Bab 3 - Pelayan Restoran

1114 Words
Hari ini Sophia baru saja pulang dari rumah Bibi Hilda. Wanita itu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Dan saat melihat pada bak sampah yang sudah mulai penuh, Sophia memanggil Mollie. Dengan segera Mollie turun dari lantai dua, dan menghampiri Sophia. Tahu jika ia akan di suruh untuk membuang sampah, Mollie mengerutkan dahinya. “Mama, jangan suruh aku, kau bisa menyuruh Kakak.” “Mereka masih belum pulang, Sayang,” jawab Sophia. Terpaksa, Mollie akhirnya berjalan keluar dari rumah dan lekas membuang sampah. Sial untuk Mollie, karena nenek penjaga tempat itu ada di sana. Nenek menatap tajam pada Mollie yang ingin membuang sampah. “Nenek … apa kau tidak ingin menyingkir sebentar saja?” Prang … Nenek itu memukul tong sampah yang terbuat dari besi. Suara nyaringnya mampu membuat penghuni yang berada tidak jauh dari sana berteriak. “Ini sudah malam! Jangan berisik!” “Maaf, maaf.” Mollie segera saja meletakkan sampah itu di samping tong, dan berlari kembali ke rumah. Napasnya terengah-engah saat sampai di dalam rumah, dan ia kembali ke dalam kamar tanpa menemui ibunya. “Mama pasti sengaja! Apa dia mulai lupa jika aku mengalami hal buruk ini setiap hari?” gerutu Mollie. Victor yang melihat anaknya hanya bisa tertawa. Mollie kembali dipanggil untuk makan malam, akan tetapi ia tidak ingin turun ke bawah. Akhirnya Sophia naik ke atas, dan melihat Mollie yang sedang mendesain beberapa pesanan orang untuk membuat konten di social media. “Sayang, apa kau tidak ikut makan malam?” tanya Sophia. “Tidak, aku marah pada Mama.” “Ayolah, Mama tidak sengaja menyuruh dirimu hari ini.” Mollie kembali fokus pada computer di depannya. Dan enggan makan malam saat ini. “Mama akan membawakan makanan ke sini. Kau harus makan,” ujar Sophia sembari melangkah ke luar dari kamar itu. Setelah aktif kembali di dunia desain, Mollie menjadi rutin menggunakan e-mail. Ia lupa jika telah mengirim CV ke beberapa perusahaan untuk bekerja. Saat melihat e-mail balasan, ternyata ia diterima disebuah restoran yang ada di kota. “Sial, kenapa aku diterima bekerja?” gumam Mollie. Ceklek … “Sayang, ini makan malam untukmu. Ayo makan!” ajak Sophia. “Iya, Ma. Mollie berdiri dari tempatnya dan mendekati sang ibu yang duduk di kursi yang ada di sudut kamar. Saat tengah makan, Sophia bertanya pada Mollie mengenai pekerjaan. “Sayang, apa kau tidak ingin keluar lagi seperti dulu?” tanya Sophia. “Ma, aku ingin sekali bisa kembali normal, tetapi banyak orang yang mengatakan jika aku ini aneh.” “Kau tidak aneh, Sayang. Kau ini hanya unik,” sahut Sophia. “Aku baru saja di terima bekerja di kota, tetapi aku takut untuk ke sana.” “Kau pasti bisa, Will akan menemani dirimu besok.” “Tidak, Ma. Aku sudah cukup merepotkan kakak beberapa hari ini. Aku tidak ingin bergantung padanya setiap waktu.” “Bagaimana jika Arlo?” “Tidak, aku akan ke sana sendiri. Mama tidak perlu khawatir.” Sophia terlihat lebih tenang karena Mollie mau keluar dari zona aman. Meski perasaan khawatir itu ada, tetapi Sophia meyakinkan dirinya untuk tetap berpikir positif. *** Pagi pun tiba dengan cepat, Mollie juga sudah siap untuk pergi memenuhi panggilan kerja yang ia terima pada e-mail. Dengan kemeja putih, dan celana kain panjang berwarna hitam, penampilan Mollie memang terlihat biasa. Rambutnya yang panjang sebahu hanya ia sisir rapi. “Papa, andai kau bisa ikut, kau pasti akan menjagaku dari roh-roh yang ingin datang padaku.” “Sayang aku tidak bisa melakukannya.” “Ya. Baiklah, aku akan pergi.” Mollie pun turun dari lantai dua dan menyapa Sophia di ruang makan. Ia bisa melihat dua kakaknya duduk berseberangan dan melambaikan tangan untuk menyuruh Mollie duduk. Will mengatakan jika dirinya telah siap untuk mengantarkan Mollie sampai di kota. hanya saja, saat jam pulang kemungkinan Arlo yang akan menjemput. “Kakak, aku bisa pergi dan pulang sendiri,” ujar Mollie. “Tidak! Aku akan mengantarkanmu!” “Dasar kau ini!” Mereka sarapan bersama hingga hidangan pagi ini habis tidak tersisa. Mollie menyeka bibirnya menggunakan tisu, lalu beranjak dari tempatnya. Sebelum pergi ,ia mencium Sophia terlebih dahulu dan berjalan keluar dari rumah itu. Saat di dalam mobil, Mollie mengatakan pada Will untuk tidak perlu mengantarkan dirinya lagi esok. Meski ada banyak roh di luar sana, Mollie ingin melatih dirinya sendiri agar tidak merasa takut pada mereka yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Perjalanan menuju kota memakan waktu satu jam. Dan kini Mollie telah sampai di depan restoran yang ia tuju. “Hati-hati di jalan, Kakak.” “Jika kau ingin mendapatkan posisi yang tinggi, katakana saja nama belakangmu,” ujar Will. “Tidak perlu, aku akan menerima setiap posisi yang mereka berikan.” Mollie berjalan masuk ke dalam restoran, dan ia langsung menemui kepala restoran di sana. Berbincang beberapa menit, akhirnya Mollie mendapatkan posisi awalnya sebagai waitress. Mencoba untuk mengabaikan roh yang ada di sana, Mollie mulai bekerja hari itu juga di sana. “Kenapa di sini ada roh yang menganakan pakaian pelayan?” gumam Mollie. “Hai, namaku Cindy,” ucap seorang wanita yang mengenakan pakaian sama dengan dirinya. “Hai, aku Mollie.” “Ayo kita mulai bekerja!” “Ya.” Ke duanya mulai melayani beberapa pengunjung yang datang ke sana. Dan setiap melewati roh pria di sudut restoran, pandangan Mollie langsung teralihkan. Sampai jam istirahat tiba, Mollie bersyukur karena bisa bertahan sampai saat ini. Ia duduk di bagian belakang restoran bersama Cindy untuk sekedar melepaskan lelah. “Kau tinggal di mana?” tanya Cindy. “Aku tinggal di Chacao.” “Ah … sepertinya kita memiliki arah pulang yang sama, kau naik apa saat pulang nanti?” “Sepertinya aku akan naik Camioneta.” * Camioneta adalah angkutan umum yang ada di sana, berupa  bus berukuran sedang. “Baiklah, aku juga. Kau mau pulang bersama bukan?” “Ya, tentu saja.” Setelah selesai berbincang, mereka kembali bekerja. Malam tepat sebelum jam kerja mereka berakhir, Mollie dikejutkan oleh datangnya roh wanita bersama seorang pengunjung. Tanpa sengaja Mollie menumpahkan makanan di bawah meja pengunjung lain. “Maaf, Tuan. Maaf.” “Mollie, cepat bersihkan!” ucap kepala restoran. “Baik.” Mollie segera berjalan mengambil alat untuk membersihkan kotoran yang ia buat sendiri. Dan setelah selesai, ia pun berlari ke belakang untuk melepaskan rasa takutnya. “Kenapa mereka selalu muncul pada malam hari! Aku sangat takut, bagaimana ini?” gerutu Mollie. Tiba-tiba saja sebuah tangan menepuk puncak Mollie hingga membuatnya berteriak ketakutan. Cindy yang terkejut dengan respon Mollie merasa bersalah. “Mollie maaf.” “Cindy, aku mohon jangan mengejutkan aku lagi.” “Baiklah, aku minta maaf. Kata kepala restoran, kita diperbolehkan pulang sekarang.” “Baiklah, ayo kita pulang!”   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD