1: Memilih Iblis

1734 Words
Timbang terus berada di sekitar manusia yang tidak ada bedanya dengan iblis. Rasanya akan jauh lebih baik jika aku tinggal bersama iblis yang sesungguhnya saja sekalian, harap anak remaja laki-laki itu. Menggantungkan doa seraya menengadahkan kepala. Menatap ke langit gelap yang terpampang luas di luar jendela. BRAAK! Tiba-tiba pintu kamarnya terdobrak dari luar. Tanpa kata permisi atau salam pembuka. Kemudian menampilkan keberadaan seorang sosok gelap dengan tubuh tinggi besar dan wajah mengerikan. Menatap lurus ke arahnya yang tengah bersimpuh di depan sepasang jendela. Dengan penampilan yang tidak ada beda dengan setan di layar kaca. “KENAPA KAMU LETAKKAN HASIL UJIAN YANG LUAR BIASA JELEK ITU DI PINTU RUANG KELUARGA???!!!” tanya sosok mengerikan itu. Berkata dengan suara kencang memekakkan telinga. Tapi, si anak remaja tak akan bisa lakukan apa pun untuk menunjukkan rasa tidak suka. Plok plok plok. Cklik. Lampu ruangan yang merupakan kamar tidurnya itu pun menyala. Menunjukkan dengan jelas rupa dua orang lelaki yang berada di sana. Satu orang lelaki masih anak remaja yang tengah duduk bersimpuh dengan pose rapi serta teratur di lantai. Satu lagi seorang pria dewasa berusia nyaris kepala lima. Yang masih tampak cukup awet muda. Tak peduli bagaimana waktu menelan usia. Tak tampak banyak keriput atau noda yang menunjukkan realita sudah berapa lama ia tapakkan kaki di atas dunia. Ditambah tubuh begitu tegap menjulang tinggi masih tampak sangat sehat serta segar bugar. Membuat tak heran jika para ibu-ibu yang tinggal di sekitar sana. Sampai memberi julukan pada pria itu sebagai seorang Hot Papa Next Door. Namun, rasa kagum yang serupa tidak dirasakan oleh si anak remaja. Sejauh ini hanya ada rasa benci menjurus ke dendam kesumat yang bersarang dalam hatinya. Si anak remaja bertanya, ”Memangnya apa masalah kalau aku taruh hasil ulangan yang super jelek itu di tempat ’umum’, Pa?” Pria dewasa itu menuding wajah anak remaja di hadapannya, ”Gio, Papa itu selama ini selalu mendemonstrasikan kamu sebagai seorang sosok kakak laki-laki baik tanpa cacat di depan Queensha dan Princessa. Kamu itu harus bisa selalu menjadi suri tauladan untuk digugu serta ditiru oleh kedua adik perempuan kamu. Mau taruh di mana wajah Papa sampai mereka tau putra yang selalu Papa banggakan ternyata tidak lebih dari calon sampah masyarakat? Manusia yang tidak akan bisa diandalkan karena tidak punya otak!!!” Nyess. Anak remaja bernama Gio itu merasa. Seperti sebuah besi panas tengah mendarat dalam sanubarinya. Yang selalu ada di bawah titik beku. Ia pun memberanikan diri membalas dengan menaikkan oktaf suara, “OH, SEPERTI ITU TERNYATA! Kalau untuk Queensha dan Princessa. Dua putri kecil kesayangan Papa. Semua yang mereka dengar, lihat, rasakan, terima, dan ketahui itu hanya yang paling baik saja. Sementara aku? Bagaimana dengan aku, Pa? Siapa orang lebih dewasa yang bisa aku jadikan contoh serta panutan untuk digugu serta ditiru? Apa Papa pernah menghadirkan seseorang yang seperti itu untuk anak laki-laki yang Papa benci ini?!” tanyanya dengan sorot mata tajam. Penuh kemarahan. PLAAK. Pria itu tak ragu untuk mendaratkan “besi panas” sungguhan di wajah putra sulungnya. “Kenapa kamu berani berteriak seperti itu di hadapan Papa? Itu kah yang sudah diajarkan oleh bundamu? Membangkang pada ucapan orang tuanya?” tanya pria itu ikut-ikutan meninggikan oktaf suara. Menunjukkan reaksi yang tak kalah dipenuhi amarah. “Tidak usah membawa-bawa Bunda deh, Pa! Saat ini ia sudah bahagia dengan keluarga barunya di Italia. Yang jadi masalah dalam percakapan kita kali ini itu hanya Papa. Padahal Papa lah yang sudah membuat kehidupan keluarga harmonis kita hancur lebur nyaris tak bersisa. Gara-gara melakukan hubungan di bawah tangan menjijikkan dengan wanita penghibur murahan tidak tau diri itu!!!” teriak Gio lagi. Tak peduli pada respon apa pun yang mungkin saja akan pria di hadapannya berikan. Ia sudah siap. Ia akan menerima semua dengan lapang d**a. Seperti yang selama ini sudah ia lakukan untuk menghadapi berbagai macam terpaan badai kehidupan. PLAAK PLAAK PLAAK PLAAK PLAAK PLAAK PLAAK PLAAK PLAAK. Bukan hanya satu atau dua kali tamparan. Yang pada akhirnya anak remaja yang masih duduk di kelas terakhir bangku sekolah menengah atas itu dapatkan. Tapi, tamparan bolak balik yang sukses membuat wajah anak laki-laki yang sudah banyak bekas kesakitan itu jadi semakin ”berantakan”. Bekas nestapa di mana-mana. Tetesan cairan merah baik dari yang baru maupun yang lama. Semua hanya membuat Gio merasa semakin tidak tahan. Pada iblis yang saat ini tengah berada di hadapan. SEORANG IBLIS DALAM WUJUD MANUSIA! “Papa...” terdengar sebuah suara panggilan lirih dari ambang pintu yang lupa ditutup dengan rapat. Tampak seorang gadis kecil, maksudnya iblis kecil di sana. Sedang memeluk kusen pintu dengan wajah sok polos menyebalkan. Yang terasa sedang meminta untuk dilempar saja ke luar jendela. Pria itu menjauhi Gio dan menghampiri si “iblis kecil” yang bernama Princessa. ”Cup cup cup. Maafkan Papa ya, Sayang. Sebaiknya kamu menjauh sebentar ya dari ruangan ini. Ada beberapa hal penting yang harus Papa bicarakan dengan Mas Gio,” ucapnya seraya mendorong lembut punggung anak itu. “Ta, Ta, Tapi, tadi Cessa dengar Mas Gio ngomong kalau Ibu sebenarnya... hiks hiks hiks,” ucap anak “iblis” itu dengan nada suara yang dibuat gemetar. Entah sengaja atau tidak. Sok sesenggukan menahan tangisan. “Dik Cessa sayang jangan pikirkan apa yang baru saja Mas Gio ucapkan, ya. Dia hanya salah bicara saja. Bukan itu yang ingin dia katakan sebenarnya. Mas Gio sama saja kok seperti Dik Cessa dan semmua orang di rumah ini. Sangat sayang pada Ibu. Jangan sampai kamu ingat-ingat lagi, ya,” pinta pria itu lembut. Seraya menepuk-nepuk batok kepala anak tersebut. HOOEEKK. Rasanya Gio ingin memuntahkan seluruh isi perut kala dengar semua dusta yang baru saja sang ayah lontarkan. Sayang pada ibu? Semua penghuni rumah? Penghuni rumah yang tidak kasat mata IYA! Jika memiliki kesempatan. Rasanya sudah berkali-kali ingin ia tunjukkan rasa “sayangnya”. Dengan mematahkan paling tidak sepuluh tulang rusuk dan kering wanita itu. Wanita j*****m yang sudah meluluhlantakkan kehidupan rumah tangga hangatnya. Setelah memastikan memberi rasa aman dan nyaman pada sang putri bungsu. Pria itu lalu menyeret pergelangan tangan sang putra sulung menuju suatu lokasi yang ada di dasar kediaman megah mereka. Ruang bawah tanah. Memang hanya di sana rasanya tempat yang paling bagus untuk menjadi latar dari segala macam adu pendapat. * Dikepung oleh situasi remang-remang dari kegelapan dan cahaya bias dari lampu pijar. Sepasang ayah dan anak itu ”terjebak” dalam pertarungan. Untuk mempertahankan kebenaran untuk diri mereka masing-masing. BRAAKH. Pria itu mendorong tubuh putra satu-satunya ke tumpukan kardus bekas. Walau jauh lebih muda. Gio memiliki postur tubuh dan perawakan yang lebih kecil ketimbang papanya. Tak heran jika hampir dalam semua ajang adu kekuatan di antara mereka. Gio Jr. nyaris selalu berakhir ada di pihak kalah. ”SEKALI LAGI SAYA TEKANKAN PADA KAMU, GIORSAL MAHA SAPUTRA ISWARI DHIKA JUNI*R! QUEENSHA DAN PRINCESSA ITU ADALAH ADIK KAMU! MEREKA AKAN MENJADI TANGGUNG JAWAB KAMU DI MASA DEPAN NANTI!” teriak Gio Senior kembali membuka perdebatan mereka. Menahan seluruh rasa sakit di tubuhnya. Gio (Jr.) kembali membantah, ”Aku sama sekali tidak peduli pada mereka, Papa! Aku bahkan tidak peduli apa yang akan Papa lakukan ke aku karena menolak eksistensi dua anak demit itu. Aku sangat tidak suka sama Queensha. Aku sangat tidak suka sama adiknya. Aku juga sangat tidak suka sama Tante Adisti. Dan terutama... aku sangat tidak suka sama Papa!!!” teriak anak remaja itu dengan air mata membasahi nyaris seluruh bagian wajah. Jadi sembab memerah. Gio Senior jadi semakin berang menghadapi perlawanan sang putra tertua. Putra yang ia harap bisa menjadi penopang bagi keberlangsungan keluarga mereka selanjutnya. Bagaimana bisa ia mengatakan hal seperti itu di depan papa kandungnya sendiri? Gio Senior pun beberapa kali menyambiti tubuh Gio Jr. Dan anak itu bahkan tanpa sesirat pun raut penyesalan. Tetap mengungkapkan banyak ketidakpuasan. Mengapa begini? Kenapa jadi seperti ini? Mengapa begitu? Mengapa harus jadi seperti itu? Kenapa ia harus terjebak di suatu kediaman di mana terdapat begitu banyak kebencian? Bukankah rumah itu jadi lebih mirip dengan neraka? Neraka dunia tepatnya. “Saat ini kamu tidak akan mengerti, Giorsal! Tidak peduli bagaimana saya jelaskan pada kamu. Kamu hanya perlu melakukan semua yang saya perintahkan!” balas Gio Senior. ”Aku tidak mau, Pa! Aku tidak sudi Papa jadikan alat untuk menjamin kehidupan maupun masa depan dua anak setan itu. Lebih baik Papa segera pergi saja ke alam baka sana!” balas Gio Jr. Gio Senior mengangkat satu telapak tangannya ke udara. Hendak kembali memukuli tubuh putranya, “Dasar anak tidak tau diun...” Dok dok dok. Pintu gudang tempat mereka berada tiba-tiba diketuk oleh seorang wanita muda berkulit putih yang mengenakan pakaian seksi. Wanita itu berkata, ”Sebentar lagi sudah waktunya makan malam, Papa.” Wanita itu melihat deretan kukunya yang baru saja dimenikur pedikur. Berkata, ”Belum ada apa pun di meja makan. Sebelum Papa menghukum Gio lebih lanjut. Bagaimana kalau meminta dia membuatkan sesuatu untuk kita dulu?” tanyanya. Dasar iblis berwujud manusia, batin Gio Jr. emosi maksi kala melihat mantan bekas wanita penghibur yang kini menjadi pendamping hidup ayahnya itu. Wajah Gio Senior yang tadi tampak mengerikan tiba-tiba berubah jadi dipenuhi kebahagiaan. Melihat tubuh molek idaman dari wanita bekas selingkuhan. Ia lihat tubuh bertabur luka sang anak pertama. “Gio, sekarang kamu masakkan sesuatu untuk kami!” perintahnya. Untuk pertama kali Gio Jr. memberanikan diri berkata, ”Akan aku beri racun masakannya, Pa,” ancamnya. Gio Senior langsung mengangkat rahang anak kelas dua belas SMA itu. ”Kamu yang akan pertama kali kehilangan nyawa sampai berani melakukan hal seperti itu TAU?!” ancamnya balik. ”...” * Gio Junior sangat benci pada kehidupannya. Ia benci pada rutinitas hariannya. Terlebih saat ia diminta “melayani” orang-orang yang sangat ia benci. Orang-orang yang telah memberi ia kehancuran, kesedihan, dan begitu banyak penderitaan. Akan tetapi, hidup tidak selalu memberi banyak pilihan. Tidak peduli seberapa banyak kehinaan dan juga kebencian yang ia pendam dalam dirinya. Seorang Gio Jr. ”harus” tetap melakukan apa yang ayahnya perintahkan. Tidak peduli bagaimana sebenarnya ia ingin melakukan perlawanan. ”Lebih baik kalian semua berubah menjadi iblis saja sekalian,” doa anak remaja itu lagi. Saat sedang membuat hidangan makan malam untuk keluarga papanya. Gio Senior membelalakkan kedua matanya penuh amarah. Wanita bernama Thian itu sok sibuk menaruh lauk di piring masing-masing putrinya. Sementara Queensha dan Princessa. Entah apa yang dua anak setan itu pikirkan. Gio Jr. harap ia telah memberikan pengalaman masa kecil buruk yang mampu membuat mereka semua trauma sampai menjemput kematian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD