Bab Satu

1696 Words
Erika merasa hampir menangis tepat ketika ia melangkah memasuki sebuah kamar yang akan ia tempati bersama suami barunya tepat setelah resepsi pernikahan berakhir. Dadanya terasa seolah akan meledak karena merasa marah, kesal, sedih, kecewa, sekaligus malu yang bercampur aduk. Tatapannya tertuju pada sosok sang suami yang ikut berjalan menuju kamar bersamanya dan perasaannya semakin dongkol ketika ia melihat lelaki itu. Hari ini ia merasa benar-benar lelah jiwa dan raga. Ia benar-benar dipermalukan habis-habisan, entah apa dosanya hingga mengalami kesialan semacam ini. Erika tak pernah bertemu dengan sang calon suami sebelumnya. Ia bahkan hanya tahu nama lelaki itu dari kartu undangan yang diberikan padanya untuk disebarkan pada orang-orang yang akan ia undang. Ia bahkan masih tak melupakan ekspresi ketekejutan teman-temannya ketika menerima undangan yang ia berikan. Baru tiga bulan yang lalu ia putus dari lelaki yang dipacarinya selama dua setengah tahun dan kini telah menikahi lelaki lain dan membuat dirinya menjadi bahan gosip orang-orang di sekitarnya ketika mengetahui bahwa mempelai lelaki yang mempersuntingnya adalah putra dari keluarga kaya. Dan kini ia kembali menjadi bahan gosip karena menikahi lelaki yang tuli, sebuah fakta yang baru ia ketahui beberapa jam sebelum pemberkatan pernikahannya. Ia masih ingat ketika mertua dan kakak iparnya memintanya untuk bersabar menghadapi sang calon suami yang agak pendiam dan menyuruhnya untuk berbicara dengan suara keras pada lelaki yang akan menjadi suaminya karena lelaki itu memiliki sedikit masalah pendengaran. Ia masih tak bisa melupakan betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok lelaki yang menjadi suaminya. Sesuai deskripsi sang ibu, wajah lelaki itu memang sangat tampan. Lelaki itu memiliki mata hitam yang tajam dengan hidung mancung dan bibir merah serta tipis yang begitu seksi. Lelaki itu juga memiliki tubuh yang cukup atletis dan tubuh tinggi serta kaki jenjang bak model, seolah Tuhan menciptakan lelaki itu ketika suasana hatinya sedang baik. Namun ia tak bisa melepaskan pandangannya dari sebuah benda yang terpasang di telinga lelaki itu. Dan bagai petir di siang bolong, ia tersadar akan sebuah realita yang kini harus dihadapinya. Ia baru saja dinikahi oleh seorang lelaki cacat yang tak mampu mendengar tanpa alat bantu. Erika segera berjalan dengan cepat memasuki kamar yang dirias dengan sangat cantik setelah melepaskan heels setinggi tujuh sentimeter yang telah ia pakai selama berjam-jam dan membuatnya pegal. Ia segera melepaskan sanggul rambutnya dan mengambil sebotol pembersih kosmetik serta mulai membersihkan riasan wajahnya tanpa peduli dengan sang suami yang mungkin terkejut karena istrinya alih-alih berusaha terlihat cantik untuk menggoda suaminya di malam pertama, melainkan malah memperlihatkan wajah aslinya tanpa riasan. "Jangan lakukan apapun padaku malam ini. Aku sangat lelah dan ingin langsung tidur setelah mandi," ujar Erika tanpa menatap lelaki yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Erika tak peduli jika lelaki itu benar-benar mendengarkan ucapannya atau tidak. Yang jelas ia melihat lelaki itu mengangguk dan ia berharap lelaki itu setidaknya mengerti secara garis besar mengenai makna dari ucapannya. "Aku akan mandi setelah menghapus riasan wajahku. Jadi kau pakai saja kamar mandinya dulu," ujar Erika bahkan tanpa berniat menyebutkan nama suaminya sama sekali. Ia merasa begitu marah dan kecewa hingga rasanya ia tak ingin melihat lelaki itu sama sekali. Tak ada yang ingin dikatakan Ray kepada wanita yang baru saja ia nikahi. Ia hanya menganggukan kepala dan berjalan menuju kamar mandi. Lelaki itu juga merasa sangat lelah setelah seharian melakukan upacara pernikahan dan resepsi. Erika menghembuskan napas lega secara refleks tepat setelah Ray masuk ke kamar mandi. Ia merasa lega karena setidaknya ia tidak perlu melihat lelaki itu di ruangan yang sama dengannya. "SIAL!!" teriak Erika dengan keras untuk melampiaskan emosi yang sejak tadi mati-matian ditahannya. Ia merasa benar-benar frustasi dan merutuki kesialan dalam hidupnya ini. Detik berikutnya air mata mengalir dari pelupuk mata Erika dan ia mulai menangis sambil membersihkan riasan wajahnya. Ia benar-benar tak bisa membayangkan jika ia harus menghabiskan sisa hidupnya bersama orang yang tidak ia sukai. Rasanya ia seolah ingin mati karena malu membayangkan dirinya menjadi bahan gosip setelah menikahi lelaki cacat.  Erika memutuskan untuk duduk di sisi kasur yang dihias dengan dua lembar kain yang dilipat berbentuk angsa yang saling menghadap satu sama lain. Kasur itu berukuran king size dan cukup luas untuk dipakai dua orang tanpa harus bersentuhan satu sama lain, dan ia memastikan agar ia berbaring di sisi kasur sehingga tidak perlu bersentuhan dengan suaminya. Dengan sigap ia segera mengambil bantal dan menutup wajahnya dengan bantal itu. Air mata masih tak berhenti mengalir dari pelupuk matanya. Ia masih tak bisa menerima takdirnya sebagai wanita yang bersuamikan lelaki cacat dan merasa sangat tertipu. Perempuan itu masih tak mengubah posisi duduknya yang duduk diatas kasur sambil menutupi wajahnya dengan bantal. Ia bahkan tak peduli meski mendengar suara pintu yang dibuka dan ia tak menoleh sama sekali meski tahu sang suami kini berjalan ke arahnya. Ray berdiri diam dan hanya menatap wanita di hadapannya lumayan lama, merasa bingung dengan apa yang harus ia katakan pada wanita itu. Ia menyadari jika wanita itu tampak terkejut saat melihatnya pertama kali dan berpura-oura tersenyum manis terus menerus pada seluruh tamu undangan. Ia bahkan bisa merasakan tatapan marah dan kecewa yang ditujukan wanita ketika tanpa sengaja mereka saling bertemu pandang sebelum wanita itu mengalihkan pandangan. Ia tahu jika wanita itu sangat kecewa dan tak menginginkan pernikahan ini. Ia bahkan mendengar teriakan wanita itu tepat sebelum ia menutup pintu kamar mandi dan rasa penasaran membuatnya memutuskan untuk berdiri diam sejenak dan mendengarkan isakan tangis wanita itu.  Meski sebetulnya ia bukanlah tipe orang yang memperlihatkan perasaan atau kekhawatirannya, ia merasa jika ia seharusnya mengatakan sesuatu pada wanita itu. Di saat seperti ini Ia harus mempraktikan salah satu dari nasihat panjang lebar dari ibunya serta panduan menjadi suami yang baik dari sang kakak. "Kau baik-baik saja?" Erika mengusap wajahnya dengan bantal dan segera menoleh. Ini adalah kali pertama lelaki itu benar-benar berbicara padanya. "Oh, ya." Sudah jelas Erika sedang berbohong. Wajahnya bahkan masih terlihat lengket karena air mata, dan mata wanita itu juga terlihat merah karena menangis. Ray memutuskan untuk berjalan ke tepi kasur, mendekati Erika. Sebetulnya ia tak tahu apa yang harus ia lakukan di situasi seperti ini. Ia hanya mengingat panduan yang diberikan kakaknya mengenai cara memperlakukan istri dan kini ia menerapkan salah satunya. Dengan ragu Ray mengulurkan tangannya dan mengusap air mata Erika yang masih tersisa, membuat perempuan itu menunjukkan reaksi kaget dan risih. "Kau tidak terlihat baik-baik saja." Erika sedikit terkejut dengan kemampuan pengamatan Ray, namun juga merasa aneh dengan lelaki itu. Untuk apa menanyakan dirinya kalau sudah tahu jika ia tidak baik-baik saja? "Tentu saja," sahut Erika dengan emosi yang membuncah sehingga ia hampir berteriak. "Bagaimana mungkin aku baik-baik saja setelah tertipu dan menikah dengan orang sepertimu? Mau ditaruh dimana harga diriku dengan menikahi orang yang--" Erika memutuskan ucapannya sendiri, merasa tak tega melanjutkan ucapannya meski ia benar-benar marah. Namun ia yakin lelaki itu pasti mengerti kemana arah pembicaraannya. Ray terdiam, otaknya seolah berhenti bekerja secara mendadak. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia katakan atau lakukan. Ia sendiri adalah tipe orang yang tidak terlalu suka basa-basi, namun entah kenapa ucapan wanita itu membuat perasaannya agak tidak nyaman. Ia merasa agak terhina, namun ia tak memiliki alasan untuk marah pada wanita itu. Sebetulnya Ray sendiri tak menginginkan pernikahan atau hubungan romansa dengan siapapun meski usianya sudah lebih dari seperempat abad. Ia merasa jika relasi semacam itu bukanlah hal yang tepat untuk orang sepertinya. Namun ketika ibunya mengatakan akan menjodohkannya dengan putri sahabat ibunya semasa sekolah, ia pikir tak ada salahnya mencoba membuka diri terhadap pernikahan. Meski terdengar hampir mustahil, mungkin saja ada wanita yang mau menerimanya apa adanya, dan ia juga akan menerima wanita itu seperti apapun kondisi fisik dan latar belakangnya serta berusaha mencintainya sepenuh hati. Kini ia merasa menyesal telah mengiyakan begitu saja tawaran ibunya dan semakin menyesal karena berharap terlalu banyak. "Kupikir kau sudah tahu mengenai kondisiku ketika menerima perjodohan itu. Apakah keluargaku tidak memberitahu sebelumnya?" sahut Ray dengan tenang dan raut wajah yang masih tak berubah meski emosinya juga mulai membuncah. Erika menggelengkan kepala, "Menurutmu apa jawaban wanita pada umumnya kalau sudah mengetahui kondisimu? Keluargamu bahkan baru memberitahuku beberapa jam sebelum menikah." Ray merasa sedikit bersalah pada wanita berambut merah muda dihadapannya itu meski ia sendiri tak tahu apa-apa soal ini. Ia berpikir jika keluarganya sudah memberitahukan kondisinya pada mempelai perempuan, karena itulah ia menerima perjodohan dan lumayan antusias menunggu datangnya hari pernikahan. Norma sopan santun yang diajarkan ibunya sejak kecil membuat Ray tanpa sungkan meminta maaf pada wanita itu dengan kepala sedikit tertunduk. Bagaimanapun Erika baru saja menjadi korban atas penipuan yang dilakukan oleh keluarganya sehingga ia merasa turut bertanggung jawab. Erika merasa sedikit terkesima dengan kesopanan lelaki itu. Namun ia segera berkata, "Ayo bercerai secepatnya. Dan jangan lakukan apapun padaku, aku ingin menjaga tubuhku untuk suamiku yang sebenarnya." Wanita seperti Erika adalah orang yang langka di jaman modern seperti ini, dan Ray merasa kagum dengan wanita itu. Meski ia tak pernah membiarkan dirinya memiliki keinginan yang kurang realistis seperti ini, sebetulnya ia pernah berharap menikah dengan wanita baik-baik dan memiliki keluarga yang bahagia. Ray merasa bersyukur tak pernah membiarkan dirinya memiliki keinginan yang kurang realistis. Jika saja ia membiarkan dirinya memiliki impian untuk menikah dan membangun keluarga, mungkin saja hatinya akan hancur berkeping-keping mendengar pernyataan istrinya di malam pertama mereka. "Dua bulan," ujar Ray seraya memperlihatkan jari telunjuk dan tengahnya. "Setelah itu kita akan bercerai." Alis Erika mengernyit, "Mengapa tidak secepatnya? Kau berusaha menahanku dan berharap aku berubah pikiran?" Ray menggelengkan kepala. Sebetulnya ia tak peduli jika ia akan bercerai sekarang juga atau dua puluh tahun lagi. Ia juga tidak peduli dengan pendapat orang lain mengenai dirinya yang langsung bercerai sesudah menikah. Namun ia masih memikirkan image Erika di depan ibu dan kakak laki-lakinya. Ia tak ingin wanita itu menjadi sasaran amarah mereka karena langsung bercerai satu hari sesudah menikah. "Bukankah kau mengkhawatirkan image-mu? Bagaimana pendapat orang lain kalau kau langsung bercerai sesudah menikah?" Kata-kata Ray terkesan seperti sindiran, namun sebetulnya ia sendiri tidak bermaksud begitu. Ia hanya bermaksud mengutarakan apa yang ia pikirkan secara terus terang. Ucapan Ray ada benarnya juga. Erika akan merasa malu jika bercerai sehari sesudah menikah. Dan dua bulan bukanlah waktu yang sangat lama. Meski bagaikan neraka, ia yakin ia akan sanggup bertahan. "Baiklah. Kita akan bercerai dua bulan lagi, dan setelahnya kuharap kita tak akan pernah bertemu lagi." -Bersambung-de
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD