mengerucut. “Siapa yang ngambek?” Dia tidak mengira Aksa akan datang di waktu yang tepat. Pria itu pasti berbuat ulah lagi di hadapan ibunya. “Kenapa gak dibeliin, Sa? Cuma buku. Jangan pelit, dong, sama Emily,” ujar Nayla. “Bukannya gak mau beliin, Ma. Dia maunya beli di toko buku kecil dan murah. Gengsilah! Masa horang kaya beli buku murahan. Kalau dia minta tas sama jam tangan pasti Aksa beliin. Mau yang paling mahal juga boleh, sama tokonya Aksa beli!” “Aksa sombong!” Emily melempar tas kecil miliknya ke arah Aksa. Dia kesal, mulut pria itu mengoceh tanpa disaring lebih dulu. “Liat, Ma! Dia gitu terus ke aku. Gimana gak kesel, coba?” “Ssst ... Emily. Mama percaya kamu bisa tangani sifat Aksa. Jangan berantem lagi, oke? Masa mama jauh-jauh datang ke sini cuma buat ngeliat kalian berantem.” Emily menghela napas. Dia pikir, tidak ada gunanya menjalankan rencana di MyZeil. Tampaknya Aksa juga sudah mulai berpura-pura menjadi bapak peri. Emily takut masalah mereka akan membebani ibunya. “Mama kapan dateng? Kenapa gak kabarin Aksa dulu? Biar bisa dijemput,” ujar Aksa sekaligus memberi pelukan singkat untuk ibunya. “Mama baru aja dateng lima belas menit lalu, Sa. Tadinya mau ngasih kejutan ke kalian, tapi malah mama yang dikasih kejutan,” jawab Nayla. Dia mengusap bahu Aksa pelan. “Jangan terus bersikap keras sama Emily, Sa. Kamu sekarang udah jadi suami, udah saatnya ngubah sikap jadi lebih dewasa.” “Ck! Kalau Aksa bisa milih, Aksa gak mau jadi dewasa. Pusing ngurusin anak kecil yang manjanya kebangetan.” Aksa melirik Emily sejenak. Wanita itu mencebik dan melipat lengan di d**a. “Mama juga pusing mikirin sifat sultan kamu, Sa! Kalau kamu maunya gitu, terusin aja. Sebentar lagi papa dateng, siap-siap dengerin omelannya kalau kamu kuat.” Mata Aksa membulat mendengar papanya akan tiba dalam waktu dekat. Sedangkan Emily menyeringai lebar. “Papa Yasa datang juga?” “Iya. Tadi dia mampir dulu ke kantornya Aksa. Tapi kalau anaknya ada di sini ya, mau gimana lagi. Papa pasti marah karena kamu gak ada di kantor, Sa,” jawab Nayla. “Mama mau ke belakang dulu. Jangan berantem lagi. Kalau enggak, mama pulangin kalian ke Indonesia hari ini juga.” Nayla mengusap bahu Emily sebelum berlalu ke arah kamar mandi. Menyisakan ketegangan yang kembali menguat di antara Emily dan Aksa. Aksa pun melempar tas kecil milik Emily hingga wanita itu menangkap secara spontan. “Kenapa gak jadi? Katanya tadi mau ngadu ke mama pengen cerai. Omongan doang yang digedein, nyalinya gak ada,” kata Aksa begitu sombong di telinga Emily. Emily menarik napas dalam-dalam. “Loh, kenyataannya kamu juga gitu, ‘kan? Beraninya nindas cewek di belakang mama! Katanya gak mau kita tinggal serumah, tapi kelakuan di depan mama beda. Cemen!” Emily bergerak mundur ketika Aksa mendekatinya dengan cepat. Pria itu mendorong tubuh Emily hingga terimpit oleh dinding dan tubuh jangkung miliknya. Degup jantung Emily terasa begitu cepat melihat sorot mata Aksa yang terpusat penuh ke arahnya. Dia ingin berontak. Namun, tenaganya jauh lebih kecil dibandingkan dengan Aksa. “Lepas!” “Cuma satu hal yang paling saya benci di dunia ini.” “Emh?” Emily mengernyit heran. “Saya paling beci direndahkan orang lain. Apa lagi kalimat itu keluar dari mulut kamu. Seharusnya kamu udah bisa mengira sejauh mana mengambil sikap ke saya, Emily.” “Engh? Cuma itu?” tanya Emily. Dia ternyata salah menebak isi pikiran Aksa. “Jadi ... itu artinya, kamu bisa aja menyukaiku?” Aksa tertawa kecil, meledek perkataan polos Emily lebih tepatnya. “Saya menyukaimu?” Aksa melihat Emily dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pandangannya pun berakhir di d**a Emily. Wanita itu berontak dan menutupi tubuhnya dengan tas. “Apa yang kamu liat!” “Apa yang bisa saya sukai dengan d**a kecilmu itu?” Mata Emily membulat sempurna. “Aksa!” Emily sadar betul jika dia tidak memiliki tubuh tinggi seperti wanita-wanita yang sering dibawa Aksa. Namun, bukan berarti dia tidak punya daya tarik tersendiri. Kalau bukan karena dijodohkan oleh ibunya, Emily pasti memilih pria yang bisa menerima dia apa adanya. Bukan seperti Aksa yang selalu mencemooh dengan sebutan pentol korek. “Ngapain liat-liat terus? Mau ngatain orang lagi?” tanya Emily pada Aksa yang duduk manis di kursi. “Jangan geer, masih banyak yang pantes saya liatin di ruangan ini. Ngapain liatin kamu? Kurang kerjaan.” “Terus kenapa dari tadi ngeliatin ke sini?” “Ngawasin masakan kamu. Saya gak sabar pengen ngehujat kalau rasanya gak enak,” jawab Aksa. Aksa mengalihkan pandangan ke arah lain. Membiarkan Emily melanjutkan kesibukannya yang tengah menyiapkan makan malam bersama Nayla. Namun, Aksa terkejut ketika mendapat tepukan kecil di bahu oleh seorang pria yang duduk di sampingnya. “Sakit, Pa! Kenapa Papa mukul Aksa?” tanya Aksa. Pria bernama Yasa Pradipta itu terkekeh kecil menanggapi pertanyaan Aksa. “Biar nyadar! Mubazir cewek secantik Emily cuma diliatin, Sa. Kecuali kalau mata kamu udah rabun. Entar papa beliin kacamata paling mahal biar jelas.” “Mas! Coba jangan diajarin kaya gitu terus. Liat kaya apa dia sekarang? Jiwa sultannya hampir ngalahin kamu! Kelakuan Vano juga udah kaya menjiplak dari sifat kamu!” protes Nayla kepada Yasa. “Loh, apa salahnya, Nay? Aku gak pernah tuh, ngajarin yang gak bener ke Aksa sama Vano. Semua yang kulakuin buat nyenengin istri sama anak.” jawab Yasa santai. “Ntar, abis makan malem, papa pengin ngomong. Papa tunggu di ruang kerja.” Dia melihat ke arah Aksa lagi. Aksa mengernyit. “Gak bisa ditunda dulu—“ Brak! Semua orang di tempat itu tersentak ketika Yasa menggebrak meja makan sedikit kuat. Aksa sendiri langsung tertunduk lesu, melihat tatapan tajam ayahnya yang syarat akan amarah. “Iya, iya. Ntar Aksa nyamperin papa abis makan,” ujar Aksa walau setengah terpaksa. Emily melebarkan senyum. Nyali Aksa mengerucut mengetahui kemarahan ayahnya sejak sore tadi. Karena pria itu kedapatan tidak masuk ke kantor lebih dari seminggu dengan alasan kurang jelas. Kedatangan Yasa dan Nayla pun memang disengaja. Mereka selalu tahu masalah apa yang dihadapi perusahaan Aksa sebagai CEO pengganti Yasa selama dua tahun terakhir. Sebab, Devano Mannasero---anak pertama di keluarga mereka---memilih menggeluti bisnis aksesoris seperti jam tangan, kalung, bros dan sejenisnya dengan bahan berkualitas. Melihat kinerja Aksa yang masih tidak stabil mengurus perusahaan, Yasa sering kali datang ke Jerman untuk memantau sekaligus berlibur bersama Nayla. “Jangan senyum! Saya tau, hati kamu pasti lagi ngetawain saya, ‘kan?” “Dih, geer!” Emily duduk di samping Nayla membawa perasaan lega. *** Aksa berjalan menuju kamar miliknya seraya menggosok telinga yang terasa panas. Omelan ayahnya memang paling mengerikan dibanding apa pun. Tanpa perlu benda berbahaya untuk melukai fisik, bahkan mulut Yasa jauh lebih tajam dari pedang. Dia pun membuka pintu kamar. Para penghuni rumah ini tampak sudah terlelap di tempat masing-masing. Sebab, hampir dua jam Aksa berbicara dengan Yasa. “Mau ngapain?” tanya Aksa ketika pandangannya bertumpu pada tubuh Emily yang ingin berbaring di atas kasur. “Tidurlah. Aku ngantuk.” “Maksud saya, siapa yang ngasih izin kamu tidur di sana? Jangan mentang-mentang ada mama, kamu bisa seenaknya, ya.” Aksa menarik lengan Emily hingga wanita itu terduduk kembali. “Ambil kasur lantai sana!” perintahnya kemudian. Emily menghela napas. Wajahnya tertunduk lemas dan menatap Aksa penuh arti permohonan. “Aku juga gak mau tidur bareng kamu. Tapi sekarang badanku sakit semua, gak enak tidur di kasur lantai.” Aksa terdiam sejenak. Selama pernikahan mereka, wanita itu memang tidur di kamar lain kecuali saat Aksa menginginkannya. Emily juga tidak pernah protes atau mengeluh atas kebiasaan itu. “Jangan nyari alesan. Saya juga gak akan peduli,” ujar Aksa. Dia terpaksa mengambilkan kasur lantai beserta bantal untuk tidur wanita itu. “Aksaaa ....” Aksa sedikit menjaga jarak, Emily ingin meraih tangannya tetapi gagal. Wanita itu hanya mendapat ujung jari telunjuk Aksa untuk pegangan. “Jangan di sana. Kali ini aja, Sa,” ujar Emily memelas. “Aku sakit juga gara-gara kamu! Coba kamu bayangin aku lari dari Berger Strabe ke MyZeil karena siapa—“ “Saya enggak pernah nyuruh kamu ngelakuin itu! Udah saya bilang, ‘kan, hiduplah dengan cara kita masing-masing. Tapi kamu selalu ngelakuin hal konyol dan berakibat kaya gini. Anehnya lagi, pasti ngelimpahin kesalahan itu ke saya! Are you kidding me?” Aksa melepas pegangan Emily dan mengantar Emily menuju kasur lantainya. “Ck! Awas aja, ya. Aku pasti bales kamu!” Emily berdecak. Dia menatap malas selimut dan bantalnya tapi tetap tidak bisa menahan godaan para benda mati itu. Dia pun lantas merebahkan diri dan mengambil posisi nyaman di sana. Aksa mengacak rambutnya, dia geram sendiri mendapati Emily tertidur pulas dalam waktu singkat. Satu detik kemudian, dia mengambil langkah, lalu mengangkat Emily untuk dipindahkan ke kasur besarnya. “Hidup kamu kayanya emang diciptakan buat nyusahin saya. Jangan kegeeran, saya ngelakuin ini supaya mama gak salah paham.” Aksa berbicara seorang diri. Padahal wanita itu tidak terusik sedikit pun. “Dia tidur apa mati?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD