Kehilangan Anak

1599 Words
Emily masih bergulung dengan selimut ketika Aksa bersiap pergi ke kantor. Sedangkan semalaman Aksa tidak bisa tidur pulas, dia benci wanita itu berada di dekatnya. Benci oleh alasan yang tidak jelas. Di mana Aksa merasakan cemas berlebih melihat wajah pucat istrinya. Sesekali Aksa pergi ke dapur, membawa handuk kecil beserta air untuk mengompres kening Emily dan memastikan wanitanya tertidur tenang di sana. Pekerjaan terbodoh yang dilakukan Aksa, mulut dan tindakannya selalu bertentangan. Untung saja Emily tidak menyadari perbuatan Aksa semalam. Jika tidak, mau ditaruh di mana wajahnya nanti? “Aksa ....” Suara Emily pelan terdengar. Aksa yang tengah mengaitkan kancing kemeja miliknya menoleh dengan tatapan datar. “Mama mana? Aku mau minta tolong panggilin mama,” kata Emily lagi. Dia masih terbalut selimut tebal walau AC di kamar mereka sudah dimatikan. “Sakit sedikit doang, manja banget, si. Terus apa gunanya mulut, tangan sama kaki kalau semua hal harus saya yang lakuin?” tanya Aksa sinis. “Aku sakit beneran tau. Susah buat jalan, perutnya sakit,” lirih Emily. Dia sedikit menekan perut disertai rintihan dari bibir tipisnya. “Itu pasti cuma alesan kamu supaya bisa ngerjain saya.” Aksa segera menyelesaikan aktivitasnya. Dia pun menyambar kunci mobil beserta gawainya di atas meja. “Jangan manja!” Emily terbangun secara perlahan melihat kepergian Aksa dari kamar. Dia tidak peduli seberapa pedas ucapan pria itu. Namun, masalahnya sekarang, Emily merasa tubuhnya terlalu sakit untuk bergerak. Emily meraih gawai miliknya dan menelepon Nayla untuk meminta bantuan. Beberapa saat setelah panggilan terputus. Derap langkah seorang wanita begitu cepat ke arahnya. Dia mencoba bangkit menyambut kedatangan Nayla. “Mamaaa ... perutku sakit.” “Coba mama periksa dulu. Berbaringlah,” kata Nayla seraya membantu Emily kembali berbaring di tempatnya. Dia pun memeriksa keadaan putrinya yang tampak lemah. “Kenapa gak bilang ke mama kalau kamu sakit, Emily?” “Aku takut ngeganggu istirahat mama. Mama, kan, baru aja dateng ke sini,” jawab Emily pelan. Dia sedikit meringis ketika tangan Nayla memeriksa perutnya. “Emily ... kamu—“ Nayla menggantung kalimat berikutnya. Dia menatap cemas wajah Emily sejenak. “Kamu hamil?” “A-apa?” Mata Emily membulat sempurna. Pernyataan ibunya sungguh di luar dugaan. Bahkan dia sendiri tidak tahu jika tengah mengandung. Emily merasa hari-harinya biasa saja. Dia tidak pernah merasa mual dan pusing seperti kebanyakan ibu hamil. Tangan Emily bergetar meraba perutnya sendiri, menekan perasaan yang ingin membuncah mendengar ada calon bayi di dalamnya. “Hamil?” “Kau belum memeriksanya, Emily?” tanya Nayla. Emily menggelengkan kepala pelan. “Tapi perutku sakit banget, Ma. Rasanya lebih sakit dari haid.” Dia menangis. Entah rasa sakit atau bahagia yang paling terasa, Emily tidak bisa mengira. Nayla kembali mengangkat tubuh Emily sebisanya, membantu agar lebih mudah bagi Emily beranjak dari sana. “Tenang, Sayang. Ada mama. Coba kamu atur napas dulu, oke? Apa kamu masih bisa jalan? Kita harus ke rumah sakit, Emily.” Emily mengangguk. Sedangkan Nayla segera menelepon Yasa dan memintanya mempersiapkan mobil. *** Emily tiba di salah satu rumah sakit dan langsung mendapat perawatan. Nayla dan Yasa setia menemaninya di sana setelah keputusan dari dokter yang menangani Emily mengatakan bahwa anak mereka telah mengalami keguguran. Mendengar kenyataan itu, hati Emily seakan terguncang hebat. Padahal baru saja dia merasa bahagia saat Nayla mengatakan bahwa dia hamil. Namun, sekarang dia bahkan tidak bisa mengatakan apa pun di hadapan Nayla. Mulutnya terlalu kelu untuk berbicara. Dia merasa bersalah karena tidak bisa lebih peka terhadap tubuhnya sendiri. Kalau saja Emily tahu sejak awal, dia pasti akan lebih berhati-hati dalam mengambil tindakkan. “Emily, percayalah. Mama nggak menyalahkan kamu soal ini. Jadi jangan berpikir kalau mama akan membencimu,” ujar Nayla seraya mengusap puncak rambut Emily. Walau terdengar menenangkan, tetap saja hati Emily seakan dihujani bebatuan. Sakit sekali melihat sekilas kecewa di wajah ibunya. “Sebenernya apa yang terjadi? Dokter bilang kemungkinan terbesarnya karena kamu mengalami tekanan dan kelelahan. Kalau beneran itu sebabnya, papa minta kejelasan dari kamu, Emily.” “Apa pertanyaan itu gak bisa ditunda dulu, Mas? Kondisi Emily belum stabil,” kata Nayla mencegah Yasa bertanya banyak hal. “Nggak bisa, Nay! Ini masalah serius, gimana bisa ditunda? Sekarang coba kamu pikir, apa yang kurang dari keluarga kita? Pekerjaan rumah, udah pasti ada yang bantu. Segalanya bisa tercukupi. Seharusnya gak ada alesan lain yang bisa memicu kejadian ini. Kecuali kalau Emily sama Aksa terlibat masalah yang sengaja disembunyiin dari kita.” Nayla langsung terdiam. Emily tertunduk. Jemarinya meremas seprai sedikit kuat melihat kedua orang tuanya berselisih paham. Dia tidak ingin terjebak dalam posisi ini ... sungguh. “Bilang ke papa. Ada masalah apa kamu sama Aksa?” tanya Yasa lebih serius. Tubuh Emily menegang. Pertanyaan ayahnya membuat Emily terdesak lebih jauh. Dia tahu sifat ayahnya sangat sensitif, apalagi menyangkut anak-anak. “Emily, gak papa. Bilang aja kalau itu masalah serius, kita berdua orang tua kamu yang udah seharusnya menengahi masalah kalian,” kata Nayla. Tangan Emily bergerak pelan menyeka air matanya. Dia menangis lagi, untuk jawaban yang akan diberikan kepada Yasa. “Temenku bilang kalau Aksa lagi sama perempuan lain. Jadi, kemarin aku nyusul dia ke MyZeil buat ngeliat kebenarannya. Ternyata kabar itu—“ Tangis Emily mengeras. Dia menutup wajah dengan telapak tangan, tidak bisa mengatakan lebih jauh lagi. Tubuhnya terasa hangat mendapat pelukan Nayla, beban yang dipikul di pundaknya seolah menguap mengatakan ini. Namun, Emily sadar. Dia pasti akan mendapat masalah baru dengan Aksa. “Kenapa kamu nggak pernah bilang, Emily?” tanya Nayla pelan. Emily hanya menggelengkan kepala tidak berani menjawab lagi. “Anak itu—“ “Emily!” Sebuah suara memekik di ruangan itu. Mereka bertiga menoleh bersamaan dengan datangnya seorang pemuda bertubuh jangkung yang tampak cemas di wajahnya. Itu Aksa. Dia baru tiba di rumah sakit setelah mendapat kabar satu jam lalu. Kesibukannya di kantor yang tidak bisa ditunda membuatnya terlambat. “Emily, apa kau baik-baik aja?” Langkah lebar Aksa menuju tempat Emily berada. Namun, tujuannya gagal. Yasa dengan cepat menarik lengan pemuda itu dan memberi tamparan keras di pipinya. “Mas! Jangan lakuin itu ke Aksa! Tenang dulu, semua bisa dibicarakan baik-baik, ‘kan? Gak perlu pakai emosi.” Nayla segera menghampiri Aksa yang tertegun di tempatnya. Wanita itu menangis. Perasaan Emily kembali dibuat koyak melihat pandangan kosong Aksa mendapat hukuman keras dari ayahnya. “Tenang? Setelah dia berhasil membuat kekacauan, kamu minta aku buat tenang!” kata Yasa bernada tinggi. “Kalau kelakuannya sebatas pergi ke kelab malam, aku masih bisa memaafkan. Tapi ini udah keterlaluan, Nay!” Napas Yasa terengah-engah meluapkan amarahnya terhadap Aksa. “Kenapa, Pa? Kenapa papa nampar Aksa?” tanya Aksa. Pandangannya mengabsen satu per satu orang yang ada di ruangan ini. “Emily keguguran, Sa. Papa ingin kejelasan dari kamu.” Nayla menjawab pertanyaan putranya dengan nada rendah. Mata Emily terpejam menahan air mata yang pasti semakin deras mengalir. Dia yakin Aksa belum tahu, atau mungkin saja pemuda itu merasakan kesedihan serupa. Pikiran Emily terlalu runyam menebak perasaan Aksa sekarang. “Sekarang papa tanya. Apa salah papa sampe kelakuan kamu kaya gini ke istri sendiri, hah? Apa papa pernah ngajarin kamu buat merendahkan derajat perempuan? Pernah papa nyontohin kamu supaya bersikap kasar sama perempuan? Jawab papa, Sa!” Suara Yasa mengeras lebih dari sebelumnya hingga semua orang terdiam membisu. Aksa menggeleng pelan. “Jangan pernah menyakiti perempuan! Bukan sekali dua kali papa ingetin kamu soal ini! Tapi sekarang apa, hah? Jangan dipikir papa gak tau kelakuan kalian berdua. Juga tentangmu yang sering membawa wanita lain masuk rumah. Kenapa, Sa? Apa omongan papa cuma angin lalu di telinga kamu? Atau emang kamu gak mau ngehargai papa lagi?” tanya Yasa bertubi-tubi. Aksa menggeleng lagi. “Maafin Aksa, Pa,” ujar Aksa menundukkan kepala. Yasa mengusap wajah, emosinya sedikit menurun melihat wajah muram Aksa. Namun, semua rasa yang mengganjal dalam hatinya sudah tidak sabar ingin memuncak. “Maaf?” Yasa melangkah perlahan ke hadapan Aksa. “Kau bisa liat dengan matamu yang masih normal itu, huh? Liat wajah Emily, Sa. Orang yang kau sakiti adalah dia, bukan papa! Papa mungkin ngerasain sakit kehilangan calon cucu, tapi mungkin rasa sakit itu gak sebanding dengan Emily!” “Jadi, papa mau bilang kalau Aksa harus minta maaf ke Emily?” tanya Aksa sekaligus melihat ke arah Emily. “Hal itu gak perlu diajarin apalagi diperintah, Sa! Kamu udah gede, udah jadi suami!” Emily mengangkat wajah, pandangannya bertemu mata Aksa yang masih melempar tatapan datar. Apa pemuda itu merasa bersalah? Sedih? Atau tidak peduli? Emily serba salah. Dia paham sekali sifat Aksa yang pantang meminta maaf terlebih kepada Emily. “Gak mau.” Aksa berkata padat. Jelas sekali hal tersebut memancing emosi Yasa lagi. “Aksa!” “Kenapa, si, papa sama mama belain Emily terus dari dulu? Perlakuan kalian ke Emily lebih spesial dibanding ke Aksa. Apa-apa Emily, semuanya buat Emily. Gak sekalian aja papa buang Aksa ke jalanan biar kalian gak berat sebelah?” “Aksa—“ “Papa, jangan! Aku mohon jangan berantem lagi. Ini semua bukan salah Aksa. Aku yang pantes disalahin. Karena kecerobohanku, semuanya jadi begini.” Degup jantung Emily serasa berpacu lebih kencang. Dia ketakutan jika mereka berdua akan bertengkar lebih hebat selanjutnya. “Kamu gak boleh bilang gitu, Sa. Nggak ada yang berat sebelah. Kamu, Emily sama Kak Vano anak mama. Perlakuan kami juga sama ke kalian,” ujar Nayla menenangkan Aksa. Namun Aksa seolah enggan menarik ucapannya. “Tapi kenyataan gak bisa bohong, Ma! Sekarang kalian bertiga seolah menghakimi karena Emily keguguran tanpa mau denger apa alesan Aksa. Kalian juga lebih peduli Emily sampe lupa kalau Aksa juga punya hati. Orang tua mana yang gak sedih pas kehilangan anak?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD